Dalam agama Islam pernikahan merupakan ritual yang sakral. Bahkan Allah SWT menyebutnya mitsaqan ghalidza atau perjanjian Allah SWT yang kokoh. Hal ini setara dengan perjanjian Allah SWT dengan Bani Israil (Perjanjian Lama) dan juga Perjanjian Allah SWT dengan para Nabi. Allah SWT menyebut akad nikah antara dua orang anak manusia sebagai mitsaqan ghalidza, agar janganlah pasangan suami istri dengan begitu mudahnya mengucapkan kata cerai. Untuk itu pernikahan sangat dianjurkan dalam Islam untuk memiliki persiapan yang matang baik secara fisik maupun mental.

Pernikahan selain sebagai bentuk  ibadah, ia juga merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul. Sunnah Allah, berarti menurut qadrat dan iradat Allah dalam penciptaan alam ini. Artinya memang secara takdirnya diciptakan untuk melaksanakan pernikahan. Sedangkan sunnah Rasul berarti suatu tradisi yang telah ditetapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya. Pernikahan merupakan sunnah Nabi, yaitu mencontoh tindak laku Nabi Muhammad SAW.  Berikut ini ayat yang berkenaan dengan pentingnya perintah untuk menikah:

 

وَاَنْكِحُوا الْاَيَامٰى مِنْكُمْ وَالصّٰلِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَاِمَاۤىِٕكُمْۗ اِنْ يَّكُوْنُوْا فُقَرَاۤءَ يُغْنِهِمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ

 

Artinya: Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui (QS. An-Nur: 32).

 

Untuk memahami makna atau tafsir dari surat An-Nur ayat 32 ini maka perlu memahami makna yang terdapat pada ayat setelahnya yaitu ayat 33. Di mana ayat tersebut berbunyi sebagai berikut:

وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِيْنَ لَا يَجِدُوْنَ نِكَاحًا حَتّٰى يُغْنِيَهُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖ ۗوَالَّذِيْنَ يَبْتَغُوْنَ الْكِتٰبَ مِمَّا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوْهُمْ اِنْ عَلِمْتُمْ فِيْهِمْ خَيْرًا وَّاٰتُوْهُمْ مِّنْ مَّالِ اللّٰهِ الَّذِيْٓ اٰتٰىكُمْ ۗوَلَا تُكْرِهُوْا فَتَيٰتِكُمْ عَلَى الْبِغَاۤءِ اِنْ اَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِّتَبْتَغُوْا عَرَضَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۗوَمَنْ يُّكْرِهْهُّنَّ فَاِنَّ اللّٰهَ مِنْۢ بَعْدِ اِكْرَاهِهِنَّ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Baca Juga:  Gus Ulil dan Penafsiran Metaforis

 

Artinya:  Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan jika hamba sahaya yang kamu miliki menginginkan perjanjian (kebebasan), hendaklah kamu buat perjanjian kepada mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi. Barangsiapa memaksa mereka, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (kepada mereka) setelah mereka dipaksa (QS. An-Nur: 33).

Adapun sebab turunnya ayat 33 menuruut As-Suyuthi dari Abdullah Shubaih dari bapaknya berkata bahwa ada seorang hamba sahaya dari Huwaithib bin ‘Abdil ‘Aziz meminta untuk dimerdekakan dengan perjanjian tertentu, namun permintaannya ditolak sehingga turun ayat ini yang memerintahkan untuk mengabulkan permintaan hamba sahaya yang ingin merdeka.

Setelah ayat ini turun, Huwaithib kemudian memerdekakan hamba sahaya tersebut dengan memberikan beberapa dinar. Pada riwayat lain, diceritakan bahwa ‘Abdullah bin Ubay mempunyai seorang jariyah (hamba sahaya wanita) yang suka disuruh melacur sejak zaman jahiliyah. Kemudian setelah zina diharamkan, maka jariah tersebut tidak mau lagi melakukannya, ayat ini pun turun setelah jariah tersebut mengadu kepada Rasulullah.

Menurut At-Tabari bahwa ayat ini memerintahkan untuk menikahkan orang-orang mukmin yang belum memiliki pasangan secara sah baik lelaki maupun perempuan. Jika didapati mereka itu belum mampu secara finansial maka Allah SWT berjanji akan mencukupi pernikahan mereka.

Lebih lanjut, At-Tabari mengutip riwayat-riwayat yang menjelaskan ayat ini, salah satunya riwayat dari Ali bahwa Allah SWT memerintahkan dan mendorong orang-orang tersebut untuk menikah sekaligus orang-orang yang merdeka serta budak-budak mereka, dan menjanjikan kekayaan dalam pernikahan mereka. Riwayat selanjutnya dikutip dari Abu Kuraib yang mengatakan “carilah kekayaan yang kau inginkan dengan jalan menikah”.

Baca Juga:  Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 221: Nikah Beda Agama

Berdasarkan teks ayat dan konteks dari QS. An-Nur: 32, maka setidaknya terdapat tiga pesan utama yang ingin ditunjukkan oleh ayat ini. Anjuran untuk menikah, kebebasan dan kemerdekaan bagi budak dan hamba sahaya, dan yang ketiga adalah larangan menghina orang-orang fakir.

Melalui surat An-Nur ayat 32 ini, al-Qur’an sebenarnya berusaha untuk memberikan kebebasan dan kemerdekaan terhadap para budak dan hamba sahaya pada waktu itu. Tentunya usaha ini tidak lain untuk menghilangkan zina yang dilakukan oleh para pemilik budak, mengingat bahwa kondisi seorang budak pada waktu itu sangat memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat dari sebab turunnya ayat selanjutnya yang menerangkan bahwa adanya seorang jariah yang datang mengadu kepada Nabi SAW karena dipaksa untuk melakukan zina oleh pemiliknya.

Selain itu, secara bahasa, bentuk perintah yang dikemukakan pada kata di awal ayat ini, ankihu yang berarti nikahkanlah dengan sungguh-sungguh kemudian diikuti dengan adanya kata fuqara di kalimat terakhir ayat ini yang bermaksud untuk menyegerakan meskipun dalam keadaan fakir. Sebenarnya al-Quran ingin menyapa para pemilik budak secara halus untuk memberikan kebebasan dan kemerdekaan kepada para hamba sahaya dan para budak miliknya tanpa menimbulkan dendam dan kerugian.

Selain anjuran kebebasan dan kemerdekaan bagi para budak, ayat ini juga ingin menyampaikan secara nalar bahwa adanya unsur penghinaan terhadap orang-orang fakir pada waktu itu. Sebagaimana yang diungkapkan pada bagian akhir ayat ini, inyakunu fuqara ayugnihimu Alla humin falih yang berarti meskipun dalam keadaan fakir, maka Allah SWT akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.

Kemudian di akhir ayat ini ditutup dengan kata wa Allahu wa si’un ‘Alim yang berarti bahwa Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui. Kalimat ini menarasikan bahwa ada banyak hal yang tidak diketahui oleh manusia sedangkan kemampuan manusia itu sangat terbatas. Oleh sebab itu, jelaslah bahwa pesan lain dari ayat ini adalah untuk lebih menghargai orang-orang yang fakir, sebab bisa saja mereka dikayakan dengan seizin Allah SWT kemudian memutarbalikkan keadaan.

Baca Juga:  Tafsir Maqashidy dan Gerakan Pembaharuan Tafsir

Pesan utama yang terakhir dari ayat ini adalah anjuran untuk menikah. Secara tekstual, sangat jelas bahwa ayat ini merupakan anjuran untuk segera menikahkan orang-orang yang belum menikah, para budak, hamba sahaya yang beriman, meskipun dalam keadaan fakir, namun Allah SWT akan mencukupi mereka dengan karunia-Nya. Pada ayat selanjutnya dijelaskan kembali jikalau tidak mampu untuk melangsungkan pernikahan maka sebaiknya menjaga kesuciannya.

Jika ayat ini digunakan untuk melihat konteks saat ini, maka ayat ini dapat digunakan sebagai acuan bagi siapapun yang menginginkan pernikahan, maka sebaiknya dia menyanggupi atau mempersiapkan berbagai persyaratan-persyaratan yang harus dimiliki. Secara finansial diantaranya adalah mahar, biaya resepsi dan lainnya. Secara psikologi diantaranya, kesiapan mental, kebesaran jiwa dan kemampuan lahir dan batin, dan yang terakhir adalah kemampuan untuk membina rumah tangga agar terciptanya keluarga yang diinginkan dan mengurangi angka perceraian.

Referensi

At-Tabari, Muhammad Ibn Jarir. Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi Al-Qur’an. Beirut: Al-Risalah, 1994.

Ibnu Manzur. ‚Lisan Al-‘Arab. Kairo: Dar Al-Ma’arif, t.t.

Mansur, Ali. Hukum dan Etika Pernikahan dalam Islam. Malang: UB Press, 2017.

Quthb, Sayyid. Tafsir Fi Dzilal Al-Qur’an di Bawah Naungan Al-Qur’an. Terj.  As’ad Yasin dkk. Jakarta: Gema Insani Press, 2003.

Thobroni, M., dan Aliyah A. Munir. Meraih Berkah dengan Menikah. Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2010.

Mubaidi Sulaeman
Alumni Ponpes Salafiyah Bandar Kidul Kota Kediri, Peneliti Studi Islam IAIN Kediri-UIN Sunan Ampel Surabaya

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini