Multikulturalisme dalam Kehidupan di Pesantren

Dalam perkembangan pendidikan multikultural, keberagaman acap kali dijadikan suatu permasalahan yang harus diselesaikan melalui praktik pendidikan multikultural. Akan tetapi, perlu kita ketahui bahwa dengan keberagaman tersebut justru bisa dijadikan sebagai aset yang sangat berharga apabila diolah serta dikelola secara maksimal. Istilah multikultural dibentuk dari kata multi yang berarti plural, banyak, atau beragam, dan kultur yang berarti budaya. Kultur atau budaya merupakan ciri-ciri dari tingkah laku manusia yang dipelajari, tidak diturunkan secara genetis dan bersifat khusus, sehingga kultur pada masyarakat tertentu bisa berbeda dengan kultur masyarakat lainnya. Dengan kata lain, kultur merupakan sifat yang “khas” bagi setiap individu atau suatu kelompok yang sangat mungkin untuk berbeda antara satu dengan yang lainnya. Semakin banyak komunitas yang muncul, maka semakin beragam pula masing-masing kultur yang akan dibawa.

Pesantren bisa dikatakan sebagai lembaga pendidikan yang unik. Selain pesantren yang memiliki kultur pendidikan yang berbeda dengan pendidikan yang lainnya, antara pesantren yang satu dengan yang lainnya pun terkadang memiliki perbedaan. Pesantren memiliki pola pendidikan yang berbeda, terutama pada disiplin ilmu yang ditekankan. Mastuhu mendefinisikan pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.[1]

Keberagaman yang sering kita temui di pesantren salah satunya bisa dilihat dengan adanya santri yang berasal dari berbagai macam daerah. Mulai dari Jawa timur, Madura, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi sampai Papua. Dengan adanya santri yang berasal dari berbagai macam daerah tersebut, tentu saja memiliki latar belakang budaya yang berbagai juga, bisa tradisi, adat istiadat dan bahasa. Selain itu bisa kita lihat juga dengan latar ekonomi dan pendidikan yang bergam pula, ada yang merupakan anak dari seorang gubernur hingga anak dari seorang nelayan, ada yang pendidikannya masih di tingkat dasar, menengah hingga atas. Keragaman santri tersebut merupakan aset multikultural yang dimiliki pesantren dan sangat bisa dikelola secara maksimal sehingga memunculkan sesuatu yang sangat positif untuk kehidupan pesantren.

Baca Juga:  Menghapus Tompel Pesantren

Beberapa kegiatan yang sering kali menampilkan keberagaman dalam lingkup pesantren bisa kita lihat ketika kegiatan khitobah berlangsung. Seperti kegiatan khitobah yang berlangsung di Pondok Pesantren Al-Falah Putri Ploso. Seringkali ketika suatu komplek mendapatkan jadwal untuk tampil khitobah, maka tentu saja penghuni komplek akan mempersiapkan hiburan yang sangat menarik untuk dinikmati penonton. Salah satu yang sering ditampilkan yakni tarian daerah dan drama yang bertemakan cerita daerah. Persiapan yang sudah direncanakan berhari-hari sebelumnya, sehingga penampilan akan terlihat maksimal sampai-sampai kostum yang dipergunakan pun sangat mirip dengan kostum daerah yang memang biasa digunakan.

Selanjutnya, di Pondok Pesantren Al-Falah Putri Ploso ini juga menaruh perhatian yang cukup besar terhadap pengembangan intelektual. Beberapakali pihak pondok melaksanakan acara workshop, seminar, diskusi publik, serta kegiatan ilmiah lainnya. Hal ini dilatarbelakangi karena keterbukaan sang Kiai terhadap berbagai perspektif keilmuan dan juga terhadap berbagai komunitas. Keterbukaan inilah yang membawa Kiai memiliki pergaulan yang lintas kultur. Keterbukaan ini juga dipraktikkan Kiai dalam mengelola pesantren. Dalam merekrut santri, pihak pondok tidak pernah membedakan latar belakang santri, baik perbedaan daerah, etnis, bahsa, budaya, status ekonomi, maupun lainnya. Siapapun yang datang ke pesantren, asalkan berniat ingin mengaji, maka pihak pondok pesantren akan membuka pintu selebar-lebarnya untuk santri tersebut.

Dalam penempatan kamarnya santri juga tidak dibedakan, hanya saja untuk santri yang khusus salaf saja memang disendirikan. Hal ini bertujuan agar santri salaf bisa fokus untuk menempuh pendidikan mengkaji kitabnya. Untuk santri pelajar, baik itu tingkat menengah atau tingkat atas ditempatkan di komplek formal bernama Tsuroyya yang terletak dibelakang ndalem Kiai. Sedangkan untuk komplek salaf diletakkan di komplek yang terletak di halaman depan sebelah kanan ndalem Kiai. Penempatan komplek ini secara umum bukanlah berdasarkan keragaman horizontal yang dimiliki para santri, seperti asal usul kedaerahan, bahasa, etnis, tradisi dan lain sebagainya. Santri yang bermukim di Pondok Pesantren Al-Falah Putri Ploso umumnya terbagi menjadi 2 macam, yakni santri formal dan santri salaf. Santri formal ialah santri yang datang untuk mencari ilmu kitab di pondok pesantren serta mengikuti pendidikan formal di sekolah di tingkat SMP/MTs dan SMA/MA. Sedangkan santri salaf ialah santri yang datang memang hanya untuk mencari ilmu kitab di pondok pesantren serta khidmah di pondok pesantren, tanpa mengikuti pendidikan formal di sekolah.

Baca Juga:  Meluruskan Niat Menuntut Ilmu

Dengan adanya berbagai keragaman tersebut merupakan hal yang sangat perlu diperhatikan oleh seorang pengasuh pondok pesantren untuk menjaga dan merawat bagaimana keragaman tersebut jangan sampai terjadi gesekan di lingkungan pesantrennya. Meski secara administratif pengasuh pondok pesantren dibantu oleh pengurus dan secara akademik dibantu oleh para ustadz dan ustadzah, namun kebijakan-kebijakan strategis pondok pesantren secara umum ditentukan oleh pengasuh pondok pesantren. Upaya tersebut salah satunya dengan cara memberikan perhatian yang cukup besar terhadap para santri, memberikan fasilitas yang memadai, serta memberikan pengayoman yang diperlukan oleh para santri.

Selain itu, konsep pendidikan multikultural juga sangat dibutuhkan serta hadirnya diharapkan mampu menjadi inovasi dan reformasi yang komprehensif dalam muatan-muatan pendidikan, merekonstruksi pengetahuan tentang pemahaman teks-teks keagamaan yang bebas prasangka, rasis, bias, dan stereotipe. Pendidikan multikultural sejatinya memberikan pengakuan akan pluralitas, yang dapat dijadikan sebagai sarana belajar untuk penjumpaan lintas batas, dan mentransformasi indoktrinasi menuju pendidikan yang dialogis dan humanis. Terimakasih. []

[1] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994) hal:6.

Laili Faiqoti Alfaini
Mahasiswi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini