“Ono Rendeng..”
“Ono Ketigo…”
(Adakalanya musim penghujan datang. Adakalanya musim kemarau menggantikan)
Demikian bunyi tulisan dalam sepucuk surat yang dikirimkan oleh KH Abdulloh Salam kepada keponakannya, KH Sahal Mahfudh. Saat itu Sahal muda sedang mondok di Pare, Kediri. Usai menamatkan pendidikannya di Perguruan Islam Mathali’ul Falah.
KH Abdulloh Salam adalah paman yang menjadi pengampu atau wali bagi sahal muda, semenjak abah-ibunya wafat, ketika beliau masih berusia 11 tahun. Sang Ibu, Nyai Badi’ah wafat hanya berjarak 10 bulan dari sang suami, KH Mahfudz Salam. Jadilah Sahal muda, yatim piatu pada usia 11 tahun.
Sang pamanlah yang setiap bulan mengirimkan uang saku untuk kebutuhan kesehariannya di pesantren. Surat tsb datang bersama dengan uang saku yang dikirimkan dengan jumlah kurang dari biasanya. Kiai Abdulloh Salam mengirimkan uang bulanan beserta sebaris kalimat yang cukup berkesan. Walau hanya seruntut kata, Sahal muda memahami betul apa arti pelajaran dan hikmah yang hendak disampaikan oleh sang paman.
Hidup ini memang harus dilalui dengan keteguhan dan ketulusan. Hujan dan badai, musim hujan ataupun kemarau bukan halangan dalam perjuangan. Seberapapun kemampuan finansial yang dimiliki, atau seberapapun kesusahan dan kebahagiaan yang didapat, tekad dalam berjuang tetap harus digelorakan.
“Ono Rendeng, Ono Ketigo…” demikianlah semestinya seseorang memahami daur kehidupan. Perpindahan musim adalah kesemestian. Namun demikian, niat mencari ilmu, niat berkhidmah dan niat perjuangan, tak boleh lekang hanya karena perubahan iklim dan arah angin.
“Ono Rendeng.. Ono Ketigo…”, Terus terang saya terharu, setiap kali Kiai Sahal menceritakan sebaris surat itu dalam beberapa kali kesempatan menemani beliau berbincang. Lalu saya tambahkan penafsiran sebaris kalimat tersebut dalam perenungan saya sendiri,
…
“Yen tumibo wektunè melimpah ruah, ojo gumede lan kakean bebungah..
Yen tumeko mangsanè ketigo, ojo kakean sambat lan gampang menyerah.”
…