Nadiem dan Belva dua pahlawan pendidikan kita

Ki Hajar Dewantara memilih di buang ke Belanda untuk belajar setelah artikelnya berjudul ‘andai aku seorang staf khusus’ menjadi viral. Eiit becanda. Yang betul adalah ‘andai aku seorang Belanda.’ Sepeninggal ki Hajar, hanya ada dua orang yang dianggap lebih sukses mengurusi pendidikan. Nadiem Nakarim dan Adamas Belva Syah Devara. Nadiem melalui kesuksesan aplikasi gojek-nya dipilih jadi menteri Menteri Pendidikan. Sementara Belva dipilih menjadi Staf khusus Kepresidenan RI kemudian sukses mengembangkan bisnisnya dalam proyek pelatihan kerja mendidik para penganggur. Meski memaksakan, mari sementara ini kita anggap mereka berdua adalah contoh kesuksesan.

Keduanya memiliki kemiripan, sama-sama sekolah di Singapura dan melanjutkan studi ke Amerika. Subhanallah, seperti takdir keduanya kini menjadi kunci keberhasilan pendidikan di Indonesia. Sepertinya keduanya memiliki trah warisan dari Ki Hajar. Kita bahas satu persatu.

Ki Hajar dan Belva memiliki kesamaan. Ki Hajar merupakan siswa yang cerdas di Stovia oleh sebab itu pemerintah kolonial Belanda memberikan beasiswa untuk melanjutkan ke kelas Kedokteran. Belva juga menerima beasiswa dari pemerintah Singapura untuk melanjutkan ke Nanyang Tecnological University.

Belva lebih beruntung dari ki Hajar, ia mendapatkan penghargaan medali emas dari perusahaan konsultasi bisnis Accenture yang dikatakan terlibat skandal finansial tahun 2014 (Gow, 2018). Sayangnya ki Hajar justru beasiswanya dicabut. Umumnya orang menyebut karena alasan kesehatan–sakit.

Usut punya usut, sejawaran Djoko Marihandono menyebut ki Hajar membacakan puisi tentang Panglima Perang Pangeran Dipenogoro beberapa hari sebelum beasiswanya dicabut. Direksi sekolah takut apabila sekolah tersebut dianggap memberikan beasiswa pada siswa begundal yang anti terhadap pemerintah kolonial. Dalam hal ini tindakan Belva lebih canggih. Disinilah letak kelemahan ki Hajar, ia tidak bisa memproduksi gula dalam lidahnya.

Baca Juga:  Kebijakan Pendidikan Tinggi Masa Pandemi COVID-19

Tentu saja, kalau dimirip-miripkan, Ki Hajar dan Nadiem Makarim ada mirip-miripnya. Ki Hajar selama hidupnya sangat aktif menulis. Ia adalah tonggak utama lembaga pendidikan di Indonesia mencari referensi. Ia orang Indonesia yang menjadi patokan bagaimana cara mendidik anak dari tingkat dasar hingga dewasa. Ia mengambil ilmu psikologi dan filsafat Barat, menemukan persamaannya dalam konsep Syariat hingga Makrifat dalam Islam serta memadukannya dengan nilai-nilai Jawa. tulisannya begitu banyak hingga berjilid-jilid, masing-masing berbicara Pendidikan dan Kebudayaan.

Lalu bagaimana dengan Nadiem?

Setelah ditelusuri di website sekolahnya di Singapura UWC Sea, kemudian di Brown dan Harvard University, alhamdulilah tidak ada jejak karya tulisnya. Namun ditempatnya belajar di kolom Alumni, Nama Nadiem Makarim begitu harum sehingga dipajang di majalah alumni sekolah UWC SEA vol. 9 tahun 2012 dan majalah Harvard Bussiness School 1 September 2016 (padahal keterangan ini tidak ada hubungannya!). Apa artinya riset kalau bisa mejeng di berita kesuksesan? Mikir!

Berita baik!

Di Google Scholar, nama Nadiem begitu sering disebut-sebut. Bukan karena ia menulis jurnal Ilmiah, tapi banyak penelitian di Indonesia yang menyebut Nadiem dalam riset mereka. Termasuk riset kondisi pekerja gojek. Penelitian Nadiem selama ia berkuliah? nihil.

Ini pasti karena Harvard adalah kampus paling keren sehingga tidak sembarangan mempublikasi karya ilmiah alumninya. Tentu saja laporan The Guardian yang ditulis Arw Mahdawi tidak perlu kita tanggapi. Judulnya artikelnya saya terjemahkan; “Apa saja yang akan membantumu untuk kuliah di Harvard? Orangtua super kaya hanya butuh cek dan pulpen” (21/10/18).

Jadi bukan kebetulan baik Nadiem dan Belva kuliah di Harvard. Toh pasti mereka (orang tuanya kali) berusaha dengan keras. Hal ini sangat dibutuhkan dalam Bisnis. Terlalu sering dikatakan keberhasilan bisnis karena keberanian dan usaha, faktor orang tua jarang disebut.

Baca Juga:  NU Jakpus : Kamus Sejarah Bukti Kelalaian Kemendikbud Terhadap Tokoh Nasional

Lulus kuliah Nadiem bekerja di perusahaan konsultasi Bisnis Mckinsey & Company sedangkan Belva dikabarkan menolak banyak pekerjaan bergaji tinggi sehingga dipinang jadi Staf khusus presiden.

Jadi melihat riwayat hidup keduanya selama belajar bisnis diluar negeri bisa disimpulkan keduanya cocok untuk mengurusi masa depan pendidikan di Indonesia.

Jangan berteriak-teriak kalau melalui keduanya pendidikan Indonesia sedang dikomersilkan, diarahkan pada industri atau rakyatnya hanya dipersiapkan untuk jadi buruh terampil. Fakta bahwa Belva adalah produk terbaik dari perusahaan konsultasi bisnis dengan bukti medali emasnya dan Nadiem terbukti malang melintang menjadi konsultan bisnis di berbagai perusahan dalam dan luar negeri sebaiknya dikesampingkan saja.

Maka wajar dalam sebuah wawancara pak Mendikbud sempat kaget dengan informasi beberapa wilayah Indonesia masih belum memiliki listrik dan sinyal. Tapi kita juga terheran-heran bagaimana mungkin sang menteri tidak tahu ada wilayah Indonesia yang begitu tertinggal akses transportasi, listrik dan sinyal sementara sebagai menteri ia pasti selalu ketemu dengan pak Abdul Halim Iskandar, Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi RI? bukankah kementerian ‘daerah tertinggal itu didirikan menegaskan bukti ketertinggalan pemerintah dalam membangun daerah sehingga wajar listrik dan sinyal sulit? Bukankah aneh, pemerintah yang telat membangun, daerah malah dijuluki tertinggal?

Saya sebetulnya pusing nulis panjang-panjang begini. Ki Hajar juga pasti pusing. Anda juga pasti pusing. Daripada ruwet-ruwetan, Yuk bakar uang lewat tayangan Sembilan stasiun televisi langsung dan bagi-bagi uang milyaran dengan nama-nama imut seperti gajah, macam dan kancil.

Kedua program ini memang sangat cocok dilaksanakan ketika Wabah Covid-19 menghantam perekonomian masyarakat.

Tentu saja tayangan Ruang Guru menghibur para guru yang kehilangan ruang. Hiburan ini ditambah dengan program uang kaget Mendikbud dengan kombinasi anggaran Gajah (10 milyar) Macan (5 Milyar) dan Kancil (1 Milyar) yang keluar dari kandang negara menuju kandang industri pendidikan—kemudian melahap apapun seperti mesin sosis. Gurunya? Mirip remah-remahan KFC jalanan, kalau gak di angkat ya gosong dipenggorengan.

Baca Juga:  Penghapusan UN dan Research-Based Public Policies

Jadi, daripada memaki yang unfaedah, sebaiknya kita nobatkan saja keduanya menjadi pahlawan. [HW]

Iman Zanatul Haeri
Guru Sejarah MA Al-Tsaqafah Said Aqil Siroj Foundation, Alumnus Universitas Negeri Jakarta.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini