Kepercayaan

“Benar?!!!, Benarkah kamu melakukan itu???”

Sekilas langsung mata ini terbelalak dan kaget buka main setelah melihat wajah dia penuh dengan kebahagiaan. Berbeda jauh  mimik wajah yang kuberikan  ketika melihat foto yang begitu mesra terpampang jelas dihadapanku.

“Kami  saling mencintai”

“Bukan itu maksud aku. Aku hanya ingin meluruskan dia sudah punya istri.  Bagaimana kamu  diposisi perempuan yang berkedudukan istrinya itu?”

“kami (dia dan kekasihnya) tidak mau tahu”

Di tengah masyarakat, menggeneralisasikan bahwa  orang ketiga selalu bersalah tanpa melihat siapa yang  menggoda terdahulu.   Disisi lain, banyak sekali pernikahan yang hancur karena kesalahan dari keduanya dengan menggunakan kepercayaan yang mereka berikan kepada pasangannya.

“Lantas apa lagi yang kamu perbuat?”

“Aku ingin dinikahi olehnya. Dikenalkan di tengah  lingkungannya. Dan satu lagi, dijadikan satu-satunya dalah hidupnya”

“Sadarlah. Kamu tidak memikir apa? kamu sedang melakukan apa, hah?”

“ini semua pilihanku dan  aku ingin melakukan semuanya”

Aku dan dia memang dikenal sebagai teman yang begitu dekat hingga kemanapun aku melakukan aktivitas bersama ketika di kampus.  Banyak yang mengatakan hubungan kita begitu harmonis sedikit romantis. Tapi semenjak pengakuan pahit itu, hubungan itu menjadi berjarak. Tegur sapa tak seperti yang dulu terlihat. Mereka telah memutuskan untuk berputus.

“Memang aku tak pernah memintamu untuk menjadi perempuan yang sempurna, tapi aku hanya ingin menjadikan kamu sebagai perempuan yang berharga. Bukan seperti ini. Ingat karma”. Pintaku sedikit memohon  untuk tidak meneruskan niatannya itu.

Berhari-hari makananpun tak ingin kulalap setelah  dia menjawab tanpa dosa.  Dia masih dengan  definisi kebahagiaan yang ia rasakan. Hingga akhirnya aku tak kuat untuk menceritakan kepada sahabat yang kupercaya dan membantu tuk menyelesaikan permasalahanku. Aku seperti malu sebagai perempuan yang diposisikan dengan perilaku perempuan yang begitu tak beradab. Sampai akhirnya aku tidak ingin membahas hal tersebut. Aku punya msalah dalam hidupku. Tapi aku tak pernah menemui permasalahan serumit ini.  Karena hakikat seorang perempuan adalah sebaik-baik perhiasan yang ada di dunia. Maka, sangat heran sekali jika ia tak mengerti kedudukan perempuan itu begitu  indah.

Baca Juga:  “Madhep Dampar” Sebuah Cerpen

Tepat hari itu datang. Hari dimana seorang perempuan lainnya melabrak dia di tengah teman-teman lainnya. Seperti belum sembuh aku  mendengar pengakuannya tiga hari yang lalu. Tepat disampingnya, aku melihat mata perempuan asing itu begitu  mencekam. Darahku  mendingin. Mataku pun tak  berani melihat wajah temanku yang sedang duduk di sampingku sedikit memerah.

Banyak pertanyaan menjadi-jadi dalam pikiranku. Apakah dia memang berbohong ataukah dia memang ingin menyebarkan  aibnya sendiri dengan  mengganti poto profil di akun whatsApp-nya. Dia memang salah satu  pembisinis online yang sedikit ramai di salah satu pondok tersebut. Hingga akhirnya gambar tersebut mulai tersebar dengan sendirinya atas tabiatnya sendiri.  Mungkinkah dia  memiliki niatan untuk diakui atau  membuka sisi  perbuatan yang dipandang buruk di tengah masyarakat.

Aku juga tak begitu yakin juga dia mempercayai adanya pengakuan yang benar. Aku juga tak begitu yakin jika dia ingin dimadu  menjadi yang kesekian kalinya  dari seorang laki-laki yang tak jarang kita dengan namanya di kampus. Setiap perkataan adalah kepercayaan. Setiap pernyataan adalah kepercayaan. Lantas apa lagi yang ia lakuakan untuk mengubah kepercayaan yang ia bangun untuk pengakuan?.

Becik ketitik, ala ketara

Setiap sesuatu yang yang buruk akan selalu terlihat sedangkan yang baik akan terlihat kecil. Minimalkan kesalahanmu. Lembutkan setiap perkataanku. Karena kepercayaan akan hilang ketika kau melakukan sedikit kesalahan dalam hidupmu. Begitulah Kisah yang memilu. Yang merayu tuk mengadu…[]

Septian Eka Pratiwi
Sarjana Tadris Bahasa Inggris, sebagai guru di salah satu pondok pesantren di Ponorogo.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Cerpen