Teknologi Beradab

Sekitar tiga atau empat tahun yang lalu teman-teman assalam mengikuti tasyakuran atas selesainya pembangunan kantin pondok. Dengan dipimpin oleh bapak, kami sama-sama membaca beberapa ayat al-Qur’an. Seperti biasanya acara, pasti ada salah satu teman santri yang mengabadikan momen tersebut. Karena memang sangat jarang sekali ada acara di assalam yang dihadiri bapak.

Sejak awal acara, sang fotografer pondok sudah jeprat jepret di banyak posisi. Saat bapak meminta semua santri untuk membaca ayat Qur’an bersama-sama pun, sang fotografer masih mengambil gambar. Hingga akhirnya bapak melihat momen tersebut, dan seketika bapak menghentikan bacaan ayat di pengeras suara, kemudian memarahi sang fotogafrer: ”ojo fota foto, ayuk melu moco pisan bareng-bareng (jangan jeprat-jepret saja, ayuk sini ikut membaca doa bareng-bareng)”. Saya yang sudah hafal dengan raut muka bapak, sedikit kaget dan takut melihat wajah beliau ketika itu. Karena memang bapak sangat jarang sekali marah, maka akan sangat menakutkan kami, bila beliau duko.

Momen ini sangat mengena di hati saya, terutama di hati sang fotografer tentunya. Saya belajar bagaimana tetap beradab ketika menggunakan teknologi. Karena pada dasarnya teknologi tak punya sisi, dia netral. Kita sebagai pengguna harus mengisinya dengan etika.

Tak dipungkiri, teknologi sangat membantu kita dalam melakukan kebaikan. Seperti kamera yang mampu mengabadikan momen indah kita, termasuk bersama guru. Namun akan sangat egois, bila kita mencoba mengabadikan momen, namun melupakan etika dalam mengambil gambar tersebut. Saya pribadi hingga sekarang tidak pernah berani meminta foto bareng dengan guru saya secara pribadi. Saya takut bila permintaan itu mengganggu perasaan beliau. Karena sebagaimana kebanyakan orang-orang khusus, beliau-beliau tidak suka publikasi. Beliau-beliau lebih suka khumul, tidak dikenal.

Baca Juga:  Menjadi Kyai di Zaman ‘Artificial Intelligence’

Keterasingan atau ketidakterkenalan inilah yang saya sangka kan kenapa kalender kwagean tidak pernah ada fotonya bapak. Pasti hanya foto bangunan-bangunan yang ada di yayasan fathul ulum kwagean. Entah itu masjid, madrasah, atau rumah pengasuh dan lembaga-lembaga yang ada di bawah naungan yayasan. Meskipun ternyata, prasangka saya ini ternyata tidak sepenuhnya benar.

Beberapa hari yang lalu saya diceritakan oleh salah satu santri kenapa bapak tidak mau fotonya ada di dalam kalender pondok. Menurut kang santri tersebut, dulu sekali pernah ada kalender kwagean yang berisi fotonya bapak, namun ternyata bekas kalender ini tidak digunakan dan ditempatkan dengan pantas setelah dipakai. Kalender lama, yang ada fotonya bapak disana, setelah kadaluwarsa justru digunakan untuk bungkus makanan, alas angkring, atau bahkan untuk ganjal lemari. Sesuatu yang kurang pantas dalam memperlakukan foto guru. Oleh karena hal inilah, bapak tidak pernah lagi mengizinkan ada foto beliau, dan guru-guru kwagean lain, dicetak dalam kalender kwagean.

Saya kira tak hanya kalender, saya juga merasa harus lebih berhati-hati lagi dalam menggunakan teknologi. Saya sangat bahagia sekali dengan hadirnya kiai-kiai sepuh dalam streaming YouTube, ataupun media sosial lainnya. Saya bisa ikut mengaji pada ulama-ulama besar dari seluruh penjuru dunia, tanpa harus datang kesana. Tak hanya jarak, namun saya juga bisa bebas menentukan waktu, kapan mengikuti pengajian tersebut.

Namun saya seringkali salah dalam memaknai kebebasan dan kemewahan yang ditawarkan oleh teknologi ini, seringkali saya justru kurang takdzim dalam mengikuti pengajian. Sang kiai sepuh mengaji dengan khusyuk, saya malah mendengarkannya di kamar sambil rebahan santuy. Tak jarang pengajian kiai sepuh itu justru menjadi lullaby, pengantar tidur saya.

Baca Juga:  Menjelang 100 tahun NU, Tingkatkan SDM Bidang Sains-Teknologi dan Perkuat Kolaborasi

Ini bagi saya adalah kesalahan, dan tak boleh saya lanjutkan. Saya harus tetap takdzim kepada ulama’, terutama kepada guru-guru saya, dimanapun dan menggunakan media apapun.

Semoga kita selalu sadar dan faham bahwa menjaga diri dan sikap adalah cerminan dari pengetahuan dan keyakinan. Karena santri, sebagaimana islam, adalah tentang hal atau tingkah laku. Bukan mahal, atau tempat kita berdiri. []

Muhammad Muslim Hanan
Santri Alumnus PIM Kajen dan PP Kwagean Kediri

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah