Sejarah Tarawih (2) : Era Khulafaur Rasyidin
Sejarah Tarawih pada Zaman Abu Bakar ra

Selama periode ini, umat Islam mendapatkan beberapa service baru dari Abu Bakar, salah satunya adalah model dari praktik shalat tarawih (pada zaman ini, shalat ini disebut sebagai qiyaam ramadhan (قيامِ رمضانَ) karena tidak ditemukan atsar atau hadits yang menyebutnya sebagai shalat tarawih secara tersurat).

Ritual ini menjadi primadona ketika umat Islam menjumpai bulan Ramadan, para Sahabat dan Tabi’in secara bersama-bersama pergi ke masjid untuk melakukan shalat tarawih. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Abu Huroiroh RA  dalam kitab Shahih Muslim:

فعن أَبي هُرَيرَة رَضِيَ اللهُ عَنْه، قال: كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يُرغِّبُ في قيامِ رمضانَ من غير أنْ يأمرَهم فيه بعزيمةٍ، فيقولُ: مَن قامَ رمضانَ إيمانًا واحتسابًا غُفِرَ له ما تَقدَّمَ مِن ذَنبِه

Riwayat dari Abu Hurairah RA, Dia berkata : Bahwasannya Rasulullah SAW sangat menyukai shalat malam pada bulan Ramadan akan tetapi beliau tidak secara tegas memerintahkan para sahabatnya untuk melakukan shalat ini. Beliau bersabda : Barangsiapa yang  shalat pada malam bulan Ramadan, maka dia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.

Praktik Baru dalam Shalat Tarawih

Untuk menanggulangi kecemburuan sahabat perempuan karena tidak bisa merasakan euforia melaksanakan shalat tarawih bersama-bersama sebagaimana jamaah laki-laki. Abu Bakar RA berinisiatif untuk mengangkat anak kecil yang belum baligh untuk menjadi imam bagi sahabat-sahabat perempuan di rumah masing-masing.

Terkhusus bagi keluarga Nabi Muhammad SAW hal ini sangat perhatikan, karena Sayyidah ‘Aisyah merupakan perempuan yang paling layak mendapatkan model ibadah yang paling baik. Hal ini diketahui melalui riwayat ‘Aisyah yang dituangkan dalam Sunan al-Baihaqi 2/495 :

وعن عائشة رضي الله عنها: «كنا نأخذ الصبيان من الكتاب ونقدمهم يصلون لنا شهر رمضان، فنعمل لهم القلية والخشكار”  يعني خبز السمراء.

Riwayat dari Aisyah RA, Dia berkata : Bahwasannya kami mengangkat anak kecil yang belum baligh untuk menjadi imam shalat tarawih, kemudian kami memberikan roti samro’ untuk mereka.

Sejarah Tarawih pada Zaman Umar ra

Umar bin Khattab RA merupakan khalifah kedua setelah Abu Bakar RA. Beliau memegang kepemimpinan terhadap umat Islam selama 10 tahun, yakni sejak 13-23 H atau 634-644 M. (Khulafaur Rasyidin, 2019). Umar bin Khattab RA melahirkan tiga  pembaharuan perihal praktik shalat tarawih,

Membuat Shalat Tarawih Menjadi Satu Jamaah

Umar bin Khattab RA setiap malam memperhatikan model shalat tarawih umat Islam. Mereka melakukan shalat bersama-bersama akan tetapi tidak dalam satu jamaah. Mereka masing-masing membentuk jamaah yang masing-masing berisikan 3 sampai 5 orang.

Baca Juga:  Sejarah Kodifikasi Al-Qur’an

Jamaah ini dibentuk berdasarkan keelokan suara sahabat ketika membaca al-Qur’an. Oleh karena itu dalam pelaksanaan shalat tarawih, bisa terbentuk beberapa jamaah sesuai selera telinga para sahabat.

Melihat fenomena tersebut, Umar bin Khattab RA berinisiatif mengumpulkan seluruh sahabat di dalam satu jamaah dengan menunjuk satu imam untuk memimpin mereka. Hal ini dilakukan agar pelaksanaan shalat tarawih terlihat lebih indah dan mensyiarkan persatuan.

Ketika inisiatif Umar RA dapat diterima oleh para Sahabat, kemudian Umar bin Khattab RA menunjuk Ubay bin Ka’ab sebagai imam dengan berbagai petimbangan. Selepas itu, Umar bin Khattab berkata “Andaikan praktik ini merupakan bid’ah, maka ini adalah bid’ah yang paling nikmat”. Hal ini terekam di dalam riwayat Naufal yang yang ada di dalam kitab Mukhtashor Qiyam al-Lail wa Qiyam Ramadan wa Kitab al-Witr 1/237 :

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ

“Dari ‘Abdirrahman bin ‘Abdil Qari’, beliau berkata: ‘Saya keluar bersama Sayyidina Umar bin Khattab radliyallahu ‘anh ke masjid pada bulan Ramadhan. (Didapati dalam masjid tersebut) orang yang shalat tarawih berbeda-beda. Ada yang shalat sendiri-sendiri dan ada juga yang shalat berjamaah. Lalu Sayyidina Umar berkata: ‘Saya punya pendapat andai mereka aku kumpulkan dalam jamaah satu imam, niscaya itu lebih bagus.” Lalu beliau mengumpulkan kepada mereka dengan seorang imam, yakni sahabat Ubay bin Ka’ab. Kemudian satu malam berikutnya, kami datang lagi ke masjid. Orang-orang sudah melaksanakan shalat tarawih dengan berjamaah di belakang satu imam. Umar berkata, ‘Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini (shalat tarawih dengan berjamaah),” (HR Bukhari).

Perubahan Jumlah Rakaat Shalat Tarawih

Beberapa kali jumlah rakaat yang dilaksanakan mengalami perubahan dikarenakan pertimbangan-pertimbangan penting, seperti :

  1. Umar bin Khattab RA memberlakukan standard jumlah rakaat dalam pelaksanaannya, yakni 8 rakaat dengan membaca 200 ayat di setiap rakaatnya.
  2. Era ini menjadi saksi dari pelaksanaan shalat witir seusai shalat tarawih. Oleh karena itu, total 11 rakaat dilaksanakan setelah shalat isya’ untuk memeriahkan malam Ramadan dengan uraian 8 rakaat shalat tarawih dan 3 rakaat shalat witir.
  3. Umar bin Khattab RA menambahkan jumlah rakaat tarawih menjadi 36 rakaat dan 5 shalat witir. Akan tetapi disertai pengurangan jumlah ayat yang dibaca setiap rakaatnya. Sehingga total rakaat yang dilaksanakan pada tahap terakhir ini adalah 41 rakaat. (al-Muwaththo’ 1/208)
Baca Juga:  Salat Tarawih di Rumah; Hukum, Religiositas Familier dan Nilai Kepatuhan
Perubahan Model Jamaah bagi Sahabat Perempuan

Berbeda dengan Abu Bakar RA yang menjadikan anak kecil yang belum baligh sebagai imam shalat tarawih dan jamaah dilakukan di rumah masing-masing. Umar bin Khattab RA memilih merubahnya dengan mengumpulkannya menjadi satu di rumah Sayyidah ‘Aisyah RA. Selain itu, Umar bin Khattab RA juga menyuruh  Abi Hatsmah sebagai imamnya. Hal ini terangkum dalam atsar Mukhtashor Qiyam al-Lail wa Qiyam Ramadan wa Kitab al-Witr 1/226

الْحَدِيثُ وَعَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ , عَنْ أَبِيهِ جَعَلَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِلنَّاسِ قَارِئَيْنِ , فَكَانَ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يُصَلِّي بِالرِّجَالِ , وَكَانَ ابْنُ أَبِي حَثْمَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ يُصَلِّي بِالنِّسَاءِ “

Riwayat dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya yang menceritakan bahwa Umar bin Khattab RA mengangkat beberapa sahabat menjadi imam shalat tarawih. Maka Ubay bin Ka’an menjari imam jama’ah laki-laki dan Ibnu Abi Hatsmah RA menjadi umam jamaah perempuan.

Sejarah Tarawih pada Era Utsman Bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib

Dua periode menjadi satu ketika menceritakan shalat tarawih. Alasan terjadinya hal tersebut adalah kebiasaan Ali bin Abi Thalib menjadi imam shalat tarawih pada zaman Utsman bin Affan sehingga bentuk praktik shalat tarawih pada era ini merupakan kesepakatan mereka berdua. Ali bin Abi Thalib diketahui menjadi imam shalat tarawih lebih dari 15 malam setiap bulan Ramadan. Hal ini terabadikan di dalam al-Sunan al-Kubro 2/702:

عن قتادة عن الحسن، قال: أمنا علي بن أبي طالب (عليه السلام) في زمن عثمان بن عفان عشرين ليلة ثم احتبس، فقال بعضهم: قد تفرغ لنفسه، ثم أمهم أبو حليمة معاذ القاري فكان يقنت.

Riwayat dari Qotadah, dari Hasan, Hasan berkata : pada zaman Utsman bin Affan RA, ayahku, Ali bin Abi Thalib RA mengimami kita shalat tarawih selama dua puluh malam kemudian berhenti. Sebagian mereka berkata : Ali bin Abi Thalib menyelesiakannya sendiri, kemudian Abu Hamilah, Mu’adz al-Qori menggantikannya menjadi Imam shalat tarawih dan dia membaca qunut.

Dari dua periode kepemimpinan ini, kita dapat mengetahui dua perubahan yang sangat mencolok bahkan praktik ini masih diamalkan hingga masa sekarang. Hal tersebut adalah :

  1. Pembacaan Qunut Pada 10 Hari Terakhir Bulan Ramadan
Baca Juga:  Peran Muhammadiyah terhadap Perkembangan Pendidikan di Indonesia

Pada era Utsman bin Affan inilah doa qunut mulai dibaca, adapun yang pertama membacanya adalah Abu Halimah. Waktu pembacaannya adalah dimulai tanggal 21 Ramadan hingga hari terakhir bulan Ramadan. Sebagaimana riwayat Baihaqi, bahwa Abu Halimah menggantikan Ali bin Abi Thalib pada hari kedua puluh Ramadan kemudian dia membaca qunut.

  1. Membaca Doa Khotmil Quran.

Ini perubahan yang sangat baru pada era ini. Oleh karena itu, pembacaan doa khotmil Qur’an dalam proses shalat tarawih bisa dibilang sebagai ciri khas kepemimpinan Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Peristiwa ini dapat dilihat dari riwayat yang dituangkan Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughni 2/171 :

قال الفضل بن زياد: سألت أبا عبد الله فقلت: أختم القرآن، أجعله في الوتر أو في التراويح؟ قال: اجعله في التراويح، حتى يكون لنا دعاء بين اثنين.قلت كيف أصنع.؟ قال إذا فرغت من آخر القرآن فارفع يديك قبل أن تركع، وادع بنا ونحن في الصلاة، وأطل القيام.قلت: بم أدعو؟ قال: بما شئت.قال: ففعلت بما أمرني، وهو خلفي يدعو قائما، ويرفع يديه،

Fadlol bin Ziyad berkata: Aku berka kepada Aba ‘Adillah, Aku bertanya padanya: Aku hendak mengkhatamkan al-Qur’an. Aku harus melakukannya dalam shalat tarawih atau witir. Aba ‘Abdillah menjawab: Lakukanlah ketika shalat tarawih, sehingga kita doa qunut di antara dua shalat. Aku bertanya kembali: bagaimana caranya? Dia menjawab: Ketikan kamu selesai membaca ayat terkahir dari al-Qur’an, maka angkatlah kedua tanganmu sebelum ruku’, dan kita berdoa dalam keadaan shalat, dan panjangkanlah (lamakanlah) berdirimu. Aku bertanya lagi: Doa apa yang aku baca. Dia menjawab: terserah kamu. Ibnu Qudamah berkata: Kemudian aku melakukan apa yang diberitahu olehnya. Aba ‘Abdillah dibelakangku seraya berdoa, dan dia juga mengangkat tangannya. []

Muhammad Ibtihajudin
Menamatkan Pendidikan S1 Ahwal Syakhsiyyah IAIBAFA Jombang, S2 Ahwal Syakhsiyyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dan kini mengabdi sebagai Guru di Muallimin Muallimat Bahrul Ulum Tambakberas Jombang.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Pustaka