Cerpen

Puncak Kebahagiaan

“Tenang, Arinda” sapa diriku saat rasa kemrungsung kembali memuncak.

Antara bekerja tanpa ruh, menjadi tulang punggung dan tetap mengadukan pada yang maha kuasa.  Sejatinya, keinginan tidak harus diikuti  terus-menerus. Menurunkan ego adalah tantangan dalam mencari  kebahagiaan yang hakiki. Tetap menghadapi masalah yang dirasa diri ini sudah tak mampu menyelesaikannya. Saya percaya bahwa Allah akan memberikaan cobaan umatnya sesuai kemampuan umatnya. Jadi, seberapapun cobaan yang saya hadapi akan mampu saya selesaikan.

Huuuft… Hela nafas yang dalam ini saya pernah rasakan ketika semangat dalam hidup saya menurun. Tuntutan dari orangtua untuk menjadi ini-itu membuat saya tidak pernah memikirkan hak saya sendiri untuk menemukan jati diri. Sesekali kusisihkan waktuku untuk menghamba melalui kegiatan berkunjung ke makam agar mendapatkan karomah dan wasilah.

Teringat ketika Maisa, teman waktu mondok, mengatakan bahwa” hiduplah sekan-akan hidup mengejar Akhirat, maka kamu akan mendapatkan dunia dan akhirat”. Saat itu pula mindset ini disadarkan dengan ketegasan ”apa sebenarnya yang kamu kejar?”.

Fikiran yang tak menentu membuat diri ini bergemuruh mana yang harus saya pilih. Kuputuskan untuk  mengurangi pekerjaan dan mendekatkan diri dengan berkunjung ke beberapa makam mbah-mbah untuk mencari ketenangan. Kaki ini berhenti dan duduk di teras serambi sambil melihat pemandangan masa kecil yang sering saya temui di  masjid dekat rumah saya.  Air mata ini tidak enggan untuk menetes seketika ingatan saya mengaji di setiap petang tergali kembali. Berhadap dampar dengan beberapa wejangan dari Bu nyai tentang seorang perempuan. Bu nyai ngendikan bahwa untuk menjadi perempuan harus andhap ashor saget digugu lan ditiru. Perempuan boleh bekerja tapi jangan lupakan hakikatnya perempuan untuk mendidik anaknya.

Baca Juga:  Yang Sebenarnya (5)

Saat ini, saya—wanita karier—mengadukan nasib  yang kata orang sudah mapan dan tidak boleh neko-neko lagi mengadu untuk ”switch carier”.  Perempuan diumur 27 tahun ini sudah pada fase  dimana teman-teman sebayaku sudah berkeluarga. Bahkan saya masih berkecamuk dan repot dengan diri saya sendiri agar berusaha untuk diakui oleh orang-orang terdekat.  Penyakit rasa ” ke-akuan ” ini yang membuat saya menambah kekhawatiran  sesekali ketika  tertrigger oleh kondisi tertentu. Padahal, saya masih ingat ketika saya mengaji kita Kimia Assaadah karya Al Ghazali bahwa  salah satu faktor untuk menciptakan kebahagiaan adalah dengan melawan musuh batiniah—egoisme, arogan, angkuh, keakuan, arogan, angkuh, keakuan, tamak, bernafsu,intoleran, marah, bohong,curang, ghibah, merasa benar sendiri dan memfitnah. Namun, untuk menerapkan dalam kehidupan masih terus belajar.

Di waktu yang sama,masih pada posisi tangan sedakep dan duduk di teras serambi putri masjid Tinatar ini, saya melihat pemandangan ngaos. Pemandangan ini membuat saya mengingatkan pesan Ustadz saat dulu di bahwa “kalau ingin merasakan kebahagiaan, rasakan kenyamanan dan kenikmatan yang telah kamu dapat. Jika kamu merasa semua tidak nikmat maka tinggalkan. Itu bukan kebahagiaan  sejati”. Saat itu pula saya menmukan jawaban kenapa saya ragu  untuk mencari kebahagiaan yang sebenarnya sedangkan gusti Allah  tahu mana yang terbaik untuk hambanya.

Saat itu pula, saya memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan yang saya rasa tidak kutemukan ruh dalam setiap langkah kerjaku. Bismillah. Bahwa:

Memayung Hayuning Bawana

“ Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan”.

Tiga aspek ini harus kuusahkan dalam setiap perjalanan hidup saya. Saya berhak bahagia dengan segala ketenangan jiwa. Bebas dengan segala tekanan. Dan harus menyadari bahwa kebahagiaan bukan hanya berbicara soal materi saja melainkan batiniah yang lebih utama.

Septian Eka Pratiwi
Sarjana Tadris Bahasa Inggris, sebagai guru di salah satu pondok pesantren di Ponorogo.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Cerpen