Resensi Buku Money Resensi Buku Money - Yuval Noah Harari

Sebuah buku bersampul kuning dengan kutipan cukup nyelekit dari Karl Marx dan Adam Smith, seolah cukup bikin orang penasaran. Uang adalah alasan kita berkelahi, kutipan dari Marx dan semua uang adalah soal kepercayaan, kutipan dari Smith, seakan menggambarkan bahwa buku itu membahas ndakik-ndakik soal kapitalisme, liberalisme dan seabrek istilah ekonomi lain. Namun, ternyata bukan itu saja bahasan pada buku imut tersebut.

Buku berjudul Money dari Yuval Noah Harari di atas lebih dari perkiraan kita. Buku yang diterjemahkan menjadi Hikayat Uang dan Lahirnya Kaum Rebahan itu membedah secara tajam asal-usul uang. Sembahan baru umat manusia itu punya hikayat panjang dengan tarian sejarah yang tak kalah pelik pula.

Secara garis besar, buku Money terbagi dalam tiga bagian. Bagian pertama, Yuval mendedah bagaimana uang terbentuk sejak jaman Hernan Cortez mulai menjelajahi Meksiko hingga uang menjadi bagian inheren dalam hidup manusia. Bagian kedua, Yuval membahas uang dalam bentuk kredit, sejarah bagaimana kredit menjadi pilihan bangsa-bangsa Eropa sebagai bagian dari penaklukan atas bangsa-bangsa lain, alih-alih patungan untuk membiayai perang, hingga raja-raja zaman modern yang didominasi kaum pemakai jas Versace, bukan para pesohor berjubah sutra atau emas. Bagian ketiga, Yuval memproyeksikan bagaimana umat manusia menghadapi tantangan masa depan yang keberadaannya bisa saja tergeser ras baru bernama artificial intelligence (kecerdasan buatan).

Yuval mendedahkan bahwa uang bukan semata alat tukar. Ia adalah sebuah sistem kepercayaan paling universal dan paling efisien yang pernah diciptakan. Anda akan tenang berada di luar rumah Anda karena Anda percaya uang yang Anda punya juga dipercaya oleh orang lain. Anda dapat menukarkan uang Anda kepada orang lain agar Anda mendapatkan apa yang Anda inginkan. Tak peduli apa itu barang atau jasa, Anda bisa dapatkan dengan uang.

Baca Juga:  Al-Qur'an dan Hak-hak Perempuan

Namun, apakah uang yang sebenarnya beredar selama ini jumlahnya sama dengan populasi manusia seluruh dunia? Ternyata, tidak. Yuval menulis bahwa uang yang sebenarnya beredar jauh lebih sedikit. Sisanya tersimpan pada server-server komputer, dalam bentuk rekening, lewat pertukaran data elektronik tanpa melibatkan peran uang fisik. Sepanjang transaksi bisa dilakukan secara elektronik, hal itu lebih baik karena tak memakan waktu lama, tak butuh banyak tempat dan lebih mudah dihitung daripada lembaran-lembaran uang kertas atau kilauan koin-koin.

Dengan demikian, uang jadi alat tukar yang memungkinkan orang mengonversi berbagai hal. Otot ditukar dengan otak saat pensiunan pegawai ingin membayar kebutuhan kuliah anaknya. Kesehatan ditukar dengan keadilan saat dokter ingin membayar pengacara. Bahkan, perbuatan cabul ditukar dengan harapan ampunan saat wanita tuna susila tidur dengan pria, lalu hasil darinya dipakai untuk membeli surat penebusan dosa.

Bagian selanjutnya, Yuval bercerita tentang bagaimana adanya uang untuk membeli masa depan, dengan sistem bernama kredit. Seperti umum diketahui, VOC pernah menjajah Indonesia dan mereka adalah kumpulan para pedagang, bukan negarawan. Yuval bercerita panjang bagaimana kongsi dagang asal Belanda itu membangun kejayaan mereka dengan kredit. Mereka mencari investor hingga menjual saham-saham mereka di negara asal. Dari penjualan itu mereka membiayai perjalanan penaklukan ke daerah-daerah lain.

Yuval juga bercerita berkaitan uang dengan perkembangan keilmuan. Betapa banyak uang yang disuntikkan untuk inovasi atau pengembangan ilmu pengetahuan. Namun uang yang sudah diberikan itu bukan tanpa disertai pertanyaan balik, apakah penemuan yang ada bisa melipatgandakan modal yang sudah diberikan. Bila tidak, sulit kiranya rencana inovasi atau pengembangan keilmuan itu bisa berjalan. Dan, benar apa kata Yuval, pemerintah atau negara yang mencetak uang, ilmuan yang membayar tagihannya.

Baca Juga:  Kiai Kharismatik Dari Bumi Blambangan, Mbah Kiai Syafa’at Darussalam Blokagung

Perihal uang yang mendanai inovasi, nampaknya manusia harus bersiap dengan kemungkinan munculnya ras kecerdasan buatan (artificial intelligence). Seperti apa ras itu hingga manusia harus menaruh perhatian lebih?.

Kebiasaan bertransaksi elektronik manusia sudah mengalami perubahan signifikan. Orang tak perlu antre pesan makanan. Ia bisa datang sendiri dengan sentuhan jari pada layar ponsel, lengkap dengan senyum dan sapa pengantarnya. Orang tak perlu berdesakan di mall untuk beli baju. Ia bisa datang sendiri, bahkan bila mujur, bisa dapat potongan harga yang lumayan. Saat sakit pun, orang cukup konsultasi ke dokter lewat ponsel, hasil diagnosa dan obatnya bisa terkirim ke rumah orang tersebut.

Kecerdasan di atas bukan diiringi tanpa ancaman. Kecerdasan-kecerdasan itu memang dimiliki oleh manusia sejak lama, dan sebentar lagi akan digantikan oleh mesin-mesin. Namun, apakah mesin-mesin itu punya kesadaran?.

Seorang sopir bisa saja menyetir sambil mendengarkan musik, menikmati keindahan alam sekitar sembari ngobrol dengan penumpang. Tapi kecerdasan buatan, berbeda. Ia hanya tahu bagaimana mencari rute tercepat dan teraman dari titik A ke titik B dan memastikan penumpangnya selamat. Seorang dokter punya sentuhan-sentuhan yang tak dimiliki oleh robot dokter yang hanya bisa memberi analisa dan resep obat.

Bila kita merasa ngeri dengan kecerdasan buatan yang ada, jutaan orang lain secara sukarela menerima dan setuju dengannya. Mereka dengan sukarela memberikan privasi dan individualitas pada tangan-tangan kecerdasan buatan. Pergeseran dari manusia ke algoritma ini bukan keputusan pemerintah, namun akibat banjirnya pilihan keseharian.

Maka, bila tiap manusia itu individu, sedangkan ia sudah melepaskan semua privasinya pada algoritma, hendak menjadi apa umat manusia nantinya. Batasan-batasan individu menjadi kabur. Akankah ia masih berharga secara kolektif atau makin kehilangan nilai mereka seutuhnya.

Baca Juga:  Wajah Baru Pesantren, Mencetak Santri Millenial

Dalam film Kung Fu Panda 3, Master Shifu bercerita pada Poo bahwa Master Oogway bertapa dalam gua selama 30 tahun untuk menjawab satu pertanyaan, siapa saya. Sebentar lagi, kita, manusia, menghadapi tantangan kecerdasan buatan di atas. Lalu, siapa sebenarnya kita?. Wallahu a’alam. [HW]

Hanif Nanda Zakaria
Penulis Buku "Bang Ojol Menulis" Alumnus Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini