Tradisi Penghitungan Weton Dalam Adat Jawa

Dalam kebudayaan masyarakat Jawa, pernikahan adalah hal yang diklaim sakral, sebab juga mengaitkan dua keluarga asal dan  masyarakat. Adapun nikah ditinjau dari sisi agama berasal dari kata bahasa Arab, yaitu النكاح)), adapula yang mengatakan perkawinan menurut istilah fiqh dipakai perkataan nikah dan perkataan zawaj.[1] Sedangkan menurut istilah Indonesia adalah perkawinan. Secara bahasa Nikah berarti “bergabung”, “hubungan kelamin”, dan juga diartikan sebagai ”akad” (Az-Zuhaili, 2010) Adapaun secara istilah perkawinan (Nikah) yaitu akad yang membolehkan terjadinya istimna’ (persetubuhan) antara seorang pria dengan wanita. Namun dewasa ini kerap kali dibedakan antara pernikahan dan perkawinan, akan tetapi pada prinsipnya perkawinan dan pernikahan hanya berbeda dalam menarik akar katanya saja.[2] Perkawinan adalah : Sebuah ungkapan tentang akad yang sangat jelas dan terangkum atas rukun-rukun dan syarat-syarat.[3]  Dalam adat Jawa-pun begitu, bahkan pada pelaksanaan perkawinan saja ada sebuah tradisi yaitu penentuan hari pernikahan atau biasa disebut dengan tradisi perhitungan Weton. Perhitungan weton yang didasarkan dalam peninggalan jawa itu juga merupakan salah satu bentuk tradisi yang diwariskan. Tradisi perhitungan weton ini masih banyak dilakukan masyarakat Jawa, meskipun tidak semua masyarakat mengikuti kebudayaan ini serta mempercayai itungan hari lahir dan pemilihan hariyang baik.

Perhitungan weton merupakan perhitungan hari kelahiran dan hari pasaran dari pasangan yang akan melangsungkan pernikahan, perhitungan weton berdampak besar kepada perhitungan baik dan buruk, sehingga tidak sedikit masyarkat Jawa yang tidak dapat menghindari perhitungan ini, karena hal ini sesuai dengan falsafah masyarakat Jawa yang mengutamakan ada kesesuaian, keselarasan dan kecocokan dalam kehidupan, sebab pernikahan yang tidak berlandaskan kecocokan akan berakibat perceraian, begitu juga makanan dan minuman akan terasa nikmat jika berkesesuaian dengan kondisinya, sehingga perhitungan weton ini menjadi acuan dalam menentukan baik tidaknya suatu hubugan. Perhitungan dilakukan untuk menentukan jodoh yang baik, pelaksanaan pernikahan sampai hari yang baik untuk melangsungkan pernikahan.[4] Dengan mengotak-atik hitungan tanggal tersebut maka akan ditemukan hasilnya. Apakah bila nanti menikah dengan melamarnya akan bernasib beruntung atau bernasib sebaliknya. Di mana dalam hal ini masyarakat bertanya pada sesepuh adat untuk mencarikan bulan dan  tanggal yang baik serta cocok untuk dilaksanakannya perkawinan, selain dari itu terdapat perhitungan weton antara calon suami serta isteri untuk menggambarkan perkonomian dan  kehidupan nanti.

Baca Juga:  Halal Bihalal sebagai Tradisi Warisan yang Harus Dilestarikan

Studi tentang perhitungan weton dalam masyarakat adat Jawa cenderung membahas tiga issue. Pertama, budaya yang menjadikan tradisi mereka terbentuk. Masyarakat Jawa mempercayai tradisi pernikahan Jawa untuk melestarikan tradisi yang sudah ada sejak jaman dahulu dan dilaksanakan secara turun temurun. Tradisi dianggap sebagai sebuah warisan budaya yang yang sulit dihilangkan (Dwi Rahmawati, 2020; Della, 2020). Kedua, pandangan masyarakat dalam mengimplementasikan tradisi weton dalam pernikahan. Pernikahan merupakan salah  satu peristiwa penting dalam sejarah hidup seseorang, bahkan peristiwa sedemikian penting ini tidak akan pernah terlewatkan begitu saja sebagaimana mereka melewati hayati sehari-hari (Meliana Ayu Safitri, 2021; Adriana Mustafa 2021). Ketiga, bentuk penghormatan kepada kedua orang tua. Orang tua mempercayai adat perhitungan weton menjadi tolak ukur supaya anak-anaknya dapat hidup sejahtera dan bahagia bersama pasangannya. Jika anak melanggar norma tersebut maka sesuai dengan hukum yang telah berlaku, maka anak tidak diperbolehkan melibatkan kedua orang tuanya pada saat melaksanakan prosesi pernikahan asal mulai akad hingga resepsi dan lain sebagainya (Dwi Arini Zubaidah, 2019). Dari ketiga kecenderungan tersebut belum ada studi yang melihat mengenai adanya peristiwa batalnya pernikahan karena dirasa tidak cocok dalam perhitungan weton.

Apabila pernikahan terjadi berdasarkan hitungan weton, pernikahan tersebut tetap sah selama rukun dan syarat dalam ketentuan hukum Islam terpenuhi dan tidak menciderai hukum islam tersebut. Apapun hukumnya, jika dilihat dari sudut pandang sosial, hitung weton untuk perkawinan bisa dipahami sebagai keinginan orang tua untuk memilihkan pasangan hidup terbaik bagi anak. Bagi warga masyarakat terutama daerah Jawa, perhitungan weton telah menjadi hal yang lumrah, meskipun telah sebagian dari mereka menganggap hal itu hanya sebuah mitos dan takhayul tapi masih banyak juga masyarakat yg masih meyakini bahwa perhitungan weton sangat mempengaruhi kehidupan mereka khusunya dalam bidang rejeki, karir dan perjodohan. Kekentalan tradisi rakyat tadi masih begitu kuat. Hal ini sebagai ragam corak dan sistem keyakinan serta aneka macam aktualisasi diri keagamaan yang unik. dalam sebuah perkawinan, terdapat nilai-nilai cinta yang besar yg menjadi dasar korelasi pada keluarga. dua orang yang menikah, yang awalnya tidak tahu antara yang satu dengan yang lain, sebab menikah mereka sebagai saling menyayangi. konsep perhitungan weton dalam pernikahan di perbolehkan asal tidak mencedarai syariat Islam. Apapun hukumnya, jika dilihat dari sudut pandang sosial, hitung Weton untuk perkawinan bisa dipahami sebagai keinginan orang tua untuk memilihkan pasangan hidup terbaik bagi anak. []

Baca Juga:  Menyambangi Pesantren Tua Balekambang

 

 Sumber:

Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, hlm.79

Sudarsono, Hukum Keluarga Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 1997, hlm. 62.

Al-Imam Taqi al-Din Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Damsyiqi al- Syafi’i, Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayat al-Ikhtishar, Semarang: Usaha Keluarga, t.th., Juz 2, hlm. 36

Ifa Kurratan Na’imah. (2017). Kontruksi Masyarakat Jawatentang Perhitungan Weton Dalam Tradisi Pra Perkawinan Adat Jawa. Jurnal Air langga Surabaya, V (3). hlm. 2.

[1]  Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, hlm.79

[2] Sudarsono, Hukum Keluarga Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 1997, hlm. 62.

[3] Al-Imam Taqi al-Din Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Damsyiqi al- Syafi’i, Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayat al-Ikhtishar, Semarang: Usaha Keluarga, t.th., Juz 2, hlm. 36

[4] Ifa Kurratan Na’imah. (2017). Kontruksi Masyarakat Jawatentang Perhitungan Weton Dalam Tradisi Pra Perkawinan Adat Jawa. Jurnal Air langga Surabaya, V (3). hlm. 2.

Rizal Khoirul Umam
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini