Tepat pada pukul 01.00 WIB senin (30/2) dini hari, smart phone saya berdering. Kriiing!!! Kriiing!!! Kriiing!!! Sebuah pesan di WA masuk. Tapi saya abaikan untuk sementara. Maklum, saya sedang makan mie instant rebus plus telor pakai saus buatan teman saya, Mukti Ali, seorang wartawan media online lokal.
Saya yang setiap harinya lembur sampai pagi dan mengamati dunia online tanah air, tentu ada alasan yang lebih manusiawi untuk mengabaikan sementara pesan itu: perut keroncongan. Dulu, kata teman, logika tanpa logistik tak jalan. Pun demikian, lagi enak-enaknya makan menuju kenyang kok ada pesan, tentulah semantara saya abaikan. Lagi pula, siapa dan untuk apa jam segini kirim pesan? “Paling orang kurang kerjaan,” pikirku.
Usai kuah panas terakhir saya habiskan, meneguk air putih lalu menyalakan sebatang rokok, layar smart phone saya sentuh. Waktu sudah menunjukkan pukul 02. 59 WIB. Wow!, agak surprise! Ternyata yang dari Mas Hamid. Nama lengkapnya Dr. Abdullah Hamid. Ia dosen UIN Sunan Ampel Surabaya, Pengurus RMI PBNU, sekaligus founder Dunia Santri Community (DSC), sebuah jejaring santri dari berbagai latar berlakang dan lintas daerah, di dalam maupun luar negeri. Saya mengenalnya sejak masih culun menyanyikan mars IPNU dengan jaz abu-abu.
“Lagi baca-baca menemukan tulisanmu,” tulisanya, dengan menyertakan link tulisan dari NU Online berjudul Mengenal Lebih Dekat KH Said Aqil Siroj.
“Tulisan lama, Gus,” balasku, dengan emoji ketawa geli.
Apakah sedini hari itu ia mengirim pesan hanya ingin menunjukkan tulisan lamaku? Tentu tidak. Mantan ketua PC IPNU Pati ini memintaku untuk menulis di portalnya: pesantren.id. Menulis? Sebuah hal yang saya suka tapi sudah lama tak saya lakukan. Beberapa tahun terakhir ini memang saya fokus bermain-main video.
“Insya Allah. Tentang apa, requesnya? Maklum, saya kayak asongan, apa aja kadanga tak tulis,” balasku.
“Yang paling banyak dicari orang itu ada dua: satu humor, dua khutbah jumat,” kelakarnya, dengan emoji ketawa plus air mata.
“Doa bayar hutang, doa cari jodoh dan doa cepat kaya,” balasku, yang tahu bagaimana trend searching bekerja. “Kalau khutbah ampun, saya.”
“Nulis apapun dari kamu akan saya muat.”
“Wahhhh, suatu kehormatan. Semoga bisa,” balasku dengan emoji ketawa.
Dakwah Santri di Dunia Digital
Kemudian kami banyak membincang seputar perkembangan dakwah santri di media digital. Meski memakai chat di WA, tak banyak mengalami kesulitan. Hanya berapa puluh bentar, banyak hal yang bisa kami obrolkan. Ini karena frekuensi kami banyak kesamaan: santri, alumni IPNU, dan tertarik dunia dakwah digital.
Ada banyak hal sebenarnya yang mesti kita – para santri atau alumni pesantren – kerjakan demi kedaulatan santri di dunia maya, yang nampaknya hari ini masih kedodoran. Tapi tidak semuanya akan saya ulas di sini. Mungkin butuh pertemuan yang sedikit intim sambil menyeruput kopi di suatu tempat yang dingin, di Kepanjen, misalnya, tempat Gus Dhofir membolak-balik tumpukan kitab-kitab tak berharakat itu. Semoga saja, pasca wabah corona berkahir, pertemuan itu segera terjadi.
Saya hanya ingin mengatakan tiga hal tentang peran dakwah kaum santri yang masih kurang di dunia maya, khususnya bidang yang beberapa tahun ini saya geluti: youtube. Saya berharap, dengan Mas Hamid dkk bisa mendinamisasikan pesantren yang selama ini sudah berjalan, untuk lebih ditata kembali agar lebih – ghosob istilah Pak Prabowo – TSM: Terstruktur, sistematis dan massif.
Pertama, konten ilmu dasar keagamaan. Sebagai santri, khususnya santri NU, jarang yang menyiapkan konten ini. Kebanyakan lebih tertarik isu-isu radikalisme, kebangsaan, sampai hal-hal yang melangit, yang itu jarang dikonsumsi kebanyakan masyarakat awam. Meski itu penting, tak semestinya ada di situ semua. Mungkin karena ilmu dasar keislaman dianggap pelajaran ibtidaiyyah atau awaliyyah, sehingga santri jarang yang memikirkan. Atau mungkin karena memang kita selalu telat dalam urusan “akhdzu bil jadidil ashlah”, dibanding “muchafadzah ala qadiimish shaalih,” yang pembelaanya kadang sampai otot-otot keluar. Tapi tak masalah. Lebih baik telat daripada telat banget.
Kita semua para santri mesti tahu bahwa di antara buku terlaris di Indonesia adalah buku tata-cara shalat lengkap. Video-video tutorial wudlu ditonton jutaan orang. Ilmu-ilmu dasar keislaman seperti soal penjelasan rincian Iman, Islam, Ihsan, begitu banyak dicari orang-orang, khususnya bagi mereka yang tak dapat akses madrasah atau pesantren. Belum doa-doa. Itu ada, tapi kebanyakan dari “minhum”. Lebih-lebih, dukungan teknis mereka begitu canggih, sehingga terlihat elegan dan modern. Inilah salah satu tugas kita para santri, untuk mengisi ruang dakwah yang belum banyak kita diisi.
Kedua, merespon isu terkini. Kita juga butuh anak muda yang bisa merespon persoalan dengan jernih, yang tentu dengan gaya anak muda milenial sekarang. Saya kira anak-anak DSC atau jejaring kita punya banyak potensi untuk ini. Bahkan, tak hanya soal keagamaan dalam arti harfiah. Apa pun mesti kita bahas selagi itu menjadi kebutuhan masyarakat. Sudah saatnya santri tidak hanya bicara soal santri dan NU saja, tetapi bicara apa saja yang digelutinya, dikuasainya dan yang menjadi passion-nya, sehingga perannya lebih terasa. Soal trik dan teknisnya bagaimana, tentu bukan di sini penjelasannya.
Ketiga, kolaborasi. Kolaborasi ini penting, baik sesama santri, antar santri dari beda pesantren, maupun santri dengan non-santri, agar bisa saling memberi benefit. Terkait hal ini, almarhum Gus Dur telah meneladankan kepada kita, bahwa sebagai santri kita mesti kosmopolit, yang terbuka dengan hal-hal baru dari luar, selagi itu baik. Tentu ini bukan sebatas pemikian dan wacana keagamaan saja. Jauh dari itu, dunia hari ini adalah dunia digital dan kolaborasi. Soal apa? Ya soal apa saja: pendidikan, ekonomi, politik, kesehatan, dan seterusnya. Misalnya, mulai dari bagaimana agar santri memiliki skill, sampai dari siapa jutaan peci, sarung dan kerudung mereka beli. Mampukan pesantren – dalam naungan NU ini – menjadi sebuah korporasi? Atau setidaknya, membuat konten lebih-lebih event organizer yang mampu menarik hati milenial mencercap dunia sufi di tengah kegersangan digital? Sehingga kekeringan spiritual dapat teratasi, dengan shalawat misalnya, yang kini pun sudah banyak dilirik non-santri.
Dari itu semua, kita para santri memang butuh banyak kumpul ngopi dan diskusi. Tidak untuk kangen-kangenan: mengenang masa silam, susah-senang di bilik pesantren. Tetapi untuk berpiki dan merumuskan hal-hal yang perlu dikerjakan ke depan. Semoga saja, sebagaimana penjajah kedatangan ramadhan di masa kemerdekaan, wabah corona ini lekas pergi meninggalkan hikmah dan kemanusiaan. Demikian tulisan mukadimah di pesantren.id ini. Terima kasih untuk Mas Hamid, atas kepercayaannya. Semoga saya bisa terus menulis, sampai tak bisa lagi menulis.