Statement Gus Menteri, SE Menag dalam Kacamata Ushul Fiqh

Allah SWT dalam Al-Quran telah memperingatkan kita untuk bertabayun terhadap suatu informasi terlebih  di era digital seperti saat ini. Kita jangan sampai terjebak mengkonsumsi suatu informasi atau berita tanpa tabayun terlebih konten berita yang berefek melahirkan kegaduhan dalam masyarakat. Salah satunya berkaitan dengan Surat Edaran Menteri Agama Nomor SE. 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara yang mengatur tentang penggunaan toa di masjid telah menghiasi tema-tema pembicaraan terutama di media sosial. Sebenarnya, SE Menteri Agama ini bukan hal baru.Pada tahun 1978, Departemen Agama RI melalui Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, telah mengeluarkan Instruksi Nomor : KEP/D/101/’78 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musholla. Kemudian, pada tahun 2018, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor : B.3940/DJ.III/Hk.00.7/08/2018 tentang Pelaksanaan Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor : KEP/D/101/’78 Tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushalla.

Melihat fenomena yang terjadi di media social dan konten video, adanya pengiringan opini bukan sesuai dengan fakta dan maksud sebenarnya yang di maksudkan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas (Gus Yaqut), akibatnya masyarakat memberikan statemen negative seolah-olah Gus Men (Gus Yaqut) membandingkan antara aturan pengeras suara dan gonggongan anjing. Benarkah demikian? Suatu qaidah menyebutkan lebih kurang pemahamannya ”Al-Khabar Yuhmalu ‘ala muradi Mukhatib” (suatu berita itu berdasarkan maksud pembicara). Berdasarkan qaidah ini untuk melihat maksud pernyataan Gus Yaqut yang lebih tahu maksud adalah dirinya Gus Men sebagai mukhatib. Pasca timbulnya kegaduhan dan beragam imej negative di media social dan pemberitaan media. Akhirnya pihak Kementrian Agama sebagaimana dikutip dari detik.com telah memberikan klarifikasi dan pernyataan keberatan atas pemberitaan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas terkait aturan pengeras suara masjid. Kemenag menegaskan tidak ada pernyataan Yaqut yang bersifat membandingkan antara aturan pengeras suara dan gonggongan anjing.

Baca Juga:  Stafsus Menag Abdul Rochman: UM PTKIN Jadi Best Practice Seleksi Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri

Dalam klarifikasi tersebut Gus Men dapat disimpulkan pertama, Tidak ada kata membandingkan atau mempersamakan antara azan atau suara yang keluar dari masjid dengan gonggongan anjing; kedua, (Menag justru mempersilahkan umat menggunakan pengeras suara di masjid dan musala untuk beragam keperluan, hanya penggunaannya diatur sesuai ketentuan dalam edaran; ketiga, Menag menjelaskan sejumlah contoh kondisi kebisingan, bukan membandingkan satu dengan lainnya, dan hal itu dilakukan diawali dengan kata bayangkan. Ada tiga contoh kebisingan yang dibayangkan Menag dan sekali lagi tidak dalam konteks membandingkan satu dengan lainnya: (a). Di daerah yang mayoritas muslim, hampir setiap 100 meter, 200 meter itu ada musala-masjid. Bayangkan kalau kemudian dalam waktu bersamaan mereka semua menyalakan Toa nya di atas, kayak apa. Itu bukan lagi syiar, tapi menjadi gangguan buat sekitarnya. (b). Bayangkan lagi, saya muslim yang hidup di lingkungan nonmuslim. Kemudian rumah ibadah saudara-saudara kita nonmuslim membunyikan Toa sehari lima kali dengan kenceng-kenceng secara bersamaan. Itu rasanya bagaimana. (c). Kalau kita hidup dalam satu kompleks, misalnya kiri, kanan, depan belakang pelihara anjing semua, Misalnya, menggonggong dalam waktu yang bersamaan. Kita ini terganggu nggak? Dari tiga contoh kebisingan itu, Menag mengambil benang merah bahwa suara-suara, apa pun suara itu, harus diatur supaya tidak menjadi gangguan. (detik.com, 25 Februari 2022).

Pernyataan Gus Yaqut dalam Perspektif Ushul Fiqh

Menag RI Gus Yaqut dalam pernyataan saat berkunjung ke Pekanbaru, Riau, pada hari Rabu (23/2) kemarin, Gus Yaqut bermaksud memberi tambahan penjelasan surat edarannya, Surat Edaran Menag Nomor 5 Tahun 2022 yang mengatur  volume pengeras suara masjid/musala  sesuai dengan kebutuhan, dan paling besar 100 desibel, yang diterbitkan sebelumnya. Kita sangat berharap dengan Surat Edaran (SE) Menteri Agama tersebut berharap masyarakat untuk menalaah dan membaca dengan pikiran dingin dan hati lapang, sebenaranya poin-poin yang disampaikan tidak bertentangan dengan nilai syariat Islam dan SE ini merupakan bagian dari asas-asas umum pemerintahan yang baik. Teribtnya SE dalam rangka mendorong syiar Islam menjadi lebih baik dan terkelola dengan baik dan lebih memberikan mamfaat dan menghindari terjadinya mafsadah (kerusakan atau efek negative). Kebijakan yang diambil Gus Men berdasarkan qaidah yang disebutkan dalam kitab Asybah Wan Nadhair berbunyi”

Baca Juga:  Dukung Program Kita Cinta Papua, Kemenag Bangun Laboratorium Keagamaan dan Sapa Para Guru Madrasah di Daerah 3T

تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ

(Tasharruful imam ‘ala al ra’iyyah manutun bi al malahat)

Artinya: kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada kemaslahatan.

Al-Mashalah dalam kaidah tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Syaikh Ramadhan Al-Buthi yaitu suatu kemanfaatan yang dimaksudkan oleh pembuat syari’at yakni Allah SWT terhadap hambanya yang berupa penjagaan terhadap agamanya,jiwa-jiwanya, akal-akalnya, keturunannya serta hartanya. Imam Al-Ghazali mengemukakan Al-Mashalah merupsksn pemeliharaan terhadap tujuan syari’at (dalam menetapkan suatu hukum)”. Tujuan syari’at dalam menetapkan hukum yang dimaksud yaitu terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Lebih dari itu, Al-Ghazali juga menyatakan bahwa maslahah adalah sesuatu yang dapatmendatangkan kemanfaatan serta dapat menjauhkan dari kerusakan. Najmuddin Al-Thufi juga mengemukakan definisi maslahah yang hampir serupa dengan apa yang dikemukakan oleh Al-Ghazali. Yaitu:: “Suatu ungkapan yang membawa kepada tujuan syari’at baik dalam bentuk ibadah maupun adat”. Maka  kaidah ini dapat diartikan dengan kebijakan imam atas rakyatnya harus berdasarkan kemaslahatan secara luas yaitu bahwa kebijakan yang dilakukan oleh seorang imam dalam konteks ini pemimpin atau pemerintah harus memiliki nilai-nilai kemaslahatan dan kemanfaatan bagi kepentingan seluruh rakyatnya.

Tindakan dan kebijaksanaan yang diambil oleh seorang pemimpin atau dalam hal ini Gus Men sebagai Menteri Agama saat ini  telah sesuai dan sejalan dengan al-mashalah untuk kepentingan umum bukan untuk kepentingan golongan atau kelompok tertentu. Kebijakannya berdasarkan al-mashalah dalam Surat Edaran (SE) Menteri Agama No 5 Tahun 2022  diantaranya mendorong syiar Islam menjadi lebih baik dan terkelola dengan baik dan lebih memberikan mamfaat kepada semua golongan masyarakat baik muslim dan non muslim tanpa pandang bulu juga mashlahah dalam rangka mendorong ketertiban dan harmoni di tengah-tengah masyarakat. Seharusnya ketegasan sebagaimana yang diungkapkan dalam SE itu patut kita dukung demi kebaikan bersama.

Baca Juga:  Pengunduran Hari Libur Maulid Nabi Muhammad SAW pada Masa Pandemi Menurut Perspektif Ushul Fiqh (Sadd  Adz-dzari’ah)

Saat ini tugas kita masyarakat terutama jajaran Kemenag RI bersama tokoh dan pemuka agama melakukan sosialisasi secara masif ke seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) agar substansi dari SE ini tidak bias bahkan kegaduhan yang belakangan mencuat sama sekali tidak terkait dengan substansi SE Menteri Agama No 5 Tahun 2022   ini tetapi tidak melakukan tabayun sehingga maksud pernyataan Gus Men di pahami seenaknya bahkan melakukan pengiringan berita atau faming menimbulkan kegaduhan dalam masyarakat dengan asumsi seolah Gus Men menyamakan suara azan dengan gonggongan anajing padahal tidak demikian dan penjelasan dan lakrifikasi bisa telah dijelaskan sebelumnya. Bahkan saat kita melihat vidio wawancara Gus Menteri secara utuh selama dua menit lebih sama sekali tidak menangkap pesan dan kesan bahwa Menag “membandingkan” antara suara Adzan dengan suara anjing. Kita tahu Gus Men juga pernah menjadi santri dan dari keluarga pesantren. Sekali lagi, tentunya sangat penting melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat agar tidak terpengaruh berita-berita yang menyesatkan dan pengiringan ke arah yang menimbulkan kegaduhan dalam masyarakat. Terkait dengan memberi contoh anjing dan tidak lain karena suara anjing yang paling mudah dan banyak ditemukan dan dikeluhkan di lingkungan perumahan.

Beranjak dari paparan di atas kebijakan pemerintah berlandaskan al-mashlahah seperti SE Menag RI No 5 Tahun 2022 sangat layak kita mendukungnya dan berharap pemerintah juga harus melakukan sosialisasinya serta masyarakat jangan mudah termakan provokasi dan tidak lupa pentingnya tabayun sebagaimana pesan Alquran. Sudahkah kita merealisasikannya?. []

Wallahu Muwaffiq Ila Aqwamith Tahriq

Prof. Dr. Misri A Muchsin, M. Ag
Guru Besar Sejarah Pemikiran Modern Dalam Islam di UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) Banda Aceh dan Penasehat Ansor di Aceh

Rekomendasi

Hikmah

Budaya Menyepi

Selain menguatkan, cinta juga mampu mencerahkan. Kekuatan tersebut ada dalam energi cinta dan ...

Tinggalkan Komentar

More in Opini