Opini

Paradoks Disabilitas dan Kekerasan Seksual, Bagaimana kita menyikapinya?

Kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Agus alias Iwas masih menjadi headline diberbagai media sosial. Sampai saat ini (15/12/2024) pemberitaan masih masif dilakukan oleh media mengingat korban kekerasan seksual semakin bertambah menjadi sekitar 19 orang. Berita Agus alias Iwas menarik perhatian publik karena merupakan penyandang disabilitas daksa dengan keterbatasan tangan. Lalu bagaimana kita menyikapinya?

Hal yang pertama kali muncul dalam pikiran kita adalah “kok bisa? Apa iya dia melakukannya? Bagaimana dia melakukannya?” Beberapa pakar dan pengamat sudah memberikan jawaban melalui vidio yang tersebat di media sosial. Hanya saja masyarakat memandang bahwa kasus ini seolah bertentangan dengan pendapat umum karena faktanya (berdasarkan bukti) pelaku kekerasan seksual adalah penyandang disabilitas.

Sebab itu yang perlu kita sepakati bersama adalah bahwa kasus kekerasan seksual sangat kompleks. Maksudnya adalah pelaku kekerasan seksual tidak mengenal identitas seperti disabilitas atau bukan disabilitas, dan tidak mengenal profesi seperti guru, dosen, karyawan, penceramah agama, PNS, dan lain sebagainya, semua bisa menjadi pelaku kekerasan seksual.

Baca juga: Mencerna Habitus Anti Kekerasan Seksual

Paradoks

Kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh disabilitas menjadi paradoks. Ternyata ada segelintir penyandang disabilitas yang menjadi pelaku kekerasan seksual di tengah masifnya perlindungan disabilitas yang menjadi korban. Semestinya hal ini akan membuka mindset kita tentang kompleksitas pelaku kekerasan seksual dan lebih bikal dalam menyikapinya.

Kasus Agus alias Iwas membuktikan bahwa penyandang disabilitas bisa melakukan aksi bejat yang mengingkari amanat Undang-Undang. Paradoks kekerasan seksual yang dilakukan oleh penyandang disabilitas akan membuat vis a vis penyandang disabilitas dan hukum, yaitu:

Pertama, Kekerasan seksual merupakan tindak pidana yang diatur oleh UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Uniknya, didalam Undang-Undang tersebut banyak menyinggung kelompok yang rentan menjadi korban kekerasan seksual seperti penyandang disabilitas (Lihat Bab V). Jika pelaku kekerasan seksual adalah penyandang disabilitas maka ia memiliki tanggung jawab atas tindakannya yang berlawanan dengan amanat Undang-Undang karena merugikan orang lain baik secara fisik atau non fisik.

Baca Juga:  Kini Tubuhku, Bukan Milikku Lagi

Kedua, adanya jaminan dan perlindungan hak disabilitas dalam tindakan hukum sebagaimana amanat dari UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Artinya meskipun disabilitas menjadi pelaku dan tersangka tindak pidana maka negara memiliki kewajiban untuk menjamin kelangsungan hak-haknya dengan dalil kelompok rentan rentan.

Baca juga: Mengapa Kita Harus Menghormati Penyandang Disabilitas?

Menyikapi secara komprehensif

Kasus Agus alias Iwas ini adalah paradoks. Bahkan termasuk kasus yang rumit karena menyangkut identitas sebagai kelompok rentan. Hanya saja kita harus menyikapi kasus ini secara komprehensif yaitu dengan 2 pendekatan yaitu dengan cara keadilan, dan non diskriminasi.

Pendekatan keadilan membantu kita untuk lebih bijak dalam menangkap suatu kasus. Bahkan Islam menuntut dalam suatu kasus supaya diselesaikan dengan adil (fa ashlihuu bainahumaa bil ‘adli). Keadilan dalam kasus ini adalah bahwa bersikap proporsional terhadap pelaku penyandang disabilitas atas tindakannya.

Tindakan Agus alias Iwas merupakan tindakan yang amoral dan menyalahi aturan negara. Oleh karena itu sudah semestinya Agus di tuntut dengan hukuman yang seadil-adilnya. Hal ini sebagaimana asas hukum yaitu “equality before the law” yang terepresentasikan dalam pasal 27 ayat (1) yakni setiap warga sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah wajib menjunjung hukum tersebut tanpa adanya pengecualian.

Pada satu sisi, yang perlu kita ingat yaitu adil secara proporsional. Maksudnya adalah kita tetap menjaga hak disabilitas ketika berhadapan dengan hukum, seperti memberikan akses untuk bantuan hukum dan memberikan akomodasi berupa pelayanan, sarana, dan prasarana. Pemberian hak ini merupakan bagian dari keadilan yang berprinsip inklusif. Kita semua harus memastikan bahwa keadilan untuk semua pihak, baik korban ataupun pelaku harus terjamin hak-haknya.

Baca Juga:  Bus, Warna Kulit dan Semangat Perlawanan

Pendekatan non diskrimininasi adalah bahwa penyandang disabilitas mendapatkan perlakuan yang tidak menyudutkan selama berjalannya proses hukum. Islam juga mengajarkan larangan diskriminasi khususnya terhadap keterbatasan seseorang (lihat Q.S ‘Abasa (80): 1-6). Kemudian pasal 6 PP Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan juga menegaskan larangan diskriminasi terhadap disabilitas.

Dalam kasus ini, kita tidak boleh berbuat diskriminasi terhadap pelaku yang disabilitas yaitu melakukan ableisme terhadap keterbatasannya. Kita harus sama-sama memahami bahwa yang dituntut adalah tindakannya, bukan orangnya. Karena sejatinya harkat dan martabat semua masusia harus tetap dijaga.

Dua pendekatan ini sekiranya menjadi sikap kita ketika menghadapi permasalahan yang paradoks terkhusus yang berkaitan dengan disabilitas dan kekerasan seksual. Pendekatan ini setidaknya mengajarkan kita untuk bersikap kritis dalam mengamati kasus yang paradoks. Dengan sikap adil dan non diskriminasi kita belajar untuk lebih bijak, berusaha bersikap adil dan non diskriminasi tanpa menghilangkan hak asasi. [MFN]

Mohammad Fauzan Ni'ami
Mohammad Fauzan Ni'ami, akrab disapa Amik. Seorang santri abadi pegiat isu Hukum Keluarga Islam, disabilitas, dan gender.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini