Al-Anbiya: 38
وَيَقُوْلُوْنَ مَتٰى هٰذَا الْوَعْدُ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ
Wa yaqụlụna matā hāżal-wa’du ing kuntum ṣādiqīn
Dan mereka berkata, “Kapankah janji itu (akan datang), jika kamu orang yang benar?”
Beberapa pandangan para ulama tafsir tentang ayat ini:
Pertama: Permintaan gegabah (isti’jāl) yang dilakukan ini merupakan hal tercela, sebab ia merupakan sebuah ejekan belaka, bukan disebabkan keyakinan atas kebenaran ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammad Saw. Hal ini memiliki makna serupa dengan firman Allah:
وَيَسْتَعْجِلُوْنَكَ بِالْعَذَابِۗ وَلَوْلَآ اَجَلٌ مُّسَمًّى لَّجَاۤءَهُمُ الْعَذَابُۗ
Dan mereka meminta kepadamu agar segera diturunkan azab. Kalau bukan karena waktunya yang telah ditetapkan, niscaya datang azab kepada mereka… (QS. Al-Ankabut: 53)
Dan sebagaimana pada ayat selanjutnya (al-Anbiya: 39), isti’jāl yang mereka lakukan tak lain karena ketidaktahuan dan kelalaian yang mereka alami. Demikianlah uraian dalam beberapa tafsir, dari Imam ar-Razi, misalnya.
Kedua: Permintaan mereka ini matā hāżal-wa’du ing kuntum ṣādiqīn (“Kapankah janji itu [akan datang], jika kamu orang yang benar?”) merupakan penjelasan tentang apa yang dilarang pada ayat sebelumnya, sa`urīkum āyātī fa lā tasta’jilụn (Kelak akan Aku perlihatkan kepadamu tanda-tanda [kekuasaan]-Ku. Maka janganlah kamu meminta Aku menyegerakannya).
Ketiga: Sisi kelogisan dalam permintaan aneh yang mereka ajukan. Mereka membuat standar tentang “kebenaran” para rasul berdasarkan hal yang tidak termasuk syarat kebenaran. Hal itu mirip dengan ungkapan kepada seseorang, “Jika engkau memang seorang yang jujur, coba berikan aku uang!”
Kita bisa menemukan bahwa syarat “kejujuran” tidak terletak pada “pemberian uang”. Jika “uang” adalah tolok ukur utama, tentu tidak ada orang miskin yang layak mendapat status “orang jujur”, dan tidak satu pun orang kaya yang akan berdusta. Tetapi tentu tidak demikian kebenarannya. Karena syarat yang ditetapkan keliru, dalam kasus ini, entah seseorang bisa memberi uang atau tidak, tentu itu tidak akan mengganggu status kejujuran yang telah dimiliki seseorang.
Di sisi lain, bukankah Allah telah menetapkan waktu tertentu (ajal musamma—sebagaimana al-Ankabut: 53, misalnya) tentang datangnya azab, jika ia datang saat ada manusia yang meminta dipercepat, tentu ketetapan azab pada waktu tertentu itu menjadi keliru. Inilah yang lebih parah dari cara berpikir mereka.
Secara sederhana bisa kita simpulkan bahwa jika apa yang mereka minta didatangkan, maka janji Allah mengenai azab pada waktu tertentu menjadi keliru; sementara jika permintaan mereka tidak dikabulkan, mereka akan menganggap Nabi Saw sebagai pendusta.
Sangat payah menemukan solusi dari permasalahan ini (mendatangkan yang mereka mau atau tidak), karena inti utama dari persoalannya terletak pada syarat yang mereka ajukan untuk menilai kebenaran dakwah Nabi Saw.
Semoga kita dijauhi dari sesat, bahkan sejak dalam pikiran.
Al-Anbiya: 39
لَوْ يَعْلَمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا حِيْنَ لَا يَكُفُّوْنَ عَنْ وُّجُوْهِهِمُ النَّارَ وَلَا عَنْ ظُهُوْرِهِمْ وَلَا هُمْ يُنْصَرُوْنَ
Lau ya’lamullażīna kafarụ ḥīna lā yakuffụna ‘aw wujụhihimun-nāra wa lā ‘an ẓuhụrihim wa lā hum yunṣarụn
Seandainya orang kafir itu mengetahui, ketika mereka itu tidak mampu mengelakkan api neraka dari wajah dan punggung mereka, sedang mereka tidak mendapat pertolongan (tentulah mereka tidak meminta disegerakan).
Terdapat beberapa ulasan dari para mufasir tentang ayat ini, di antaranya:
Pertama: Kebanyakan para ahli tafsir sepakat bahwa jawāb dari huruf syarat lau (seandainya) dibuang. Jika dimunculkan akan menjadi seperti ini, “Seandainya orang kafir itu mengetahui, ketika mereka itu tidak mampu mengelakkan api neraka dari wajah dan punggung mereka, sedang mereka tidak mendapat pertolongan [maka tentulah mereka tidak akan ingkar (kāfir), mengejek (istihzā`) ataupun meminta disegerakan azab (isti’jāl) bagi mereka]”, sebagaimana tulis Imam ar-Razi yang dikutip dari Imam az-Zamakhsyari. Persoalan ini tak lain karena pada ayat sebelumnya telah ada indikator untuk jawāb seperti ini.
Kedua: Penyebutan ḥīna lā yakuffụna ‘aw wujụhihimun-nāra (ketika mereka itu tidak mampu mengelakkan api neraka dari wajah) untuk menunjukkan bahwa api neraka yang menyala dan menyulut mereka betul-betul menakutkan. Karena sesuatu yang tertimpa di wajah membuat manusia lebih merasakan kengerian. Bila ada benda kecil yang menabrak dari bagian tubuh yang lain, seperti perut atau tangan, misalnya, masih relatif dianggap biasa, tetapi manakala ia menyasar wajah, kita akan menganggapnya lebih menakutkan. Lalu wa lā ‘an ẓuhụrihim (dan punggung mereka) menunjukkan azab yang diterima mereka tidak diduga-duga kedatangannya. Hal ini menunjukkan bahwa azab yang ditimpakan kepada mereka datang dari seluruh penjuru. Demikian, simpul Imam ar-Razi.
Di sisi lain, jika azab yang menghantam wajah bermakna “menakutkan”, sedangkan yang datangnya dari punggung atau arah belakang berarti “tidak diduga-duga”, seakan memberi pengertian kepada kita bahwa kelak azab yang menimpa orang-orang kafir, “sejauh apapun yang mereka ketahui, azab itu tetap lebih mengerikan daripada yang telah mereka ketahui!”
Tak hanya itu, penggalan akhir ayat tersebut berbunyi wa lā hum yunṣarụn (sedang mereka tidak mendapat pertolongan), menunjukkan bahwa mereka tidak bisa menyelamatkan diri mereka sendiri dan tak dapat pertolongan dari siapapun.
Bahkan, Imam asy-Sya’rawi menjelaskan, setan-setan yang menyesatkan mereka mengatakan—sebagaimana dicandrakan dalam kitab suci dalam bentuk lainnya,
…مَآ اَنَا۠ بِمُصْرِخِكُمْ وَمَآ اَنْتُمْ بِمُصْرِخِيَّۗ…
“… Aku tidak dapat menolongmu, dan kamu pun tidak dapat menolongku …” (QS. Ibrahim: 22)
Makna dari kata ashrakha, lanjut beliau, adalah menghilangkan penyebab sharākh (kesulitan yang di luar batas kemampuan seseorang). Dalam hal ini, setan itu mengatakan tidak bisa menolong mereka, sebagaimana mereka juga tidak akan mampu menghindarkan setan dari azab Allah.
Dalam ayat lain, setan berlepas diri dari orang-orang kafir, seperti al-Quran menggambarkan,
كَمَثَلِ الشَّيْطٰنِ اِذْ قَالَ لِلْاِنْسَانِ اكْفُرْۚ فَلَمَّا كَفَرَ قَالَ اِنِّيْ بَرِيْۤءٌ مِّنْكَ اِنِّيْٓ اَخَافُ اللّٰهَ رَبَّ الْعٰلَمِيْنَ
“Seperti setan ketika ia berkata kepada manusia, “Kafirlah kamu!” Kemudian ketika manusia itu menjadi kafir ia berkata, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu, karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seluruh alam”.” (QS. Al-Hasyr: 16)
Setan-setan itu begitu pandai menjerumuskan manusia ke lembah maksiat lalu kemudian berlepas tangan dari tanggung jawab mereka, tidak ada jaminan apapun dari mereka, baik di dunia, lebih-lebih di akhirat kelak. [HW]