Berbicara tentang proses terbentuknya Islam ala Nusantara, tidak lepas dari konteks sejarah dan dinamika Islam di Indonesia. Pembahasan kali ini lebih tertuju pada bagaimana terbentuknya peradaban masyarakat lokal Nusantara melalui pengaruh Islam baik itu tradisi dan nilai hasil peninggalan ulama salaf terdahulu dalam menyebarkan Islam di bumi Nusantara.
Masuknya Islam di Indonesia secara teoritis dalam ruang akademik terdapat empat teori yang menjadi sorotan utama: 1). Islam yang berasal dari Arab, 2). Islam yang berasal dari India, 3). Islam yang berasal dari Cina, 4). Islam yang berasal dari Persia. Teori yang menyatakan empat jalur tersebut tentang sejarah hadirnya Islam di Indonesia karena terdapat beberapa asumsi yang di dasarkan pada kemiripan tradisi dan arsitektur bangunan Nusantara dengan ke empat wilayah tersebut, juga adanya kesamaan mazhab “Syaifi’i” dan beberapa kesamaan lainnya. [1]
Dari ke empat teori Islam masuk ke Nusantara nampaknya juga perlu di lihat dari sisi bukti sejarah, waktu, tempat yang di datangi dan siapa pembawanya.[2] Hadinya Islam di Nusantara tidak dapat dapat di presdiksi dengan pasti kapan awal mula Islam berpijak di Nusantara. Pasalnya, terdapat peninggalan berupa batu nisan di bagian barat Nusantara dengan bertuliskan Arab.
Sejak berabad-abad keberadaan batu nisan tersebut masih menjadi misteri, apakah batu nisan itu menjadi suatu tanda munculnya Islam pertama kali yang dibawa oleh pedagang muslim, ataukah hanya sebuah batu pemberat yang dibuang oleh kapal dagang kaum Islam kala itu. Dalam versi lain, dalam serat babad tanah jawi disebutkan bahwa Islam hadir pertama kali di kawasan Nusantara yaitu di pulau jawa, karena waktu itu pulau jawalah yang sudah mengalami peradaban yang besar sebelumnya di bandingkan pulau yang lain.
Versi babad tanah jawi menyebutkan Islam hadir pertama kali di pulau jawa, karena jawa kala itu menjadi pusat peradaban. Terdapat ungkapan lain oleh sarjana Harry W Hazzard tentang hadirnya Islam di Nusantara, yaitu pertama kali berpijak di bumi Nusantara diduga terjadi pada abad ke-7.[3] Dari adanya beberapa versi tentang kapan hadirnya Islam pertama kali di Nusantara belum menemukan titik temu dengan pasti. Dalam sejarah, pada mulanya hadirnya Islam di Nusantara melalui proses dakwah bi al-hal atau mission sacre, yang dahulu di syiarkan oleh pedagang sekaligus muballig.
Para Muballig ini dalam strategi awal menyiarkan islam dengan menerapkan nilai-nilai kesilaman, seperti halnya: santun terhadap siapa saja, suka menolong, menjaga kebersihan badan, tempat ibadah, bersikap sederhana, ketika bergaul dengan masyarakat lokal menggunakan bahasa yang santun dan saling menghormati satu sama lain. Bahkan juga membantu dalam segi pengobatan dan saling menyayangi manusia maupun alam sekitar.
Para muballigh ini pada intinya mengajarkan tata krama yang baik dalam hidup bermasyarakat. Dengan begitu, mulai memicu daya tarik masyarakat lokal terhadap Islam yang kala itu masih memeluk Hindu Buddha, selanjutnya mulai ada kadar keimanan dan mulai tertarik terhadap kepribadian kaum Muslim tersebut. Dengan begitu kaum Muslim tersebut dengan mudah menarik masyarakat lokal yang masih menganut Hindu untuk memeluk Islam.
Perlu di pahami, bahwa proses Islamisasi di Nusantara ini bukan merupakan hal yang mudah, pasalnya masyarakat yang kala itu menganut Hindu sangat kuat sekali tingkat religiusitasnya terhadap ajaran Agamanya. Versi lain mengatakan bahwa Islam hadir di Nusantara tidak lepas dari peran Sayyid Muhammad Al-Bakir yang dikenal dengan Syekh Subakir, yang kala itu menyiarkan Islam dengan mempengaruhi penguasa-penguasa kerajaan terdahulu.
Meski demikian, Islam kala itu belum mengalami pertumbuhan yang signifikan. Ketika kehadiran Walisongo di bumi Nusantara, barulah Islam di bumi Nusantara ini mengalami perkembangan yang signifikan dan hingga akhirnya penduduk peribumi banyak yang menganutnya. Hadirnya Walisongo ini menjadi tonggak awal munculnya Islam Nusantara yang menjadi ciri khas model keislaman Nusantara yang di dalamnya memadukan unsur Islam dan budaya.
Salah satu strategi dakwah Walisongo adalah membangun teologi Islam dengan media wayang tanpa menyinggung perasaan masyarakat lokal yang kala itu masih menganut Hindu. Wayang sendiri merupakan kebudayaan khas Hindu-Buddha yang di adopsi oleh Walisongo sebagai strategi berdakwah. Melalui media wayang inilah Walisongo khususnya Sunan Kalijaga memanfatkanya sebagi sarana untuk memperkenalkan ajaran Islam melalui kesenian.
Produk hasil modifikasi Walisongo dalam mengkonstruk filsafat atau teologi Hindu menuju Islam seperti berikut: terkait dengan pemaknaan Jimat Kalimah Shada yang artinya Jimat Kali Maha Usada, yang sebelumnya bernuansa teologi dimodifikasi menjadi “Azimah Kalimat Syahadah”. Frase ini menunjukkan pernyatan seseorang tentang keyakinan tiada Tuhan Selain Allah dan persaksian bahwa Muhammad adalah utusannya.
Jika sebalumnya jimat dalam perpektif Hindu berwujud benda yang dianggap sebagai pemberian dari dewa, akan tetapi jimat dalam perpektif Islam yang di bawa oleh Walisongo hanyalah sebagai pernyatan tentang keyakinan terhadap Tuhan (Allah) dan rosul-Nya. Dengan media pewayangan inilah, Walisongo juga menambah varian cerita yang bertema tentang visi sosial kemasyarakatan Islam, yang mencakup sistem pemerintahan, pola kehidupan pribadi dan keluarga, hubungan dalam bertetangga.
Hal yang menarik lagi yaitu, Walisongo juga menambah figur-figur baru yang sebelumnya tidak ada di pewayangan ala Hindu, yaitu memunculkan figure punakawan yang artinya mentor yang bijak bagi Pandawa. Plot cerita yang di sajikan oleh perilaku punakawan tersebut adalah berisi pengenalan terhadap ajaran Islam, baik mencakup akhlak, fiqh, dan syariat.
Selain menggunakan media pewayangan dalam menerapkan strategi dakwah, Walisongo juga menyampaikan ajaran Islam dengan media seni sastra seperti halnya karya Sunan Kalijaga yang tertulis dalam serat Linglung. Terdapat juga di beberapa kitab babat, hikayat, serat, yang muncul di era para wali seperti halnya Sunan Bonang yang menukis beebrapa suluk diantaranya: suluk khalifah, suluk wijil, suluk wasiyat, suluk regol, suluk kaderesan, suluk pipirangan dan beberapa suluk lain.[4]
Dari kisah walisongo tersebut, sudah jelas ketika Islam hadir di Nusantara mampu berinteraksi dan bersimbiosis dengan budaya setempat. Model ini yang akhirnya digunakan sebagai strategi untuk mencuri perhatian masyarakat lokal untuk tertarik terhadap Islam yang tidak serta merta masyarakat lokal di posisikan sebagai objek yang salah dan perlu di benarkan. []
[1] Taufik Bilfagih, “ Islam Nusantara: Strategi Kebudayaan NU di Tengah Tantangan Global”, Jurnal of Islam and Plurality, vol. 2, no. 1, Desember 2016, 59-60.
[2] Ahmad Syafrizal, “Sejarah Islam Nusantara”, Islamuna, vol. 2, no. 2, Desember 2015, 237.
[3] Alma’arif, “Islam Nusantara: Atudi Epistemologis dan Kritis”, Jurnal Studi Keislaman, vol. 15, no. 2, Desember 2015, 274-275.
[4] Ngatawi Al-Zastrouw, “Mengenal Sepintas Islam Nusantara”, Hayula: Indonesian Jurnal of Multidiciplinary Islamic Studies, vol. 1, no. 1, Januari 2017, 7.