Ulama

Ngulama atau Ulama ?

Berangkat dari judul tersebut rasanya saya bisa disindir bahkan didebat oleh mereka yang pakar atau paham tentang kaidah transliterasi. Tapi sebelum itu terjadi memang lebih baik menengok apa dasar penulis menuliskan kalimat tersebut, dan dalam hal ini terkait nomenklatur Ngulama.

Bila kita menilik dalam tulisan para ahli untuk menuliskan kata terjemahkan yang berarti orang berilmu pasti akan menemukan mereka menggunakan ulama. Dalam tulisan kali ini saya tidak ingin serius, dan coba santai saja ala kebiasaan kader-kader NU yang selalu selow menanggapi realitas yang beredar tanpa gegabah atau bahsanya santrinya Kagetan.

Dulu istilah ulama dicirikhaskan seseorang yang memiliki kapastitas keilmuan yang berkaliber atau malah bercabang ( multidisiplin ). Seorang ulama adalah mereka yang menjadi rujukan bagi umat dalam meminta pendapat atas satu hukum tertentu atau untuk menafsiri keadaan sosial yang sedang terjadi. Mari kita sedikit menengok kebelakang seberapa kaliberkah ulama pada masa itu?.

Imam Abu Hanifah An-Nu’man adalah seorang ulama yang secara keilmuan beliau dijuluki “Mujtahid Mutlak”.  Pada masanya ia ibarat pedang sunnah yang siap menghunus leher kaum Mu’tazilah. Ia juga dikenal sebagai teolog, pakar fikih, dan yang lain.

Imam Malik sang mata air madzab Maliki yang pada usia 17 tahun sudah memberikan pengajaran kepada masyarakat, yang mungkin bila dikaitkan dengan saat ini, anak seusia remaja itu masih sibuk dengan cinta yang tidak jelas juntrungnya. Imam Malik dikenal sebab karya monumentalnya berjudul Al-Muwatha yang Ia susun selama 40 tahun dan di tashihkan kepada puluhan pakarnya.

Imam Syafi’i sang empu madzab Syafi’iyah yang memiliki kecerdasan diatas manusia normal, dalam usianya yang baru menginjak 7 tahun beliau telah hafal Al-Qur’an yang mungkin bila kita bandingkan dengan generasi saat ini, di usia itu anak-anak masih belajar membaca. Tak hanya itu, di usia 10 tahun beliau sudah hafal kita Al-Muwatha karya Imam Malik si empunya madzab Maliki.

Baca Juga:  Keluarga Ulama Rujukan dan Jujugan Ulama Nusantara di Makkah

Imam Abu Hanbali adalah ulama berkaliber selanjutnya, beliau yang nanti pemikirannya menjadi satu madzab baru bernama Hanabilah adalah ulama berkaliber selanjutnya. Keilmuan beliau tak diragukan lagi, pasalnya sejarah mencatat bahwa dirinya pernah berguru kepada lebih dari 300 ulama dan Ia dikenal sebagai Penghafal Hadits, sebab ia hafal satu juta hadits

Keempat contoh tersebut adalah salah satu bukti sejarah tak terbantahkan bahwa ulama adalah mereka yang kadar keilmuannya sangat tinggi dan atas dasar itu mereka disebut sebagai ulama atau Mujtahid Madzab.

Kembali ke persoalan tadi, sengaja penulis menggunakan istilah ngulama bukan berniat untuk melecehkan para ulama yang amat kita ta’dhimi, tapi lebih kepada kalau meminjam istilah santri biasa disebut gojlokan pada mereka yang tak jelas juntrung keilmuannya lalu dengan renyahnya menyebut dirinya ulama atau biasa kita temui mereka dengan santainya udah membid’ahkan, menyalahkan, mengecap kafir mereka yang tak sepaham dengan golongannya.

Peristiwa semacam ini sangat jelas kita saksikan dan rasakan saat ini, kaum yang entah darimana asalnya tak hanya mudah mengkafirkan orang, namun juga seolah dirinya hebat yang bahkan semua mampu menjawab pertanyaan dari berbagai bidang keilmuan dan dilahapnya dengan tanpa beban seolah dirinya adalah pakar lintas disiplin ilmu.

Lebih dari pada itu, semakin berkembangnya media turut menjadi para ngulama itu semakin lancer berselancar meyebarkan pahamnya yang tak jelas keilmuannya itu. Sehingga dengan cepat membikin kebingungan serta kgeaduhan di jagat media.

Sebut saja ust KB ( inisial ) yang dengan entengnya mengatakan bahwa sungkem ( saliman cium tangan ) kepada orang tua adalah perbuatan syirik karena disamakan dengan sujud atau menyembah. Sontak pernyataan demikian turut menciptakan bara pertengkaran dalam diri umat, pasalnya selama ini tradisi sungkem memang menjadi satu kebiasaan yang tak bisa ditinggalkan sebagai wujud sopan santun terhadap orang tua.

Baca Juga:  Ijâzah Syaikh Muhammad b. ‘Alî al-Thabarî al-Makkî (1689–1759) untuk Sultan Banten Muhammad Arif Zainul Asyiqin (m. 1753–1773) dan Jaringan Keilmuan Ulama Banten dan Timur Tengah Abad ke-18 M

Beruntung, tak selang lama dari peristiwa itu Prof Quraish Shihab membikin tulisan yang mengatkan bahwa sungkem kepada kedua orang tua tidak musyrik karena itu bukan menyembah. Pengarang kitab tafsir Al-Mishbah itu mengatakan bahwa yang dinamakan sujud atau menyembah adalah dimana kepala, tangan, lutut, kaki sejajar dengan tanah ( lantai ), sedangkan dalam peristiwa sungkem itu tidak terjadi.

Hal tersebut adalah contoh kecil bagaimana ngulama yang tak jelas datangnya tadi turut menjadi penyebab gaduhnya umat. Sebab masih banyak fatwa yang mereka lontarkan itu tak hanya controversial, bahkan kadang kali terkesan asal-asalan.

Maka penting bagi kita di era yang serba canggih ini kita mengikuti ulama yang sanad keilmuannya jelas bukan mereka yang sok ngulama tapi sanad keilmuannya absurd. Wallahu a’lam bishawab

Teni Maarif
Mahasiswa UIN Raden Intan jurusan Pendidikan Agama Islam semester 7 sekaligus Mu’allim (Pengurus Ma’had Al-Jami’ah UIN Raden Intan)

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Ulama