Istilah Ableisme (baca: abilisme) Ableisme adalah diskriminasi atau prasangka yang ditunjukkan kepada individu berkebutuhan khusus, apakah itu halus dan tidak disengaja atau terang-terangan dan disengaja. Ableisme pada umumnya melibatkan menunjukkan dukungan semu kepada seseorang dengan difabilitas dan juga disertai dengan implikasi bahwa individu dengan difabilitas tersebut tidak normal dan perlu “diperbaiki” entah bagaimana caranya. Veronica Chouinard mendefinisikan ableism sebagai “ide, praktik, hubungan institusi dan sosial yang mendukung orang berbadan sehat atau normal, membuat orang difabilitas terpinggirkan dan bahkan dianggap tidak ada”. (1997, p.380).
Di hampir semua kelas di tiap sekolah hari ini, akan ada persentase tertentu dari siswa berkebutuhan khusus. Beberapa kecacatan terlihat, seperti multiple sclerosis, distrofi otot, dan karakteristik umum autisme. Yang lain tidak terlihat, seperti gangguan belajar, cedera otak traumatis, dan gangguan pendengaran. Meskipun dorongan untuk ruang kelas inklusi (yang mendidik siswa biasa & ABK di kelas yang sama) telah membantu meruntuhkan tembok, masih ada masalah ableisme.
Masalah utama dengan kemampuan adalah sebagian besar orang bahkan belum pernah mendengarnya. Akibatnya, banyak bentuk kemampuan yang benar-benar diabaikan. Sebagai contoh, misalkan Anda melihat seorang anak kecil duduk mengaji di masjid. Beberapa menit kemudian, Anda melihat orang tuanya menjemputnya dan meletakkannya di kursi roda. Apa pemikiran langsung Anda? Anda mungkin merasa kasihan, karena dia harus menjalani hidupnya di kursi roda atau karena dia tidak bisa berlari atau bermain bola. Dalam banyak kasus, seseorang ibu hamil mungkin mengelus perutnya atau orang lain berkomntar penuh keprihatinan. Ini adalah suatu bentuk Ableisme- menunjukkan reaksi negatif kepada anak karena dia ABK.
Sejak demokratisasi Indonesia pada awal 1990-an, sistem pendidikan Islam terus menjadi lebih populer, terutama dengan berkembangnya kelompok muslim kelas menengah profesional yang sedang mencari arah moral untuk pembelajaran dan pengembangan anak-anak mereka. Meningkatnya jumlah sekolah Islam adalah cerminan dari meningkatnya minat kelas menengah Indonesia bagi anak-anak mereka untuk tidak hanya belajar pengetahuan praktis dan sekuler, tetapi juga dilengkapi dengan nilai-nilai dan etika agama dengan baik. Data dari Kementerian Agama melaporkan bahwa pada tahun 2010 terdapat sekitar 46.369 madrasah di tingkat dasar dan menengah dan sekitar 52 Universitas Islam Negeri dan sekitar 557 universitas Islam swasta.
ABK menghadapi tantangan ableisme yang lebih besar di sekolah daripada di tingkat perguruan tinggi. Yang pertama adalah masalah aksesibilitas fisik. Meskipun Pemerintah Indonesia meratifikasi UNCRPD pada tahun 2007 dan memberlakukan beberapa undang-undang untuk menjamin hak-hak penyandang disabilitas atas pendidikan, belum ada tindakan untuk mengimplementasikan kebijakan, misalnya, melalui fasilitas fisik yang diadaptasi di sekolah-sekolah Islam. Banyak gedung sekolah dan madrasah serta asrama pesantren adalah gedung bertingkat di tanah yang tidak seberapa luasnya, sering dibangun sampai tiga atau empat lantai. dana pengelolaan yang tersedia terbatas, mayoritas hanya dari pengasuh sendiri, berarti pemasangan jalur landai dan lift masih langka. Ini membatasi mobilitas fisik siswa ABK dari dan pergi ke kelas.
Ableisme dalam bidang sarana dan prasarana sering terjadi pada anak-anak dengan difabilitas fisik daripada ABK tunarung, tunalaras atau tuna grahita karena lingkungan yang dibangun tidak dapat diakses. ABK tunadaksa maupun tunanetra secara tidak sengaja, dianggap tidak ada eksistensinya ketika fasilitas yang dibangun tidak memenuhi kebutuhan mereka. Pengelola lembaga pendidikan umum bukan lembaga pendidikan khusus ABK semisal SLB maupun pondok khusus tunanetra; jarang sekali yang sejak pembangunan awal gedung sudah mempersiapkan kemungkinan adanya siswa difabel sehingga tangga, fasilitas MCK dan fasilitas penunjang lain tidak dibuat aksesibel.
Peran Pesantren
Ajaran Islam dalam kaitannya dengan nilai-nilai pendidikan yang diajarkan jauh lebih luas daripada model pendidikan sekuler standar di Indonesia yang tertanam dalam individualisme liberal. Sistem pendidikan pesantren bertujuan untuk membentuk nilai-nilai moral dan agama dengan tujuan akhir membangun karakter siswa. Salah satu ajaran utama dalam sistem sekolah Pesantren adalah nilai kesamaan semua umat manusia, dan bahwa setiap orang memiliki kewajiban moral untuk kesetaraan akses bagi semua siswa. Pengasuh PP. As-Saidiyah 2 Bahrul Ulum, Ibu Nyai Umdatul Choirot menyatakan bahwa setiap santri yang ingin belajar harus didukung secara aktif untuk melakukannya dan diterima. Ini termasuk juga ABK, kebetulan ponpes beliau pernah menerima ABK mental.
Nilai kedua yang memandu pendidikan Pesantren adalah bahwa kecerdasan akademik tidak boleh menjadi satu-satunya bentuk kecerdasan yang istimewa. Sebaliknya, ada bentuk-bentuk kecerdasan lain yang harus dihargai dan diakui secara setara. Sebagai contoh, pengasuh PP. Nurul Quran membuka diri dan menerima sejumlah anak autis dan gangguan mental lainnya untuk secara intensif diajari mengaji Alquran, meski kemampuan akademik ABK tersebut tidak maksimal pada pendidikan formal yang berkurikulum normal, karena sebagai guru agama mengharuskannya untuk mendukung siswa untuk mengeksplorasi kemampuan dan potensi mereka di luar pembelajaran akademik umum.
Beberapa motivasi untuk praktik inklusif semacam itu dibingkai melalui sistem penghargaan, yaitu hadiah yang akan mereka terima untuk mendukung ABK dalam pendidikan agama. Oleh karena itu, beberapa dukungan yang diberikan, walaupun kadang kurang efektif, sering dimotivasi oleh keinginan guru agama untuk melakukan ‘perbuatan baik’ demi kehidupan akhirat mereka.
Pesanten dan lembaga pendidikan Islam menawarkan potensi signifikan untuk mempromosikan pendidikan inklusi dan memerangi ableisme. Pemerintah Indonesia perlu mengakui, dan membangun, modalitas sosial dan keagamaan ini sebagai platform dasar untuk mempromosikan pendidikan inklusif bagi semua.