Knowledge is power. Information is liberating. Education is the premise of progress, in every society, in every family. (Kofe Annan)

Pendidikan itu mencerdaskan, karena pendidikan bisa menjadikan insan cerdas seutuhnya (intelektual, emosional, sosial, spiritual dan kinestetik), Pendidikan itu memanusiakan manusia, karena pendidikan bisa menjadikan manusia terangkat derajat dan martabatnya.

Pendidikan itu membebaskan, karena pendidikan bisa memfasilitasi individu untuk mewujudkan rasa ingin tahu dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif secara optimal.

Kita menyaksikan praktek pendidikan di Indonesia dari jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi masih cenderung memandang peserta didik sebagai objek pendidikan, penerima ilmu dari pendidik. Walaupun kebijakan pendidikan sebenarnya terus mendorong peserta didik sebagai subjek.

Dalam posisi seperti ini, Paulo Freire menclaimnya sebagai praktek Banking Education. Pendidikan menjadikan peserta didik sebagai penerima dan penyimpan informasi atau ilmu, bukan kreator informasi atau ilmu. Para peserta Didik belajar materi yang dikembangkan pendidik yang dirujuk dari dokumen kurikulum, tanpa memberikan kemungkinan sumber lain yang boleh jadi bisa lebih kaya.

Paradigma baru yang seharusnya dikembangkan adalah Problem-posing Education yang menekankan pentingnya peserta didik sebagai subjek pendidikan. Para peserta didik memiliki potensi unik dan personal curiousity yang perlu difasilitasi untuk bisa berkembang. Kondisi ini memperkuat asumsi munculnya pendidikan yang membebaskan, Education for Liberation atau Liberating Education. Pendidikan yang membebaskan sangat memungkinkan potensi kreativitas dan inovasi muncul dan dikembangkan. Matching dengan misi Revolusi Industri 4.0 atau Society 5.0 yang sangat menuntut hadirnya berbagai inovasi.

Pendidikan yang membebaskan memiliki berbagai atribut yang sangat menakjubkan. Kondisi ini memungkinkan peserta didik mendapatkan kepercayaan diri yang diperlukan untuk ambil inisiatif, memecahkan masalah, dan merumuskan ide-ide solusi.

Baca Juga:  Riwayat dan Kenangan Kiai Moenawir Krapyak

Berkenan dengan itu peserta didik perlu sekali mengembangkan keterampilan bahasa, keterampilan belajar dan keterampilan kepemimpinan. Demikian juga mereka perlu melengkapi belajar budaya dan sejarah nasional dan dunia, matematika dan saintek sebagai kemampuan dasar untuk menghadapi persoalan yang muncul.

Menurut Bell Hooks bahwa mendidik sebagai praktek pembebasan merupakan suatu bentuk aktivitas pembelajaran yang membuat hubungan pendidik dan peserta didik saling melekat dan menyenangkan. Dalam prakteknya kedua pihak bisa saling berbagi dan berkontribusi dalam membangun pengalaman belajar. Terutama bagi peserta didik, tidak hanya diajar informasi yang diharapkan, namun yang jauh lebih penting adalah mereka belajar berpikir kritis, berpikir divergen, dan tidak berpikir konformis. Sedangkan pendidik/guru tidak hanya menyampaikan materi pelajaran, melainkan juga sharing pertumbuhan intelektual dan spiritual.

Untuk mengimplementasikan pendidikan yang membebaskan tidak hanya aspek akademik, tetapi juga aspek manajerial pada berbagai tingkatan dan institusi pendidikan (sekolah/madrasah). Selanjutnya untuk menjamin keabsahan pendidikan yang membebaskan, sangat penting didukung oleh iklim demokratis dan pembelajaran yang membebaskan. Pembelajaran yang memungkinkan berpikir evaluatif, kritis, kreatif dan inovatif mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya dengan bertumpu pada nilai-nilai karakter positif.

Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A.
Beliau adalah Guru Besar dalam Bidang Ilmu Pendidikan Anak Berbakat pada Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta. Ia menjabat Rektor Universitas Negeri Yogyakarta untuk periode 2009-2017, Ketua III Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) masa bakti 2014-2019, Ketua Umum Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia (APPKhI) periode 2011-2016, dan Ketua Tanfidliyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DIY masa bakti 2011-2016

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Berita