Perbincangan mengenai fikih dan sains akan terus berkembang apalagi di era global dan modern ini, akan sangat menarik jika kita mampu memahami pertautan antara keduanya.
Secara etimologis, kata fikih memiliki beberapa arti di antaranya adalah pengetahuan, pengertian dan pemahaman. Di dalam Alquran sendiri, kata fikih dalam bentuk kata kerja disebut sebanyak 20 kali dalam 12 surat dan 20 ayat. Kesemuanya berkenaan dengan konteks pembicaraan soal-soal keagamaan.
Ditinjau dari perspektif historis, terma fikih ini pada mulanya sangat luas sehingga bisa dimaknai sebagai pengetahuan dan pemahaman yang mendalam (profound) mengenai sesuatu hal. “Sesuatu hal” pada sisi ini sains pun bisa dikategorikan sebagai fikih. Namun lambat laun terma fikih ini menyempit menjadi masalah-masalah hukum, bahkan lebih sempit lagi yaitu pada literatur hukum”. Sehingga fikih didefinisikan secara terminologis sebagai pengetahuan tentang hukum-hukum syariat yang bersifat furuk (cabang) yang digali (secara langsung) dari dalil-dalil syar’i yang terperinci. pada sisi ini, sains tidak bisa dimaknai sebagai fikih.
Perdebatan kemudian muncul di kalangan para ulama terkait koherensi epistemik antara fikih dan sains. Kondisi ini misalnya ditandai dengan adanya penolakan sejumlah ulama fikih terhadap teori evolusi darwin karena di nilai bertentangan dengan agama.
Jika di telisik lebih dalam, untuk memahami pertautan fikih dan sains kita bisa melihat nya dengan dua model dasar, yaitu, model integrasi dan model non-intergrasi.
Pada model yang pertama pertautan fikih dan sains sangatlah elastis, dengan tidak menafikan posisi diantara keduanya. Kita bisa melihat keduanya saling tali-temali satu sama lain sebagaimana tergambar pada proses penentuan kalender qomariyah (lunar calender), lebih jauh lagi kita bisa temukan relasi keduanya dalam bentuk aplikasi berbasis teknologi informasi modern, mulai dari kompas digital hingga penemuan arah kiblat melalui global positioning system (GPS) dll. Bentuk pertautan antara fikih dan sains seperti ulasan di atas terbukti memberikan kontribusi besar dalam perkembangan keilmuan islam.
Sedangkan pada model yang kedua, posisi fikih terlihat sangat ketat jika disandingkan dengan sains, fikih lebih banyak diunggulkan jika bertentangan dengan sains, sikap independen fikih terhadap sains terlihat saat produk sebuah hukum di dasarkan pada kausa/ illah, contoh yang paling mudah kita dapati misalnya terkait dengan illah kebolehan qashr, dalam sudut pandang fikih,
Tolak ukur yang absah bagi kebolehan qashr adalah perjalanan jauh (safar thawil) dengan jarak tempuh minimal 89 km,tolak ukur ini di pandang objektif jika bandingkan dengan faktor kepayahan (masyaqoh)yang bersifat relatif subjektif, pada poin ini fikih sama sekali tidak terpengaruh dengan kemajuan teknologi transportasi yang lebih canggih saat ini, seperti pesawat terbang kereta api dan lain-lainnya, yang sebenarnya telah menata ulang pola pola perhitungan lama terkait persoalan jarak tempuh dan waktu.
Dari kedua model di atas tentu masih banyak lagi turunannya yang setiap saat terus berkembang dalam diskursus fikih kontemporer. [HW]