Refleksi Hari Santri, Ilmu Pengetahuan, dan Embodied Islamic Piety

Hari Santri di Indonesia bukan sekadar peringatan historis yang merayakan peran vital santri dalam sejarah perjuangan bangsa dan perkembangan Islam di Nusantara. Lebih dari itu, peringatan ini mengundang refleksi mendalam tentang bagaimana santri dapat menyambung perjuangan dan merengkuh masa depan, sesuai dengan tagline Hari Santri 2024, “Menyambung Juang Merengkuh Masa Depan.” Ini menjadi momen strategis untuk mengevaluasi peran santri dalam menghadapi tantangan intelektual dan spiritual di era modern, serta bagaimana konsep embodied Islamic piety dan ilmu pengetahuan dapat menjadi pilar utama dalam menyongsong tantangan tersebut.

Santri dan Tradisi Keilmuan Islam

Santri telah lama menjadi simbol pelajar Muslim yang mendalami ilmu agama di pondok pesantren. Mereka mempelajari berbagai disiplin ilmu agama seperti fiqh, tafsir, hadith, dan tasawuf, di mana pendekatan tradisional yang sangat mengakar kuat di pondok pesantren menjadi medium utama dalam menyebarkan pengetahuan keislaman. Namun, perkembangan zaman menuntut santri untuk mampu mengintegrasikan tradisi keilmuan klasik dengan kemajuan ilmu pengetahuan modern. Di era digital, santri dihadapkan pada tantangan untuk menjembatani kedua dunia ini secara seimbang.

Dalam dunia akademik kontemporer, pandangan seperti yang diungkapkan oleh Rudolph T. Ware dalam bukunya The Walking Qur’an: Islamic Education, Embodied Knowledge, and History in West Africa menawarkan pemahaman yang mendalam tentang bagaimana ilmu pengetahuan Islam bukan hanya bersifat intelektual, tetapi juga embodied atau diwujudkan dalam tindakan nyata dan perilaku sehari-hari. Bagi Ware, pendidikan Islam tradisional menekankan pentingnya internalisasi pengetahuan melalui praktik spiritual dan etis, bukan sekadar akumulasi informasi. Prinsip ini juga relevan bagi santri di Indonesia yang tidak hanya dituntut menguasai ilmu agama secara teoritis, tetapi juga mewujudkannya dalam kehidupan nyata.

Embodied Islamic Piety dan Santri

Konsep embodied Islamic piety yang dijelaskan oleh Ware berakar dari pandangan bahwa kesalehan Islam tidak hanya diukur dari pengetahuan yang dipahami atau diajarkan, tetapi dari bagaimana pengetahuan tersebut diterapkan secara konsisten dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks santri, kesalehan yang terwujud dalam perilaku dan praktik spiritual mencerminkan internalisasi ajaran Islam secara komprehensif. Seorang santri tidak hanya menjadi cermin dari ilmu yang mereka pelajari, tetapi juga dari cara mereka menghidupkan ajaran-ajaran Islam dalam konteks sosial dan spiritual.

Dalam tradisi pesantren, kesalehan ini diwujudkan melalui disiplin ibadah, komitmen terhadap komunitas, dan pengabdian pada nilai-nilai Islam. Konsep ini sejalan dengan gagasan Ware bahwa pengetahuan agama dalam Islam tidak hanya dipahami dalam konteks intelektual, tetapi harus menjadi bagian dari kehidupan tubuh dan jiwa seseorang. Ware menggambarkan bagaimana pengajaran Al-Qur’an di Afrika Barat mengajarkan bahwa kesalehan sejati adalah manifestasi dari pengetahuan Al-Qur’an yang berjalan, yakni yang hidup dalam tindakan para pengikutnya. Hal ini serupa dengan apa yang terjadi di pesantren-pesantren di Indonesia, di mana pendidikan Islam diarahkan untuk membentuk santri yang tidak hanya berpengetahuan luas, tetapi juga berkepribadian luhur dan berkontribusi pada masyarakat.

Baca Juga:  PCINU India Ikut Serta Semarakkan Hari Santri Nasional
Ilmu Pengetahuan dan Tantangan Kontemporer

Di era modern ini, santri dihadapkan pada tantangan untuk tetap relevan dengan perubahan zaman, termasuk perkembangan teknologi dan globalisasi. Namun, tantangan ini bukan berarti mereka harus meninggalkan tradisi keilmuan Islam yang telah mereka warisi. Sebaliknya, mereka perlu mengintegrasikan tradisi ini dengan kemajuan ilmu pengetahuan modern, sehingga pengetahuan agama dapat diaktualisasikan dalam konteks yang lebih luas.

Dalam hal ini, pandangan Ware tentang integrasi pengetahuan agama dengan kehidupan sehari-hari memberi wawasan penting bagi santri dalam menghadapi era kontemporer. Pendidikan Islam tradisional yang embodied memberikan landasan kuat bagi santri untuk tidak hanya memahami, tetapi juga menerapkan ilmu agama di tengah dinamika globalisasi. Tantangan untuk mengintegrasikan tradisi Islam dengan ilmu pengetahuan modern menjadi ujian bagi santri untuk tidak hanya tetap setia pada nilai-nilai agama, tetapi juga mengembangkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kemajuan umat.

Santri di Indonesia telah menunjukkan kapasitas besar dalam hal ini. Pesantren, sebagai institusi pendidikan Islam, telah mulai memperkenalkan kurikulum yang mencakup ilmu pengetahuan umum dan teknologi modern tanpa mengorbankan identitas keislaman. Hal ini sejalan dengan gagasan Ware tentang pentingnya mempertahankan warisan tradisional sambil terbuka terhadap inovasi dan perubahan yang relevan bagi kehidupan umat Muslim saat ini.

Refleksi Hari Santri tidak hanya mengingatkan kita pada peran historis santri dalam perjuangan Islam di Indonesia, tetapi juga mengajak kita untuk merenungkan peran mereka dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan mempraktikkan embodied Islamic piety di era modern. Santri harus terus membangun jembatan antara tradisi keilmuan Islam klasik dan tantangan ilmu pengetahuan kontemporer, seperti yang diusulkan oleh Rudolph T. Ware dalam gagasannya tentang pengetahuan yang diwujudkan dalam tindakan. Dengan demikian, santri tetap menjadi simbol transformasi pengetahuan Islam yang dinamis dan relevan dengan perubahan zaman, sambil tetap menjaga integritas spiritual dan etika Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Baca Juga:  Katib Syuriah PWNU Aceh: PCNU Aceh Besar Harus Kompak dan Solid
Santri: Menyambung Juang, Meneguhkan Tradisi

Sejarah mencatat peran besar santri dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, termasuk kontribusi ulama dan pesantren dalam mempertahankan identitas Islam dan kebudayaan Nusantara. Namun, perjuangan tersebut tidak hanya berhenti pada aspek fisik dan politik. Santri juga berjuang dalam domain intelektual dan spiritual, di mana ilmu pengetahuan dan kesalehan menjadi fondasi utama. Inilah yang diangkat oleh Rudolph T. Ware dalam karyanya, The Walking Qur’an, yang menekankan pentingnya penghayatan pengetahuan keislaman dalam tindakan nyata. Ware menunjukkan bahwa pendidikan Islam tradisional, seperti yang diajarkan di pesantren, tidak hanya mencetak intelektual Muslim, tetapi juga individu yang menjadikan ilmu agama sebagai panduan hidup dalam keseharian, atau dalam istilahnya, embodied Islamic piety.

Di sini, konsep embodied Islamic piety menjadi sangat relevan. Santri tidak hanya diharapkan menguasai teks dan pengetahuan keislaman secara teoritis, tetapi juga menginternalisasi ilmu tersebut dalam tindakan sehari-hari, sebagai wujud kesalehan yang nyata. Kesalehan yang tidak hanya terbatas pada ritual, tetapi juga pada perilaku sosial yang mencerminkan moralitas dan keadilan Islam. Dalam konteks ini, perjuangan santri menyambung tradisi intelektual pesantren yang kuat dengan tantangan modern yang memerlukan inovasi tanpa kehilangan identitas keislaman.

Pesantren sebagai Jembatan Intelektual Masa Lalu dan Masa Depan

Tagline “Menyambung Juang Merengkuh Masa Depan” memberikan arah yang jelas bagi pesantren dan santri untuk tidak hanya melestarikan tradisi keilmuan masa lalu, tetapi juga untuk merengkuh masa depan dengan pengetahuan dan pemahaman yang relevan dengan zaman. Suwendi dan rekan-rekannya dalam kajian mereka tentang jaringan intelektual pesantren, menyoroti peran pesantren sebagai pusat pendidikan yang tidak hanya menjaga tradisi tetapi juga beradaptasi dengan perubahan sosial dan tuntutan intelektual modern.

Pesantren di era digital dan globalisasi menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan identitas mereka di tengah arus perubahan. Jaringan intelektual pesantren yang kuat, sebagaimana yang dibahas dalam kajian ini, menjadi modal penting bagi pesantren untuk terus berkontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan Islam, sekaligus menghadap tantangan reformasi dan modernisasi pendidikan. Di sinilah embodied Islamic piety kembali menemukan relevansinya. Santri diharapkan tidak hanya menguasai ilmu keislaman secara tekstual, tetapi juga mampu menerapkannya dalam konteks kekinian, menjadikan ilmu tersebut sebagai bekal menghadapi tantangan intelektual dan spiritual di masa depan.

Baca Juga:  Refleksi Hari Guru: Urgensi Guru Mendidik dengan Hati Pasca Daring Pandemi
Tantangan Intelektual dan Spiritualitas di Era Modern

Di era modern, tantangan yang dihadapi santri tidak hanya datang dari dinamika internal umat Islam, tetapi juga dari perkembangan global seperti teknologi, pluralisme, dan sekularisasi. Konsep ilmu pengetahuan yang diinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana yang digambarkan oleh Ware, menjadi kunci penting dalam menjawab tantangan ini. Kesalehan Islam harus dibuktikan melalui peran aktif santri dalam memberikan solusi bagi berbagai permasalahan sosial, politik, dan ekonomi yang dihadapi umat dan bangsa.

Dalam konteks ini, tantangan intelektual yang dihadapi pesantren dan santri adalah bagaimana mereka dapat mengadaptasi konsep-konsep tradisional ke dalam wacana global yang lebih luas tanpa kehilangan esensi kesalehan dan moralitas Islam. Santri diharapkan mampu berinovasi dalam mempelajari dan mengajarkan ilmu pengetahuan yang tidak hanya berorientasi pada dunia, tetapi juga membawa misi spiritual yang lebih tinggi, sebagaimana pesan embodied Islamic piety.

Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam yang berakar kuat pada tradisi keilmuan, memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa santri dapat menggabungkan ilmu pengetahuan kontemporer dengan nilai-nilai spiritual Islam yang telah mereka pelajari. Dengan demikian, santri dapat terus menyambung perjuangan para pendahulunya dalam menjaga dan menyebarkan Islam, sembari mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan masa depan dengan bekal intelektual dan spiritual yang mumpuni.

Oleh karena itu, tagline “Menyambung Juang Merengkuh Masa Depan” memberikan sinyal bahwa santri di era modern harus mengambil peran sebagai agen transformasi. Mereka tidak hanya mewarisi perjuangan ulama dan santri terdahulu, tetapi juga harus mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin intelektual dan spiritual yang mampu membawa Islam ke dalam konteks global tanpa kehilangan akar tradisionalnya. Dalam hal ini, pesantren dan santri dihadapkan pada tugas besar untuk menjembatani tradisi dengan inovasi, menggabungkan pengetahuan dengan kesalehan, serta menjadi garda terdepan dalam menyebarkan nilai-nilai Islam di tengah tantangan globalisasi dan modernisasi. []

Mubaidi Sulaeman
Alumni Ponpes Salafiyah Bandar Kidul Kota Kediri, Peneliti Studi Islam IAIN Kediri-UIN Sunan Ampel Surabaya

    Rekomendasi

    1 Comment

    1. […] rangka memperingati Hari Santri Nasional 2024, ParagonCorp secara resmi meluncurkan program Santri Generasi Keren, sebuah inisiatif yang […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini