Di tengah serbuan gencar informasi modern tentang konsep-konsep yang mendukung citra perempuan modern, kaum perempuan Indonesia yang mayoritas Islam terutama yang berkiprah di perkotaan sering kalang kabut, rendah diri, dan kemudian bersikap defensif. Serbuan informasi itu terbanyak melalui majalah yang bergenre perempuan dan dunianya, yang secara halus bertahap dan terselubung telah mendogma sebuah opini: kalau tidak menjadi modern berarti tetap ingin tradisional, konservatif, atau bahkan terbelakang/primitif.
Istilah abangan kemudian menjadi populer sebagai perisai untuk melindungi diri dari sebutan yang tidak menyenangkan itu. Bahwa mereka yang abangan dikenal tidak terlalu Islami alias tidak terlalu kuno. Mereka bukanlah perempuan kalangan kampung dan pesantren atau kalangan yang disebut sebagai golongan fundamentalis atau ekstrem. Karena itu merupakan gejala umum yang terjadi pada dasawarsa 70-an.
Puluhan majalah Indonesia yang bergenre perempuan dan dunianya mulai bermunculan secara pesat pada dasawarsa 70-an, sadar atau tidak sadar, sedikit atau banyak seolah-olah saling berebut memasyarakatkan sebuah “emansipasi”, yang notabene menjadi tema pokok majalah-majalah itu.
Secara tidak langsung, media itu membius pikiran pembaca hingga mengagumi dan mengidamkan citra perempuan modern yang disebut oleh budaya asing itu dengan: berpendidikan, tegas, mandiri, aktif, lincah bergaul, professional, menguasai etiket dan bahasa internasional, bebas dan netral dari ikatan adat maupun agama, dan berpenampilan prima.
Citra itu terbentuk dalam untaian kata dan unggahan foto hampir di setiap rubrik. Sebutlah profil perempuan populer di dalam dan di luar negeri kemudian rubrik promosi fashion, kosmetik, dan barang lux lainnya, rubrik-rubrik perempuan karir, dan perempuan berprestasi.
Bagaikan menegakkan benang basah, perempuan Islam perkotaan yang menjadi sasaran utama itu begitu bersusah payah membentengi diri. Di mana-mana diselenggarakan seminar, simposium atau diskusi mengenai perempuan, di bawah semboyan: Islam menghadapi tantangan zaman.
Jelas ini merupakan gambaran keraguan akan nilai modern itu. Di samping goyahnya kepercayaan diri sebagai penganut Islam. Benci tapi rindu, begitulah sikap mereka terhadap barang baru “emansipasi impor” sehingga arus modernisasi yang tak terbendung itu dicari carikan pembenarannya dalam agama.
Di satu pihak kita melihat bagaimana gaya hidup Barat dengan kemerosotan moralnya telah merusak generasi muda dan kehidupan keluarga. Di pihak lain tampak pula bagaimana adat istiadat Timur mulai dihidup hidupkan kembali melalui kebiasaan serba upacara, ramah-tamah dan bertele-tele, tata krama feodalisstis yang “jilat-menjilat” dan banyak pantangan serta kepercayaan-kepercayaan yang tak masuk akal.
Kebangkitan kembali budaya kuno dari kuburnya, jelas tidak akan memperbaiki kejatuhan “harga” perempuan masa kini, karena adat Timur pada dasarnya sangat merendahkan perempuan. Seperti adagium Jawa yang berbunyi “surgo nunut neroko katut” (selalu ikut suami, baik ke surga maupun ke neraka), adanya keharusan dibakar bersama mayat suami di India, kesabaran membiarkan suami membawa pelacur ke rumah sendiri di Jepang, ketegaan membunuh dan mengubur hidup-hidup anak perempuan sendiri di masa Arab jahiliyah, dan lain sebagainya adalah contoh-contoh ekstrem dalam peradaban Timur. Dalam mabuk adat-beradat yang dibuatnya sendiri, manusia memang dapat buta mata dan hatinya terhadap kebenaran dan keadilan, bahkan juga perikemanusiaannya.
Jalan buntu ke Timur maupun ke Barat sebenarnya merupakan peluang bagi kesadaran umat Islam untuk mempelajari kembali nilai-nilai Islam yang sejati serta menerapkannya dengan sepenuh keyakinan dan tidak setengah-setengah. Tidak akan ada lagi bagian dari ketetapan dan pandangan Islam yang perlu ditutup tutupi. Tidak ada lagi bahasan parsial yang bernaung di bawah semboyan “Islam menghadapi tantangan zaman” karena pada dasarnya kelahiran dan kebangkitan kembali Islam di zaman jahiliyah kuno dulu dan di zaman jahiliyah modern sekarang adalah justru untuk menantang zaman.
Penelitian terakhir membuktikan bahwa praktik perlakuan diskriminatif terhadap kaum muslimah di beberapa negeri Islam yang terbelakang ternyata berasal dari tradisi Islam yang menyimpang karena adanya pengaruh pandangan Yahudi dan Kristen dalam menafsirkan kisah Adam dan Hawa (Baca selengkapnya: Jane. I smith, dan Yvonne Y. Haddad, “Hawa citra perempuan dalam Al-Quran dan Hadits”, dalam Ulumul Qur’an, No. 1; dan Riffat Hassan, Teologi Perempuan dalam Tradisi Islam: Sejajar di hadapan Allah”, dalam Ulumul Qur’an, No. 4).
Ini menarik, karena ternyata seluruh konsep Islam tentang perempuan, jika ditelusuri sangat memanusiakan perempuan seutuhnya baik dalam sektor domestik maupun publik. Untuk itu Rasulullah mewanti-wanti kepada seluruh umatnya pada saat Haji Wada’:
اتَّقُوا اللهَ فِـي النِّسَـاءِ، فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَـانَةِ اللهِ، وَاسْـتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ، وَلَهُنَّ عَلَيْكُـمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Bertakwalah kepada Allah dalam urusan perempuan. Karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanat Allah dan dihalalkan atas kalian kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Maka hak mereka atas kalian adalah memberi nafkah dan pakaian kepada mereka dengan cara yang baik”. (HR. Muslim, No. 1218)
Oleh paham Islam kita dibuat tersentak sadar akan kesempurnaan ajaran Islam dalam mengatur kesatuan hidup berkeluarga, jika dibandingkan dengan paham-paham di luar Islam, seperti paham Marxis, paham kapitalis, dan paham kerahiban. Paham Marxis meyakini bahwa terbentuknya keluarga hanyalah karena ketergantungan perempuan secara ekonomis kepada laki-laki, yang mana paham ini secara tidak langsung dapat berpotensi menghancurkan sistem keluarga yang ada. (Al-Usrah Al-Muslimah, 1978)
Adapun paham kapitalis yang menganut teori Freud, berpendapat bahwa terbentuknya keluarga hanya karena naluri seksual. Ketika pemikiran ini bertemu dengan paham free sex, maka sudah barang tentu praktik penghancuran keluarga pun berpacu dengan sendirinya. Orang dapat memuaskan kebutuhan seksual dengan berbagai cara dan dengan bantuan macam macam bisnis sex tanpa perlu terikat pada lembaga pernikahan yang merepotkan, dan yang terakhir adalah paham kerahiban yang dipercayai banyak agama-agama di luar Islam sebagai simbol kesucian justru ditentang oleh Rasulullah dalam beberapa hadits karena perbuatan itu melawan fitrah dan sistem kehidupan alami serta dapat memutuskan kekeluargaan dan memusnahkan generasi manusia. Begitulah Islam dalam memposisikan perempuan dan membangun sistem keluarga, semuanya didasarkan pada nilai moralitas yang kukuh, sehingga meskipun zaman terus berubah, Islam dengan kesempurnaan ajarannya akan tetap shahih dan shalih sampai kapanpun. []