Suatu hari kebakaran hebat melanda komplek pertokoan kota Baghdad. Api menjalar dengan ganas. Tak satupun yang luput dari amukannya. Semua orang terpana tak bisa berbuat apa-apa untuk memadamkan kobaran api yang terus membesar. Seluruh toko hangus menghitam kecuali satu toko yakni toko milik Syekh Sari as-Saqathi, seorang tokoh sufi terkemuka abad ke-3 dari Baghdad. Mendengar berita bahwa pasar Baghdad terbakar, Syekh Sari as-Saqathi bergegas pergi ke pasar untuk memastikan apakah tokonya terbakar atau tidak. Lalu ada yang memberitahukan bahwa api tidak sampai menjalar ke toko beliau. Mendengar hal tersebut spontan beliau mengucapkan “Alhamdulillah”. Beberapa saat kemudian tiba-tiba beliau terdiam, terpikir dalam benak beliau ”Apakah hanya engkau saja yang berada di dunia ini? Walaupun tokomu tidak terbakar, bukankah toko-toko orang lain banyak yang terbakar? Ucapanmu menunjukkan bahwa engkau bersyukur api tidak membakar tokomu. Tapi bukankah dengan demikian, engkau telah rela toko-toko orang lain terbakar asalkan tokomu tidak?”. Lalu beliau berkata lagi kepada diri sendiri, “Tidak adakah sedikit perasaan sedih di hatimu atas musibah yang menimpa banyak orang, wahai Sari?”. Beliau sadar bahwa ucapannya tadi dapat membuat sakit hati orang lain karena berucap syukur saat orang-orang di sekitarnya tertimpa musibah. Atas ucapan syukurnya yang dianggap sebagai kesalahan, Syekh Sari as-Saqathi menyesalinya dan terus beristigfar kepada Allah selama tiga puluh tahun.
Menurut Plautus, manusia adalah serigala bagi manusia yang lain atau dalam bahasanya ia menyebutkan “Homo Homini Lupus” yang dinterpretasikan bahwa manusia sering menikam sesama manusia lain. Dalam kenyataanya, dunia yang tidak mengenal nilai-nilai moral yang luhur atau nilai-nilai islami akan banyak terjadi konflik di dalamnya. Dunia persaingan yang menghalalkan segala cara untuk bertahan hidup. Saling terjang, saling sikut bahkan jika perlu saling menghabisi. Namun teori dan opini atau pendapat tersebut dibantah secara tegas dalam ajaran Rasul yang mulia. Islam mengajarkan untuk saling menjaga serta saling membantu antar sesama manusia, terlebih sesama mukmin. Rasul bersabda: “Seorang mukmin kepada mukmin yang lain seperti bangunan, dimana sebagian menguatkan sebagian yang lain” atau dalam hadis lain beliau bersabda: “bukanlah seorang mukmin, orang yang kenyang sedangkan tetangganya kelaparan”. Perhatikan bagaimana Islam sangat menjaga keharmonisan hubungan sosial antara manusia dengan manusia yang lain. Dan masih banyak hadis-hadis lain yang berisi anjuran Rasulullah untuk saling menyayangi, menghormati dan menyambung tali silaturahim. Nabi, para sahabat serta generasi tabi’in memberikan contoh interaksi sosial yang luar biasa didasari keimanan dan akhlak yang mulia.
Hampir sejalan dengan konsep Islam, Seneca mencetuskan kalimat “Homo Homini Socius” yang berarti manusia adalah teman bagi sesama manusia, di mana konsep ini menjadi perlawanan konsep homo homini lupus yang dicetuskan oleh Plautus. Manusia sangat membutuhkan satu sama lain dalam berinteraksi dan bersosialisasi atas seluruh kebutuhannya.
Akhiran, kisah di atas adalah salah satu contoh bagaimana para salafus shaleh menjalani kehidupannya. Selayaknya kisah ini menjadi renungan bagi kita untuk terus mengintropeksi diri serta menjaga diri agar tidak melakukan hal-hal negatif khususnya dalam ranah sosial sehingga menjadi tanggungan haqqul adami yang pertanggungjawabannya sangat berat kelak di akhirat.
Walau tak bisa menjadi malaikat, bukan berarti harus menjadi setan.
Wallohu a’lam bi nafsil amri wa haqiqotil haali. [HW]