Namanya Muhammad ibnu Jarir. Meskipun ‘jomblo’ dan tidak punya anak, beliau punya ‘kunyah’: Abû Ja’far (bapaknya Ja’far). Ada dua nama ulama kondang lain yang jomblo tetapi punya ‘kunyah’ Abû: Nawâwî (Abû Zakariyâ) dan Ibn Taimiyyah (Abû al-Abbâs). Ini lumrah dalam tradisi Arab. Siti Aisyah, isteri Baginda Nabi, tidak punya anak, tetapi punya ‘kunyah’: Ummu Abdillâh.
Ibnu Jarir orang Persia. Lahir pada 224 H di Amol, Thabaristan, daerah di selatan Laut Kaspia. Sekarang masuk wilayah Iran. Meninggalkan tanah kelahirannya sejak usia 12 tahun, berkelana menuntut ilmu, menetap dan wafat di Baghdad. Ibnu Jarir dikenal dari daerah asalnya: Thabarî.
Thabarî sebelumnya penganut Mazhab Syâfi’î. Selama sepuluh tahun di Baghdad, beliau berfatwa dengan mazhab Syâfi’î. Setelah itu menjadi mujtahid muthlaq, tidak terikat dengan madzhab lain. Karya tulisnya banyak, yang terkenal Jâm’i al Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân (Tafsîr al- Thabarî) dan Târikh al-Rusul wa al-Mulûk (Târikh al-Thabarî).
Kenapa Perlu Belajar Tafsir?
Al-Quran petunjuk bagi manusia. Setiap orang, yang meyakini risalah Nabi Muhammad, akan berhubungan dengan al-Quran. Al-Quran ditulis dengan gaya bahasa Arab yang tinggi. Semua orang bisa membaca al-Quran, tetapi tidak semua orang bisa memahami isinya. Semua orang bisa mengerti maknanya, tetapi belum tentu mendapat petunjuk darinya. Tidak semua orang Arab, yang bicara dengan bahasa Arab, otomatis paham makna dan kandungan al-Quran. Bahkan para sahabat Nabi yang utama, kadang tidak mengerti arti kata dalam al-Quran. Umar Ibn Khattâb, misalnya, tidak paham arti kata di dalam QS. ‘Abasa/80: 31: «وفاكهةً وأبّاً». Umar berkata, “Kalau Fâkihah saya tahu, tetapi apa arti kata Abbâ? Umar juga tidak mengerti arti kata dalam QS. al-Nahl/16: 47: « أو يأخذهم على تَخَوُّفٍ». Kepada sahabat yang lain, Umar bertanya, apa arti kata ‘takhawwuf’?
Kita bisa menyimpulkan, belajar tafsir penting sekali, apalagi bagi orang yang mengusung semboyan kembali kepada al-Quran. Tidak semua ayat al-Quran ditafsirkan secara rinci oleh Rasulullah. Rasulullah menafsirkan ayat ke-7 Surat al-Fâtihah «غير المغضوب عليهم ولا الضالين » : « المغضوب عليهم» adalah Yahudi, الضالين adalah Nasrani. Rasulullah menafsirkan ayat ke-238 surat al-Baqarah «حافظوا على الصلوات والصلاة الوسطى»: maksud «والصلاة الوسطى », kata Nabi, adalah salat asar. Tetapi, tidak semua ditafsirkan secara rinci oleh Rasulullah. Karena itu, kepada Abdullâh ibn Abbâs, Rasulullah berdoa: «اللهم فقهه فى الدين وعلمه التأويل» ( Ya Allah, ajarilah dia agama dan tafsir).
Berdasarkan dalil ini, tafsir dan ilmu tafsir penting. Dan tafsir yang otoritatif adalah tafsir berdasarkan riwayat yang disampaikan Nabi, diteruskan oleh Sahabat ke Tâbi’în dan seterusnya ke Tâbi’ al-Tâbi’în. Jenis tafsir ini namanya Tafsîr al-Ma’tsûr. Dalam kategori tafsir ini, kedudukan Tafsîr al- Thabarî menjulang tinggi.
Kenapa Tafsîr al- Thabarî?
Muhammad Husaîn al-Dzahabî, mantan menteri agama Mesir yang dibunuh oleh militan pecahan IM pada 1977, menulis kitab berjudul Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, tiga jilid. Di dalam kitab ini, dia menulis paragraf panjang tentang Ibnu Jarir dan Tafsîr Thabarî. Ibn Jarir disebut sebagai Bapak Tafsir karena dialah yang pertama kali menulis kitab tafsir, secara runtut, dari awal hingga akhir surat, dalam sebuah karya utuh dan dicetak sampai sekarang. Sebelum Ibnu Jarir, tidak ada karya tafsir yang sifatnya utuh. Sebagian pendapat dan tafsir Ibn Abbâs atas al-Quran, misalnya, dikumpulkan ke dalam sebuah kitab, berjudul «تنوير المقباس من تفسير ابن عباس». Ini bukan karya Ibn Abbâs, tetapi berdasarkan pendapat Ibn Abbâs. Al-Fara’ menulis kitab «معاني القرأن», tetapi bukan karya tafsir utuh. Dari jajaran ulama salaf, dari generasi Tâbi’ al-Tâbi’în, pioneer penulisan kitab tafsir yang utuh adalah Ibnu Jarir. Tidak salah jika Ibn Jarîr dikukuhkan sebagai Bapak Tafsir.
Ibn Jarîr bukan sekadar pioneer, tetapi pendahulu yang hebat. Saking hebatnya, tidak ada tafsîr bi al-matsûr dan bi al-ra’y yang tidak mengutip Ibn Jarîr. Pujian ‘setinggi langit’ disampaikan para ulama. Jalâluddîn al-Suyûthî, penulis Tafsîr Jalâlaîn dan al-Durr al-Mantsûr, mengatakan tentang Ibn Jarîr: “Karya Ibn Jarîr adalah tafsir teragung dan terhebat, mengungguli karya-karya tafsir masa lampau.” Imam Nawawi mengatakan: “Orang sepakat tidak ada karya tafsir sehebat Tafsîr al- Thabarî.” Abu Hâmid al-Isfarainî mengatakan: “Seandainya orang melanglang sampai Cina, dia tidak akan menemukan tafsir sekomplet Tafsîr al- Thabarî. Ibn Taimiyah, rujukan kaum salafi, mengatakan tentang Tafsîr al- Thabarî: “Kitab tafsir paling sahih yang ada di tangan manusia adalah Tafsîr al- Thabarî. Di dalamnya dikutip riwayat ulama salaf dengan sanad yang pasti dan tanpa ada bid’ah.”
Kenapa Membaca Tafsîr al- Thabarî?
Kitab ini tebal, terdiri dari 15 jilid tebal. Cetakan lain ada yang membagi ke dalam 26 juz. Kitab ini jarang di-balah (dibaca) di pesantren, tetapi banyak dikoleksi dan dijadikan rujukan Kiai. Karena tebal, tidak perlu terobsesi untuk mengkhatamkan kitab tafsir ini. Kenapa kitab ini perlu dibaca?
Secara pribadi saya senang sekali membaca kitab tafsir. Dulu saya pernah ngaji online kitab tafsir al-Durr al-Mantsûr karya Jalâluddîn al-Suyûthî, tetapi mandek. Faktornya: saya merasa belum siap secara batin. Musim pandemi banyak teman-teman ISNU beraktivitas di rumah. Mereka mengisi waktu dengan membuat grup One Day One Juz dan Tartil. Untuk menambah bobot, saya diminta membaca tafsirnya. Saya pilih Tafsîr al- Thabarî semata-mata untuk tabarruk dan ‘ngalap ilmu’ dari salah satu mufassir terhebat dalam sejarah. Saya tidak punya pretensi untuk mengkhatamkan kitab ini, karena tujuannya memang bukan untuk khataman. Sekali lagi tujuannya adalah tabarruk sekaligus menyambung sanad. Tidak mungkin kita memahami al-Quran tanpa bersanad dengan ulama salaf, yang meneruskan ilmu dari Nabi ke Sahabat, dari Sahabat ke Tâbi’în, dari Tâbi’în ke Tâbi al-Tâbi’în, dan seterusnya. Hanya dengan cara ini kita bisa beragama secara bertanggung jawab: cara beragama yang otoritatif, bukan otoritarian. [HW]