KUDUS –Nur Said, dosen IAIN Kudus resmi menyandang gelar Doktor dari UIN Walisongo Semarang, setelah berhasil mempertahankan disertasinya dalam ujian terbuka Promosi Doktor pada Selasa (4/7/2023) lalu.
Kajian disertasinya berjudul “Struktur Filsafat Islam Jawa dalam Ngelmu dan Laku R.M.P. Sosrokartono” itu, mendapatkan apresiasi positif para penguji dan tamu yang hadir, mengingat salah satu temuannya di samping menformulasikan bangunan filsafat khas Islam Jawa Sosrokartono -yang tak lain kakak kandung RA Kartini- juga ada serpihan kode etik politik kemengan yang relevan dalam menghadapi Pemilu 2024.
“Setiap pemilu digelar, di situ sering muncul kerawanan konflik social-horizontal yang mengkhawatirkan ketahanan keamananan bangsa. Pesta demokrai yang sering berkiblat pada Barat, seringkali tak selaras dengan identitas lokal di Indonesia, maka perlu memanfaatkan kesadaran budaya dan kecerdasan budaya sebagai solusinya,” ujarnya.
Menurutnya, Sosrokarono yang dikenal sebagai guru spiritual Ir Soekarno (Presiden I RI), dalam berbagai surat-suratnya berpesan pentingnya menang tanpo ngasorake (menang tanpa merendahkan).
“Pesan ini ternyata bersayap, karena dalam pesan yang lain ia juga menegaskan pentingnya: Menang tanpa mejahi, tanpa nyakiti; menang, tan ngrusak ayu, tan ngrusak adil. Yen unggul, sujud bakti marang sesami”. (Menang tanpa “membunuh”, tanpa menyakiti, merusak keindahan dan merusak keadilan. Kalau unggul/ menang tunjukkan dengan berbakti kepada sesama),” ujarnya.
Dia mengemukakan, pesan-pesan Sosrokartono bersifat universal. Jika dihubungkan dengan pemilu, bukan saja ketika KPU telah mengumumkan siapa pemenangnya. Kemenangan lebih merupakan sikap kejiwaan seseorang, yang menyangkut integritas dan karakter individu dalam berkontestasi.
“Kemenangan bisa diperoleh pra pemilu, saat pemilu dan pascapemilu. Kemenangan sebelum pemilu adalah ketika para kontestan siap menang tanpa mejahi tanpa nyakiti. Jangan sampai sebelum pemilu dimulai terjadi pembunuhan (mejahi) karakter seperti kampanye hitam (black campaign) dan berbagai ragamnya melalui para buzzer dan sejenisnya. Pola-pola seperti ini tentu menyakitkan bagi yang menjadi korban pembunuhan karakter,” katanya.
Lebih lanjut dijelaskan, bahwa kontestan pemenang sesunggunya adalah yang berani kalah. “Sosrokartono mengatakan, durung menang yen durung wani kalah (belum pemenang sejati kalu belum berani kalah). Artinya, untuk meraih kemenangan harus siap jatuh bangun melalui proses panjang, proses pengkaderan berjenjang, tidak ujug-ujug nyalon dengan modal uang langsung jadi,” bebernya.
Pun ketika pemilu berlangsung, menang tan ngrusak ayu, tan ngrusak adil juga perlu ditonjolkan. “Artinya, kemengangan kalau dilalui dengan ketidakjujuran, misalnya dengan kesaksian palsu, kecurangan dan lainnya. Kalau hal ini, terjadi berarti prosesnya telah merusak keadilan (adil),” tegasnya.
Maka menurut Nur Said, Menang tanpo ngasorake merupakan kode etik moderasi dalam politik kemenangan. “Yang menang tidak merasa berbangga dan menonjolkan diri, sedang yang kalah tidak berkecil hati dan merasa terhina. Dengan demikian, kemenangan tetap akan menumbuhkan kekeluargaan, kehangatan dan kasih sayang,” terangnya. (red)