Isu disabilitas saat ini menjadi topik yang selalu muncul di permukaan. Hal ini karena ditemukan banyak masalah yang menghalangi pemenuhan hak penyandang disabilitas, diantaranya adalah masalah ketersediaan data tentang kondisi penyandang disabilitas, infrastruktur, dan terutama masalah sosial karena kesadaran disabilitas (disability awarness) yang masih minim akibat cara pandang dan pemahaman masyarakat Indonesia tentang disabilitas yang eksklusif.
Cara padangan dan pemahaman umumnya masyarakat Indonesia masih terkurung pada dua model, yaitu model medis (medical model), dan model belas kasih (charity model). Cara pandang medis merupakan cara pandang yang terkesan merendahkan penyandang disabilitas, sebab ia dianggap sebagai orang yang sakit yang memiliki kelainan, sehingga harus diobati dan direhabilitasi. Kemudian cara pandang belas kasih, yaitu cara pandang terhadap penyandang disabilitas sebagai orang yang tidak semburna, sehingga menimbulkan belas kasihan dan rasa iba terhadapnya.
Dua model tersebut sudah tidak relevan lagi dengan prinsip menuju masyarakat yang inklusif disabilitas karena dianggap menghambat pembangunan inklusif disabilitas yang berimplikasi terhadap pemenuhan hak penyandang disabilitas. Oleh karena itu aktivis dan penyintas disabilitas melakukan gebrakan progresif dengan merubah cara pandang dan pemahaman masyarakat tentang disabilitas. Upaya yang dilakukan adalah dengan menggunakan paradigma yang mampu meningkatkan kesadaran disabilitas (disability awarness) sehingga mampu mengimplementasikan pemenuhan hak penyandang disabilitas.
Tentu saja, untuk menumbuhkan kesadaran disabilitas( disability awarness ) tidaklah mudah. Harus ada upaya-upaya yang memantik masyarakat secara konsisten sehingga mampu menyadarkan pentingnya memiliki kesadaran disabilitas (disability awarness). Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apa upaya yang bisa dilakukan?
Rethinking Puasa: Memproduksi Akhlak Makruf
Salah satu upaya saat ini yang bisa dilakukan adalah melakukan rethinking puasa yang kemudian diiringi dengan internalisasi hakikat puasa dalam membangun kesadaran disabilitas. Puasa merupakan momen memperbaiki diri untuk menjadi pribadi yang lebih progresif dan supaya menjadi hamba yang eksistensial. Dengan berpuasa akan dilatih untuk mengontrol diri dari pikiran yang ekslusif.
Eksistensi puasa bukan sekedar persoalan menahaman makan dan minum saja, tetapi mencegah semua anggota badan dari berbagai bentuk yang menjerumuskan kepada dosa. Diantaranya adalah menjaga pandangan, perkataan, tindakan, dan yang paling utama adalah mencegah dari pemikiran dan tindakan yang sifatnya eksklusif.
Puasa memberikan pelajaran supaya pemikiran atau sikap ekslusif mampu untuk diurai dan diolah menjadi inklusif. Maksudnya adalah puasa mengajarkan memahami dan terbuka dari segala macam aspek menuju kebaikan. Bukan mengutamakan diri sendiri yang justru menjerumuskan diri terhadap sesuatu yang tidak baik.
Tidak heran jika ada adagium “puasa sebagai sarana penghambaan diri dan solidaritas sosial”, sebab puasa sejatinya adalah membangun pribadi yang lebih baik demi terciptanya kebaikan yang seimbang dalam hubungan vertikal (hablu min allah) dan hubungan horizontal (hablu min nas/min ‘alam).
Dari sini rethinking puasa bisa dipahami bahwa hakikat puasa adalah memproduksi akhlak makruf. Sebagaimana pemikiran Imam al-Ghazali bahwa eksistensi puasa adalah at-takhalluq bi khuluqin min akhlaaqi llahi (menciptakan budi pekerti yang relevan dari budi pekerti Tuhan). Tujuan awal puasa adalah supaya membangkitkan karakter inklusif yang ada pada diri manusia supaya mampu diejawentahkan kedalam berbagai praktik ibadah atau sosial yang memiliki nilai kebaikan.
Akhlak makruf menjadi manifestasi dari substansi puasa. Hal ini bisa ditunjukkan dengan ungkapan Imam al-Ghazali bahwa puasa merupakan representasi dari amal batin yaitu kesabaran yang murni, serta puasa merupakan representasi dari kekuatan untuk menahan syahwat dari perkara yang eksklusif.
Puasa sebagai pabrik yang memproduksi akhlak makruf menghendaki setiap manusia yang berpuasa untuk melakukan rekayasa diri. Maksudnya adalah puasa merupakan alat untuk menciptakan budi pekerti yang luhur yang menghasilkan kemaslahatan bagi diri sendiri dan orang lain. Dengan berpuasa seseorang dituntun agar berproses dalam menjalankan kebaikan, sehingga proses inilah menghasilkan akhlak makruf.
Akhlak Makruf Sebagai Pondasi Disability Awarness
Kesadaran disabilitas sulit untuk dimanifestasikan tanpa pondasi yang kuat. Karena tujuan pondasi dalam membangun kesadaran disabilitas adalah sebagai landasan ide agar masyarakat tidak terkungkung dalam paradigma medis (medical paradigm), dan paradigma kasihan (charity paradigm) dalam memahami disabilitas. Salah satu pondasi yang mampu mengapresiasi penyandang disabilitas adalah dengan akhlak makruf.
Secara substansi puasa adalah alat untuk menciptakan akhlak makruf. Akhlak merupakan prinsip-prinsip yang berkenaan dengan baik atau buruknya sikap. Mengutip Nyai Badriyah Fayumi bahwa makruf adalah segala sesuatu yang mengandung nilai kebaikan, kebenaran, dan kepantasan yang dikehendaki oleh syariat, akal sehat, dan pandangan umum masyarakat. Melihat konsepsi ini, akhlak makruf bisa menjadi ide dasar untuk membangun pondasi kesadaran disabilitas (disability awarness).
Akhlak makruf memainkan peran penting dalam mengapresiasi dan menghargai sesama manusia tanpa memandang keterbatasan. Akhlak makruf meniadakan segala bentuk macam penindasan, intimidasi, dan perlakuan yang tidak baik (stereotip dan stigma negatif) terhadap sesama makhluk khususnya kepada kelompok rentan seperti penyandang disabilitas. Akhlak makruf juga menuntut keharmonisan kehidupan masyarakat yang adil dan setara.
Dengan menggunakan akhlak makruf sebagai pondasi, seseorang akan diproyeksi menjadi agen yang mampu menerima, menerima, mengetahui segala bentuk hak-hak penyandang disabilitas. Tidak hanya itu, bentuk akhlak makruf adalah memberi penghargaan dan sensitivitas terhadap penyandang disabilitas. Hal ini yang menghantarkan kepada pengakuan eksistensi disabilitas dalam berbagai aspek kehidupan seperti pendidikan, pekerjaan, pelayanan, ruang ibadah, dan transportasi publik.
Tidak hanya itu, akhlak makruf bertujuan untuk menciptakan karakter, atau budi pekerti yang menghasilkan kemaslahatan secara menyeluruh (kaffah). Salah satu bentuk kemaslahatan adalah paradigma inklusif berbasis akhlak makruf demi terciptanya lingkungan yang mendukung partisipasi penuh dan aksesibilitas bagi semua orang tanpa memandang disabilitas.
Akhlak makruf sebagai pondasi menjadi referensi dasar terciptanya paradigma pemikiran dengan model kemanusiaan (human rights model). Model ini merupakan model yang berdasarkan nilai-nilai dasar kemanusiaan, saling menghormati, saling menghargai, saling memberikan kebaikan, saling memperjuangkan hak, dan menghilangkan kemunkaran (diskriminatif).