Panji-panji kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan saat ini tentu menjadi wujud transformasi secara besar-besaran dalam kehidupan. Globalisasi telah memberikan pengaruh dan pola baru sebagaimana menurut Kassim Ahmad globalisasi cenderung membawa masyarakat kepada peradaban yang berwujud kebudayaan dekaden, atau kebudayaan yang tidak menggubris nilai kerohanian. Kebudayaan yang nir-kerohanian, yang lambat laun berpotensi menyebabkan krisis dan menghancurkan kehangatan integritas di berbagai elemen masyarakat.
Menghadapi kondisi tersebut, maka tidak sebatas berupa ketaatan, sikap, dan perilaku sebagai umat Muslim, akan tetapi perlu peran penting berupa ekspresi sastra dan seni masyarakat. Sejarah dan pengalaman umat Muslim mencatat banyak diantara karya sastra maupun seni yang berkonstribusi terhadap kemajuan khazanah Islam. Salah satunya yang akan dibahas di sini adalah eksistensi syair atau puisi profetik (berbau kenabian) sebagai warisan Islam yang rahmatan lil ‘alamiin.
Puisi-Puisi Religius
Berangkat dari paparan Abdul Hadi M.W dalam tulisannya berjudul Kedudukan Puisi di dalam Peradaban; Tinjauan dari Perspektif Islam, bahwa karya sastra termasuk puisi sebenarnya menjadi media yang inklusif dan inovatif dalam penyebaran ajaran Islam. Puisi dalam posisi tersebut bertujuan sebagai bahan renungan dan sumber inspirasi menuju kehidupan yang penuh kesadaran; pengkekalan diri masyarakat. Penyair dan puisi-puisinya menurut beberapa ulama adalah hal yang tidak begitu mempengaruhi kemajuan peradaban Islam. Di sisi lain, penyair dan puisinya justru membawa pembaharuan di masyarakat. Sebagaimana karya-karya penyair Arab dan Persia yang terkenal dengan wawasan estetika dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia misalnya Muhammad Iqbal, Al-Hallaj, dan Jalaluddin Rumi.
Puisi-puisi yang mampu menularkan pengetahuan maupun kesadaran terhadap pembacanya tersebut disebut dengan puisi religius atau puisi profetik. Keberadaan puisi religius tersebut dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan isi dan bagaimana latar belakang penyair yang menuliskannya.
Diantaranya puisi sebagai tarekat, berpangku pada untaian kata-kata Emha Ainun Najib atau akrabnya Mbah Nun. Melalui esai maupun percikan pemikirannya secara tidak langsung adalah wujud perhatian Mbah Nun terhadap aspek sosial, politik, kemanusiaan, hati nurani masyarakat yang sebenarnya transenden. Salah satu kutipan bait puisinya berjudul “Pertemuan”,
Sudah tiga puluh lima tahun aku mengembara
tapi tak terlihat oleh mataku sebuah masjid pun
Di larut malam aku tiba di puncak semesta,
dan menjelang fajar pagi di pangkal dunia aku sampai kembali
Tapi di manakah masjid?
Aku menyelinap di kampung-kampung,
aku terbang mengitari kota,
aku menyisir belantara dan menggali gunung-gunung
Di manakah masjid?
Dapat dirasakan makna sekilas dari kutipan tersebut adalah berupa renungan maupun menggambarkan pencarian hal yang metafisik. Mbah Nun dalam kutipan tersebut mengungkapkan keberadaan dirinya di samping keadaan lingkungan dan manusia di sekitarnya penuh kemunafikan, sehingga secara isyarat dia tidak menemukan masjid (kebaktian manusia terhadap Tuhannya).
Puisi lainnya adalah puisi-puisi yang secara khusus ditujukan kepada Kanjeng Nabi. Puisi-puisi tersebut pada umumnya berupa Qashidah al-Barzanji, Qashidah al-Diba’i, Qashidah al-Burdah, dan sebagainya yang sering dilantunkan bersama-sama sebagai syiir, wirid, pujian, ataupun mantra suci. Qashidah tersebut ditulis oleh para ulama sebagai wujud dari puisi na’tiyah yakni puisi sekaligus puji-pujian yang mengandung keunggulan sifat-sifat Nabi, peran dan ketaatannya kepada Tuhan, dan sejarah Nabi sebagai sumber keteladanan umatnya.
Puisi untuk Kanjeng Nabi secara simbolis juga ditulis oleh para penyair klasik seperti Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Syamsuddin Al-Sumantrani, Amir Hamzah, Nuruddin Al-Raniri, Hamzah Fansuri, dan Haji Hasan Mustafa diantarnya berupa kidung, suluk, guguritan, risalah tasawuf, maupun dangding. Syair Laut Mahatinggi karya Hamzah Fansuri misalnya menggambarkan puisi yang tidak terbatas memperlihatkan penggunaan metafora dan idiom-idiom ayat Al-Qur’an, namun juga mengandung ajaran tauhid atau tasawuf jika dicermati lebih dalam.
Puisi karya Taufiq Ismail, Goenawan Moehamad, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi M.W., A. Mustofa Bisri, D. Zawawi Imron, Fauz Noor, Ahmad Tohari dan Mbah Nun yang juga turut mewarnai perpuisian tentang riwayat Nabi di kancah modern. Salah satu sajak Taufiq Ismail menggambarkan peristiwa Isra’ Mi’raj, juga sajak Goenawan yang sepintas melukiskan penerimaan wahyu. Diantara karya penyair modern lain yang sedikit banyak membeberkan kegairahan tentang lingkungan pesantren, aspek sosial, dan politik di daerah puisi tersebut lahir maupun terhadap negeri ini. Pujian-pujian khusus untuk Kanjeng Nabi juga dituliskan Edi Ah Iyubenu dalam bukunya Muhammad Sayangku.
Puisi Berkonstribusi Membangun Kebudayaan Islam
Puisi-puisi karya ulama dan penyair sufi pasca-masa sabahat yang diterjemahkan seperti halnya Nizami, Attar, Sana’i, Sa’di, Jalaluddin Rumi, sampai Muhammad Iqbal sebenarnya dituliskan dengan landasan semangat profetik dan antusiasme ketuhanan. Puisi-puisi karya penyair tersebut cenderung menggunakan majas atau bahasa yang tinggi, merupakan bagian dari estetika unsur penciptaan puisi itu sendiri. Puisi-puisi tersebut selanjutnya tidak hanya sebagai luapan cinta, hiburan renungan, dan penyampaian gagasan dari penyairnya, akan tetapi juga menyampaikan maksud tersembunyi entah terhadap Tuhan (’isyq) sebagai sarana menemukan jati diri (sebagai khalifah) guna menyempurnakan kehidupannya.
Puisi yang ditulis sebagai na’tiyah, sholawat, diba’an, burdahan, ataupun berbentuk pujian untuk Kanjeng Nabi tentu memberikan ekspresi dan menginspirasi pembacanya untuk merenungkan kecintaan terhadap Nabi Muhammad Saw. juga tujuan terefleksikannya dalam perilaku nyata dalam kehidupan. Adapun puisi-puisi religius yang mengandung ayat-ayat Al-Qur’an sebagaimana menjadi penularan ajaran tasawuf, ilmu keagamaan, bahkan ilmu tafsir. Keberadaan ayat-ayat Al-Qur’an dalam puisi tentu menjadi konstribusi dalam perkembangan kajian sastra khususnya resepsi sastra.
Demikian puisi-puisi religius memberikan konstribusi terhadap perkembangan khazanah budaya dan kesusastraan Islam. Puisi-puisi profetik yang menularkan kesadaran tersebut breksistensi terhadap pentingnya perluasan dakwah Islam secara estetik dan ramah. []
Referensi
Abdul Hadi W. M. Kembali ke akar kembali ke sumber. Cetakan pertama. Banguntapan, Yogyakarta: Diva Press, 2016.
Noor, Acep Zamzam. Menjadi sisifus: esai-esai pilihan. Cetakan pertama. Banguntapan, Yogyakarta: Diva Press, 2018.