Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 235-237 tentang Khitbah dan Hak Mahar Istri

Mengenal Khitbah Menurut Al-Quran

Dalam Islam menikah adalah sebuah sunnah Nabi Muhammad yang utama. Karena dengan pernikahan manusia cenderung harmonis kehidupannya. Terlepas dari segala problematika yang disebabkan oleh pernikahan, hakIkatnya sebuah pernikahan memiliki tujuan menciptakan keharmonisan, cinta kasih, keberlangsungan keturunan dan beribadah untuk mencapai ridlo Allah.

Islam mengajarkan ada tahapan yang terpenting sebelum berlangsungnya pernikahan. selain ta’aruf, yaitu khitbah atau melamar. Banyak sekali tradisi-tradisi yang berkembang di masyarakat dalam proses khitbah ini, sehingga untuk menuju kejenjang pernikahan menjadi terlihat rumit dan sulit. Bahkan tidak jarang membuat para pemuda yang hendak menikah harus berpikir terlalu Panjang untuk melakukannya.

Meskipun pada hakikatnya dalam ajaran Islam khitbah sangat sederhana, yaitu meminta persetujuan wali (bagi wanita yang masih perawan) atau wanita yang ingin dinikahi baik secara terang-terangan maupun dengan “nada bercanda”. Sebagaimana yang tercantum dalam surat Al-Baqarah ayat 235 berikut ini:

وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا عَرَّضْتُمْ بِهٖ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاۤءِ اَوْ اَكْنَنْتُمْ فِيْٓ اَنْفُسِكُمْ ۗ عَلِمَ اللّٰهُ اَنَّكُمْ سَتَذْكُرُوْنَهُنَّ وَلٰكِنْ لَّا تُوَاعِدُوْهُنَّ سِرًّا اِلَّآ اَنْ تَقُوْلُوْا قَوْلًا مَّعْرُوْفًا ەۗ وَلَا تَعْزِمُوْا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتّٰى يَبْلُغَ الْكِتٰبُ اَجَلَهٗ ۗوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ يَعْلَمُ مَا فِيْٓ اَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوْهُ ۚوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ حَلِيْمٌ ࣖ

Artinya: Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut kepada mereka. Tetapi janganlah kamu membuat perjanjian (untuk menikah) dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan kata-kata yang baik. Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah, sebelum habis masa idahnya. Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun, Maha Penyantun. (QS.Al-Baqarah: 235)

Kata ta’rid (sindiran) menurut As-Sauri, Syu’bah dan Ibnu Jarir adalah sebuah kalimat yang menurut adat kebiasaan suatu masyarakat yang dapat dipahami oleh masyarakat tersebut sebagai pinangan (lamaran) maka hal tersebut suah sah disebut sebagai khitbah. Sehingga khitbah tidak membutuhkan seperangkat ritual tertentu atau proses acara-acara tertentu untukmenjadi syaratnya. Kalua pun ada yang demikian itu hanyalah sebuah “pemanis” agar khitbah tersebut terasa istimewa.

Imam bukhori meriwayatkan secara ta’liq terkait ayat tersebut. Telah menceritakan kepadanya talq ibnu Ghanam, dari Zaidah, dari Mansur, dari Mujahid dan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan Ayat 235 dari surat Al-Baqarah tersebut. Bahwa yang dimaksud dengan sindiran adalah bila seorang laki-laki mengatakan, “sesungguhnya aku ingin menikah. Sesungguhnya wanita benar-benar hajatku. Aku berharap semoga dimudahkan untuk mendapat wanita yang sholehah.”  Dihadapan walinya ataupun wanita yang ingin dinikahinya (janda yang sudah tuntas masa ‘iddah-nya), hal itu merupakan suatu khitbah.

Tetapi dalam ayat di atas melarang menjanjikan wanita yang belum resmi dikhitbah oleh laki-laki untuk mengikatnya dengan kata-kata yang tidak secara resmi ia menunjukkan khitbah. Seperti kata “aku mencintaimu. Berjanjilah kamu tidak akan menikah dengan laki-laki selain aku”. Hal ini jelas dilarang dalam ayat 235 dalam surat al-Baqarah di atas, yang berbunyi:

Baca Juga:  Mencintai Istri dan Anak sebagai Wujud Mencintai Allah

 لٰكِنْ لَّا تُوَاعِدُوْهُنَّ سِرًّا

  “Tetapi janganlah kamu membuat perjanjian (untuk menikah) dengan mereka secara rahasia

Menurut Muhammad Ibnu Sirrin hal ini juga termasuk dikatakan kepada wali perempuan, dengan mengatakan “Janganlah kamu mendahulukan orang lain daripada aku untuk memperolehnya (wanita yang ingin dikhitbah)”. Sehingga meminang atau khitbah seorang wanita harus dengan kalimat yang ma’ruf dan jelas akadnya. Tidak boleh hanya mengikatnya dengan kalimat yang masih belum jelas kapan “khitbah” tersebut untuk dilaksanakan.  Bukankah fenomena tersebut banyak kita temukan di kalangan remaja saat ini, tanpa khitbah yang jelas, dengan mengatasnamakan “pacarana” tetapi melarang orang lain untuk menikahinya, dan bahkan meluapkan amarahnya karena wanita yang dicintainya tidak diberikan kepastian kapan akan dinikahinya atau minimal dilamarnya.

Mahar sebagai Hak Istri

Selain khitbah ada hal yang paling penting untuk terjadinya pernikahan. Yaitu pemberian mahar sebagai hak wanita yang dinikahi oleh seorang laki-laki. Dalam Islam, disyari’atkannya membayar mahar hanyalah sebagai hadiah yang diberikan seorang lelaki kepada seorang perempuan yang dipinangnya ketika lelaki itu ingin menjadi pendampingnya, dan sebagai pengakuan dari seorang lelaki atas kemanusiaan kemuliaan dan kehormatan perempuan. Karena itu, dalam al-Qur’an Allah telah menegaskan dalam surat an-Nisa ayat 4:

وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْۤـًٔا مَّرِيْۤـًٔا

Artinya: Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.

Mahar sudah dikenal pada masa jahiliyah, jauh sebelum Islam datang. Akan tetapi, mahar sebelum datangnya Islam bukan diperuntukkan bagi calon istri, melainkan untuk ayah atau kerabat dekat laki-laki dari pihak istri. Konsep perkawinan menurut berbagai bentuk hukum adat ketika itu, sama dengan transaksi jual beli, yakni jual beli antara calon suami sebagai pembeli dan ayah atau keluarga dekat laki-laki dari calon istri sebagai pemilik barang.

Baca Juga:  Menebar Nilai Al-Qur'an Melalui Medsos

Ketika itu, wali yaitu ayah atau kakek dan keluarga dekat yang menjaga perempuan menganggap mahar adalah hak mereka sebagai imbalan atas tugas menjaga dan membesarkan perempuan tersebut. Karena apabila perempuan tersebut dikawinkan, mahar yang diberikan oleh mempelai laki-laki akan menjadi milik wali atau penjaganya. Secara tidak langsung mahar digambarkan sebagai pembelian perempuan.

Ketika al-Qur’an datang pranata mahar tetap dilanjutkan, hanya saja konsepnya mengalami perubahan. Sebelum Islam mahar dibayarkan kepada orang tua calon istri, maka sekarang mahar tersebut diperuntukkan bagi calon istri. Dengan demikian menurut Nasaruddin Umar, al-Qur’an mengubah status perempuan dari sebuah “komoditi” barang dagangan menjadi subyek yang ikut terlibat dalam suatu kontrak, bahkan menunjukkan Syariat Islam mempunyai sistem mahar tersendiri berdasarkan prinsip keadilan dan maslahah.

Islam mewajibkan mahar (maskawin) dan memastikannya untuk dimiliki si perempuan sebagai suatu kewajiban dari laki-laki kepadanya yang tidak boleh ditentang. Islam mewajibkan si suami memberikan maskawin (mahar) sebagai “nihlah” (pemberian yang khusus kepada perempuan) dan harus dengan hati yang tulus dan lapang dada, sebagaimana halnya memberikan hibah dan pemberian.

Para suami yang telah menceraikan istrinya sebelum bersetubuh, tidak berkewajiban membayar sesuatu, namun demikian sungguh bijaksana jika para suami memberikan sesuatu kepadanya, karena itu hendaklah kalian berikan suatu mut’ah (pemberian kepada mereka). Karena perceraian tersebut telah menimbulkan sesuatu yang dapat mengeruhkan hati istri dan keluarganya. Pemberian tersebut sebagaimana ganti rugi, atau lambang hubungan persahabatan dengan bekas istri dan keluarganya walaupun tanpa ikatan perkawinan. Jumlah yang diserahkan tidak ditentukan sesuai dengan kerelaan dan kemampuan bekas suami. Sebagaimana firman Allah dalam  surat Al-Baqarah ayat 236 berikut ini:

Baca Juga:  Paradigma Hermeneutika Quraish Shihab dan Relevansinya Dalam Perkembangan Penafsiran Al-Qur’an

لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاۤءَ مَا لَمْ تَمَسُّوْهُنَّ اَوْ تَفْرِضُوْا لَهُنَّ فَرِيْضَةً ۖ وَّمَتِّعُوْهُنَّ عَلَى الْمُوْسِعِ قَدَرُهٗ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهٗ ۚ مَتَاعًا ۢبِالْمَعْرُوْفِۚ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِيْنَ

Artinya:  Tidak ada dosa bagimu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu yang belum kamu sentuh (campuri) atau belum kamu tentukan maharnya. Dan hendaklah kamu beri mereka mut‘ah, bagi yang mampu menurut kemampuannya dan bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya, yaitu pemberian dengan cara yang patut, yang merupakan kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan. (QS. Al-Baqarah: 236).

Apabila terjadi perceraian sebelum berlangsungnya hubungan seksual (senggama) antara kedua suami istri, maka suami diwajibkan membayar setengah dari mahar yang telah ditentukan. Allah swt. berfirman dalam QS. al-Baqarah 237:

وَاِنْ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ اَنْ تَمَسُّوْهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيْضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ اِلَّآ اَنْ يَّعْفُوْنَ اَوْ يَعْفُوَا الَّذِيْ بِيَدِهٖ عُقْدَةُ النِّكَاحِ ۗ وَاَنْ تَعْفُوْٓا اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۗ وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

Artinya: Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh (campuri), padahal kamu sudah menentukan Maharnya, maka (bayarlah) seperdua dari yang telah kamu tentukan, kecuali jika mereka (membebaskan) atau dibebaskan oleh orang yang akad nikah ada di tangannya. Pembebasan itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu lupa kebaikan di antara kamu. Sungguh, Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah: 237)

Menurut Muhammad Quraish Shihab jika sudah melakukan hubungan (bersetubuh) dan telah menetapkan kadar maharnya maka suami berkewajiban memberikan kepada istrinya, demikian juga kepada istri yang diceraikannya, kadar mahar yang dijanjikan itu secara penuh. Apabila mereka telah bercampur sebagai layaknya suami istri, tetapi belum ditentukan kadar mahar sebelum menceraikannya, maka wajib dibayarkan oleh suami sejumlah yang pantas bagi perempuan yang status sosialnya sama dengan status sosial istri yang diceraikan itu. []

Mubaidi Sulaeman
Alumni Ponpes Salafiyah Bandar Kidul Kota Kediri, Peneliti Studi Islam IAIN Kediri-UIN Sunan Ampel Surabaya

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hukum