Belakangan, serban, gamis dan tasbih acapkali disalahgunakan oleh pseudo ulama, dai karbitan dan ustaz sosialita pengasong khilafah penghias layar kaca pasca eksodus besar-besaran kaum sarungan dari sekadar pialang kebudayaan menuju pialang politik. Bukankah parpol berlebel agama kadang malah lebih pragmatis dan ugal-ugalan daripada parpol nasionalis?
Pesantren adalah cakrawala tak berujung, laut tak bertepi, sumur tanpa dasar yang takkan pernah habis dikaji dan diarungi, khususnya di Nusantara ini. Kitab kuning warisan para ulama klasik dari berbagai penjuru dunia, sekian disiplin intelaktual dan khazanah spiritual dengan berbagai mazhab dan matra, menyatu dan berpadu dengan kearifan tradisi khas Indonesia di Pesantren-pesantrian, peshastrian. Oleh karena itu, kekhasan Islam-Indonesia adalah Pesantren, bukan yang lain.
Sementara itu, ulama, sering kali disebut dengan Kiai, Gurutta, Tuan Guru, Abuya, Ajengan, dan lain-lain, memiliki kedudukan khusus sebagai “elit” di tengah-tengah masyarakat, yang dalam fungsinya menjadi pewaris para Nabi. Para Kiai, lazimnya di desa-desa, menerima penghormatan yang tinggi jika dibandingkan dengan elit lokal yang lain, seperti para juragan, para petani kaya (tuan tanah), para blantik dan tengkulak. Berbagai keputusan dan tindakan masyarakat sering diserahkan dan ditentukan oleh sosok Kiai. Pendek kata, masyarakat yang cerdas pasti dibimbing oleh Kiai yang visioner. Walaupun Kiai menjadi elit yang sangat kuat, namun Kiai adalah pelayan rakyat, merakyat, dan memang Kiai adalah rakyat itu sendiri.
Dahulu, selain terlibat langsung di tengah-tengah pertempuran, Kiai, bertugas menyembuhkan luka dan trauma penjajahan Belanda, Jepang, maupun penjajahan lainnya. Kini, tugas Kiai adalah menetralisir kegilaan zaman (now), di mana mabuk agama dan kekuasaan hampir sulit dibedakan.
Tak ayal, modernitas, pada gilirannya, membawa manusia pada kemajuan (saintek) di satu sisi, dan kemunduran (pekerti) di sisi lain. Oleh itu, santri tak perlu ditatar perihal wawasan kebangsaan dan kerukunan. Mengapa? Karena, ketika wacana itu baru digagas dan lalu diseminarkan di Perguruan Tinggi serta masyarakat perkotaan, kaum santri telah menerapkannya selama berabad-abad.
Jangan lupa, mendidik anak-anak (murid, santri, dan mahasiswa) tidak harus memindahkan “kepala” Anda ke “kepala” mereka, tetapi dengan mencangkokkan “hati” Anda ke dalam dada meraka. Agar kelak, anak-anak itu membawa hati Anda ke manapun mereka pergi. Energi dalam dada anak-anak kita adalah energi yg bisa diperbaharui (renewable) dengan terus menanamkan pekerti yang luhur, bahkan sebelum mereka lahir. Inilah yang terus ditenamkan oleh Pesantren, meski ironisnya, sebagian kecil Pesantren telah menjadi home industry, perusahaan dan korporasi.
Apapun itu, di tengah kecamuk intoleransi dan dan tahun-tahun politik, peran pesantren sangat dibutuhkan, terutama karena yang mulai langka di bumi persada adalah soal kerukunan umat beragama dan multikulturalisme. Faktanya, kaum santri tidak ada yang intoleran dan radikal, karena Pesantren klasik khususnya lebih menomorsatukan pekerti dari pada mainan dalil. Soal narkoba dan terorisme? Pesantren malah sejak awal paling anti merusak generasi muda dengan dalih apapun, maka, penyuluhan narkoba di Pesantren sangat mubazir. Soal keamanan dan keutuhan bangsa?
Pesantren adalah benteng NKRI yang paling kokoh sejak pra kemerdekaan, masa revolusi, dan bahkan hingga kini dan nanti. Soal kemandirian dan survivalitas hidup? Kaum sarungan paling tangguh dan pantang mengeluh. Sedemikian rupa, kaum santri nyaris tidak pernah merepotkan Negara meski selama ini dipandang sebelah mata oleh Negara. Meski Negara tak pernah hadir, Santri tetap membela Sabang-Merauke sampai jasad ke liang lahad.
Tanpa Negara dan kemanusiaan memanggil pun, kaum sarungan telah terpanggil dan bahu-membahu merebut kemerdekaan dengan keringat, darah, air mata dan doa. Tidak ada yang lebih berani menyabung nyawa sebagai martir untuk kemerdekaan dan kedaulatan melawan kekejaman penjajah selain santri. Bahkan, setelah kemerdekaan, khususnya ketika Orde Baru melakukan kanalisasi untuk memperkecil peranan santri, mereka tetap bertahan dengan prinsip dan falsafah hidup mereka, Pesantren justru kian berkembang dan mandiri.
Indonesia ini ditangisi para wali, dirapal dalam doa para pertapa dalam azimat para resi dan munajat para begawan. Tak kurang dari empat juta santri di Pesantren selalu menangisinya dengan istighosah setiap hari, belum lagi di makam-makam para Wali dan Kiai.
Setiap hari kita mensucikan intelektualitas-spiritualitas dengan “air” wudhu, lalu bersujud merendahkan wajah sebagai simbol identitas kita ke “tanah”. Dahulu, wangsa Sanjaya membangun kebudayaan tanah dan wangsa Purnawarman membangun kebudayaan air, maka jadilah pusaka Tanah Air. Dan, sebagian umat Islam terjebak pada gegap-gempita lalu ramai-ramai ingin menjadi Arab, Eropa dan Amerika. Di sinilah mengapa para santri lebih memilih menjadi Indonesia.
Jangan lupa, Kisanak, Pesantren adalah matahari dalam sistem tata surya kehidupan dan keindonesiaan. Bahwa dalam jagad galaksi kehidupan yang lebih luas ini masih terdapat banyak sekali matahari-matahari yang lain, hal itu tidak membuat matahari bernama Pesantren menjadi redup dan padam.