Press ESC to close

Suami, Perhatikan 3 Hal Ini Kalau Istri Habis Melahirkan

Melahirkan adalah peristiwa besar dalam kehidupan seorang wanita—bukan hanya secara fisik, tapi juga mental dan emosional. Dalam budaya kita, terutama di masyarakat Timur, ada pemahaman bahwa istri yang baru saja melahirkan membutuhkan masa pemulihan panjang, sering disebut masa nifas, yang lazimnya diperkirakan selama 40 hari, bahkan hingga 100 hari dalam tradisi tertentu (Al-Mughni, Ibn Qudamah). Namun, dari sudut pandang syariat, hubungan suami istri bisa kembali dilakukan setelah berhentinya darah nifas, meskipun waktunya berbeda-beda: ada yang 25 hari, ada yang lebih.

Bagi para suami, memahami kondisi istri pasca melahirkan bukan sekadar soal kapan bisa kembali bermesraan. Ada tiga hal besar yang perlu diperhatikan supaya ikatan emosional dalam rumah tangga semakin kokoh, bukan justru renggang karena ketidaktahuan.

1. Istri Mengalami Trauma Fisik dan Butuh Waktu Penyembuhan

Proses kelahiran, terutama persalinan normal, sering kali menyebabkan luka fisik di area genital perempuan. Dalam banyak kasus, dokter melakukan tindakan episiotomi—yaitu sayatan di area perineum untuk memperbesar jalan lahir bayi. Luka ini butuh waktu berminggu-minggu untuk sembuh sepenuhnya (WHO, 2018).

Menurut The American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG), bahkan setelah luka sembuh, rasa tidak nyaman saat berhubungan intim bisa tetap ada selama beberapa bulan. Ini karena jaringan parut, kekeringan vagina akibat perubahan hormon, atau bahkan ketakutan istri akan rasa sakit.

Maka, para suami perlu bersabar. Menunggu dengan kasih sayang jauh lebih bermakna dibanding memaksa dengan dalih “sudah waktunya”. Menemani istri dalam masa pemulihan, menawarkan pijatan, membantu mengurus bayi, atau sekadar mendengarkan keluh kesahnya adalah bentuk cinta yang sesungguhnya.

2. Perubahan Hormon dan Emosi Pasca Melahirkan

Melahirkan juga berarti perubahan hormon yang ekstrem. Setelah bayi lahir, hormon estrogen dan progesteron turun drastis, sedangkan hormon prolaktin (yang merangsang produksi ASI) meningkat. Fluktuasi ini menyebabkan istri lebih mudah merasa sedih, mudah marah, atau merasa tidak berdaya. Ini yang biasa dikenal dengan baby blues, yang dialami oleh sekitar 70-80% ibu baru (March of Dimes, 2021).

Dalam beberapa kasus, kondisi ini bahkan bisa berkembang menjadi postpartum depression yang serius, yang memengaruhi mood, energi, bahkan keinginan untuk berhubungan intim.

Islam sendiri mengajarkan untuk penuh kasih dalam menghadapi pasangan, apalagi dalam situasi sulit. Rasulullah SAW pernah berpesan dalam sabdanya:
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi).

Maka, saat emosi istri tampak naik turun, janganlah dijadikan alasan untuk menjauh. Justru di saat itulah, suami dituntut untuk lebih memahami, lebih mendekat, bukan malah menuntut hal-hal yang istri belum siap memberikannya.

3. Perubahan Fisik Membuat Istri Merasa Tidak Percaya Diri

Setelah melahirkan, tubuh wanita mengalami banyak perubahan. Berat badan bertambah, perut yang semula rata kini menggelambir, mungkin ada stretch mark, bahkan jerawat hormonal bisa muncul akibat ketidakstabilan hormon.

Banyak perempuan merasa kehilangan jati dirinya pasca melahirkan. Mereka tidak lagi merasa “menarik” sebagaimana sebelum hamil. Hal ini, menurut penelitian dalam Journal of Health Psychology (2020), menjadi faktor utama menurunnya minat seksual pada wanita setelah melahirkan.

Tugas suami adalah menjadi cermin positif bagi istrinya. Alih-alih mengomentari perubahan fisik istri secara negatif, pujilah usahanya, perlihatkan kekaguman, dan tunjukkan rasa cinta tanpa syarat. Cukup dengan kalimat seperti, “Aku bangga padamu,” atau “Kamu tetap cantik di mataku,” itu sudah sangat berarti bagi istri.

Meyakinkan istri bahwa ia tetap dicintai dan diinginkan meskipun tubuhnya berubah adalah kekuatan besar dalam menjaga keharmonisan rumah tangga.

 

Kesimpulan: Kesabaran Adalah Kunci

Enam bulan pertama setelah kelahiran adalah masa-masa penuh ujian bagi pasangan. Jika suami mampu memahami trauma fisik, perubahan emosi, dan pergulatan kepercayaan diri istri, maka jalinan rumah tangga justru akan semakin kuat.

Islam sendiri sangat menekankan pentingnya kesabaran, kelembutan, dan empati dalam hubungan suami istri. Seperti sabda Rasulullah SAW:
“Orang kuat bukanlah yang menang dalam bergulat, tetapi orang kuat adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sikap tenang, penuh empati, dan memahami kebutuhan istri, insya Allah akan menjadi ladang pahala sekaligus fondasi kokoh dalam membina keluarga sakinah.

Ingatlah, seorang istri yang merasa dicintai, dihormati, dan dipahami, akan menjadi sumber kebahagiaan yang luar biasa dalam hidup seorang suami.

 

Referensi:
    •    WHO. (2018). Care of the perineum during childbirth.
    •    American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG). (2021). Postpartum Care.
    •    March of Dimes. (2021). Postpartum Depression.
    •    Journal of Health Psychology. (2020). Body Image and Sexual Function After Childbirth.
    •    Al-Mughni, Ibn Qudamah. Kitab Fiqih Hanbali.
    •    HR. Tirmidzi, HR. Bukhari dan Muslim.

Intan Diana Fitriyati

Pengasuh PP. Al Masyhad Manbaul Falah Walisampang Pekalongan

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

@PesantrenID on Instagram