Abou El-Fadl dalam bukunya tulisannya yang bertajuk “The Place of Tolerance in Islam”, mengatakan bahwa jika memahami ayat Qur’an secara harfiah dan diterapkan dalam konteks zaman sekarang nantinya akan hanya melahirkan Muslim yang eksklusif. Pemahaman yang eksklusif semacam ini sebagaimana yang dikembangkan oleh muslim militant pada akhirnya memunculkan hal yang tidak adil.
Sebagai contoh ketika tsunami aceh 2004, ketika itu banyak bantuan dari segala penjuru dunia atas nama kemanusiaan. Akan tetapi sifat eksklusif ini nantinya akan membuat kita tidak mau melakukan hal yang sama ketika umat non-muslim tertimpa musibah/bencana. Kita tidak berbagi nilai-nilai normatif yang sama saat orang lain tertimpa bencana.
Kelompok eksklusifisme untuk menunjukkan bahwa mereka yang paling benar, diluar itu kafir dan sesat. Misalnya, bagi laki-laki tidak cukup hanya dengan becelana menutup aurat dan memenuhi kriteria kesantunan yang didesain sedemikian rupa agar tampak berbeda dengan kelompok lain.
Saperti juga fenomena yang terjadi di era sekarang, mulai dibangunnya tempat-tempat yang serba syariah dan marak sekali perumahan kini khusus muslim saja. Begitu juga mereka memperlakukan umat non-muslim. Mereka dilarang untuk menggunakan simbol-simbol yang selama ini diklaim sebagai milik Islam.
Contoh: dilarangnya penggunaan model kubah dalam bengunan Gereja (Sumatera), umat Kristen dilarang menggunakan kata Allah untuk menyebut nama Tuhan-Nya (Malaysia), dan adanya pelarangan seorang Pendeta memakai kopyah.
Dalam teologi kelompok eksklusifisme, mereka memandang bahwa hanya Islam yang dapat menghantarkan pada keselamatan, diluar daripada itu sesat, kafir, dicap ahli neraka. Sesungguhnya pandangan tersebut tidaklah masalah. Masalah baru akan muncul ketika kita tidak menyadari bahwa di setiap agama mempunyai klaim kebenaran semacam itu. Maka dari itu, klaim kebenaran tersebut hanya dimiliki oleh pengikut semua agama.
Dampak dari sifat eksklusif ini nantinya akan mendorong seseorang untuk bertindak agresif terhadap orang lain yang tidak sependapat. Maka dari itu inilah yang disebut oleh Khaled Abou Fadl bahwa muslim ekstrem memiliki teologi suprematis, yakni teologi yang menganggap dirinya paling unggul dan berhak mendominasi kelompok lain.
Karena mereka berpedoman pada Qur’an secara tekstualis tanpa memandang konteks zaman. Mungkin saja kelompok ini menerima hadirnya agama lain terutama Yahudi dan Nasrani, akan tetapi tidak mau berteman dan mengembangkan sikap permusuhan.
Pada dasarnya Al-Qur’an sendiri merujuk pada kewajiban, moral umum seperti rahmat, dan keadilan. Al-Qur’an tidak secara jelas mendefinisikan kategori tersebut, akan tetapi menggunakan pengandaian-pengandaian kejujuran moral pada sebagian pembaca. Al-Qur’an juga pada dasarnya secara terus menerus memerintah untuk melakukan kebaikan untuk membangun pemahaman normatif. Secara harfiah, arti ihsan selain bermaksud untuk kebaikan, akan tetapi berarti juga meningkatkan dan mempercantik.
Penting sekali ditekankan dalam menganalisis teks Al-Qur’an harus paham keadaan sejarah turunnya ayat tersebut dan dalam konteks keadaan zaman dahulu. Terdapat hal didalamnya seperti pajak, pungutan suara atau membentuk aliansi dengan non-muslim hanya bisa dipahami ketika kita paham betul dengan situasi kondisi praktik sejarah seputar turunnya ayat tersebut.
Ketika dalam memahami Al-Qur’an tanpa memahami konteks turunnya wahyu tersebut dan tidak melihat konteks sejarah, maka akan melahirkan paham Puritan yang menafsirkan ayat secara tekstualis dan tidak berkomitmen secara moral.
Dalam isi Qur’an sebenarnya banyak sekali dengan mudah ditemukan untuk bertoleransi dan mengakui adanya perbedaan, bahkan keragaman setiap manusia.
“Wahai manusia, Tuhan menciptakan kamu dari pria dan wanita dan membuat kamu beragam bangsa dan suku sehingga kamu bisa saling mengenal satu sama lain, sesungguhnya diantara kamu yang paling terhormat di hadapan Allah adalah yang paling benar”.
Selain mengakui keragaman, Qur’an juga menerima gagasan lebih spesifik tentang pluralitas kepercayaan dan hukum agama. Meskipun menurut umat Islam sendiri mengklaim bahwa Qur’an merupakan kebenaran ilahi dan menuntut untuk beriman kepada Muhammad sebagai Nabi terakhir. Pengklaiman kebenaran tersebut tidak sepenuhnya satu-satunya jalan untuk mencapai keselamatan, ada kemungkinan juga non-muslim baik Kristen, Yahudi, Hindu, memiliki jalan keselamatan tersendiri.
Seperti dalam sejarah Nabi ketika di Madinah yang mana kala itu hidup berdampingan dengan Yahudi dan Nasrani. Memang umat Islam mendesak untuk mendukung golongannya, akan tetapi Yahudi dan Nasrani diterima hidup berdampingan dan mendapat perlakuan yang sama dengan Islam. Dengan begitu yang diharapkan adalah hubungan timbal balik bagi umat Islam.
Kamudian, jargon yang kerap kali dimunculkan ke permukaan oleh kelompok ekstrimis kali ini yaitu “Jihad Fii Sabilillah”, yang kerap dianggap sebagai “The Way of Life”. Jihad yang diartikan selama ini sebagai perang suci yang mengatasnamakan Tuhan untuk memerangi orang kafir. Maka dari itu, jihad digambarkan sebagai gambaran bentuk intoleransi. Sebetulnya Islam sendiri tidak melarang seseorang untuk berpindah agama. Islam sendiri tidak menganjurkan unsur paksaan, karena masalah iman seseorang tidak dapat dipaksakan.
Fakta yang sesungguhnya terkait gagasan perang suci “Jihad” tersebut tidak ditujukan untuk memerangi umat lain atau usaha mendapat keadilan. Akan tetapi perang suci tertinggi yang dimaksud adalah suatu tindakan untuk membersihkan diri dari sifat buruk hati/rohaniah. Sesungguhnya Qur’an menekankan boleh memerangi orang yang memerangi mereka terlebih dahulu, bukan yang tidak bersalah. Qur’an juga memerintahkan untuk memerangi non-muslim jika mengancam keselamatan umat Islam, baik fisik, dan mengusirnya dari tempat tinggalnya.
Akan tetapi, seperti dalam tulisan Mohammed Abu-Nimer yang bertajuk “Nirkekerasan dan Bina-Damai dalam Islam”, jika umat non-muslim mencari perdamaian, maka umat Islam harus memperlakukannya dengan baik demi kemaslahatan. Sebagaimana yang termaktub dalam Qur’an Al-Anfal: 61: “jika musuh kamu condong terhadap perdamaian, maka kamu harus mencari perdamaian dan percaya terhadap Tuhan”.
Fakta lainnya tentang toleransi dalam Islam yaitu zaman dahulu ketika non-muslim tinggal di wilayah muslim. Mereka dikenakan membayar pajak pungutan untuk mendapat perlindungan dari negara Muslim. Akan tetapi ketika masa khalifah ke-2 sahabat Umar, pajak pungutan tersebut dikembalikan kepada ahli kitab yang ia tidak mampu lindungi dari agresi Bizantium.
Pada intinya teks-teks suci baik Qur’an maupun teks Islami lainnya berbicara melalui pembacanya, tergantung bagaimana si pembaca menafsirkan. Jika menafsirkan hanya tekstualis dan tidak mengaca pada sejarah Islam dahulu, maka akan menghasilkan Islam puritan, supremasi dan intoleran.
Akan tetapi jika menafsirkan dengan benar, maka akan mendapat berkah karena menyesuaikan dengan zaman dan paham betul dengan sejarah turunnya ayat tersebut. Peradaban Islam juga telah melahirkan tradisi humanistik dan toleransi yang melestarikan filsafat Yunani fan menghasilkan banyak sains, seni dan pemikiran sosial yang baik dan juga dalam sejarah Islam juga memunculkan kemampuan untuk mengenali kemungkinan adanya toleransi antar umat beragama. []