menjadi baik

‏قال الفضيل بن عياض رحمه الله
“إذا أراد الله بعبد خيراً زهَّده في الدنيا، وفقَّهه في الدين، وبصَّره عيوبه” (عيون الأخبار / ابن قتيبة)

Apabila Allah ingin hambanya menjadi orang baik, maka Allah zuhudkan ia pada dunia, diberikan pemahaman terhadap agama, dan diperlihatkan kekurangan-kekurangan/aib dirinya

Menarik membaca perkataan Fudhail bin ‘Iyad ini, satu sisi bagaimana seseorang menjaga dirinya dari gempuran dunia yang begitu menggoda, sehingga orang rela melakukan apa pun demi dunianya. Seakan-akan dunia adalah segalanya. Dan sisi yang lain, ia harus paham bagaimana hukum agama harus dilaksanakan, dari persoalan ibadah, muamalah dan lainnya, sehingga ia menjalankan kezuhudannya dengan baik. Dan pada sisi lainnya pula, ia dapat melihat cela, aib dan kekurangan dirinya, sehingga ia tidak merasa paling benar, sombong dan angkuh. Dari tiga hal ini, tampaklah bahwa ia menjadi hamba yang baik.

Zuhud dalam dunianya, bukan kemudian membenci dunia dan tidak mau bekerja, tetapi ia tidak tergila-gila. Mencari harta tak pernah puas, yang bukan hanya semata-mata menjadi kebutuhannya, tetapi sudah pada taraf hedonisme akut. Sex menjadi pujaannya setiap hari, nonton film dan gambar porno untuk memuaskan nafsu birahi. Dan mengejar pangkat, sampai buta pada yang hak.

Agama tidak melarang seseorang mencari dunia bahkan menjadi kaya juga boleh, tetapi menjaga hati dan jiwa untuk tidak rakus pada dunia. Sehingga masuk pada jajaran orang-orang Jawwadhin. Karena rakus itu berbahaya, tidak hanya pada dirinya tetapi pada orang lain.

Kehidupan dunia yang gemerlap, penuh pesona, dan dengan segala keindahannya akan menarik para peminatnya yaitu manusia. Tetapi manusia yang “memahami” dan diberikan “pemahaman” tentang agama (tentunya, juga dapat mengamalkannya) akan membantunya pada cara bagaimana menghadapi dunia dengan segala kebaikan dan keburukannya.

Baca Juga:  Inilah Hikmah di Balik Bolehnya Rasulullah SAW Menikah Lebih dari Empat Orang Istri

Dunia dan agama selalu menjadi magnet setiap insan yang hidup dipermukaan, maka ia menjadi rebutan atau bahkan menjadi penentang. Rebutan untuk mempelajarinya dunia dan agama. Pengakuannya sebagai agamawan atau hartawan. atau sebaliknya.

Kata Fudail bin Iyad “Bagaimana ia diperlihatkan keburukan/aib pada dirinya” sebagai bagian dari menjadi harta dan agamanya. Apabila seseorang sudah tidak pernah melihat aib darinya, atau dirinya merasa tidak pernah punya aib dan kekurangan, maka sifat Ja’dhari (sombong) akan menyelimutinya. Dan kesombongan tidak hanya dibenci manusia dan makhluk lainnya, tetapi Allah sangat membencinya.

إِنَّ اللهَ يُبْغِضُ كُلَّ جَعْظَرِيٍّ جَوَّاظٍ سَخَّابٍ بِالْأَسْوَاقِ جِيفَةٍ بِالَّليْلِ حِمَارٍ بِالنَّهَارِ عَالِـمٍ بِأَمْرِ الدُّنْيَا جَاهِلٍ بِأَمْرِ اْلآخِرَةِ (حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ رَوَاهُ ابْنُ حِبَّانَ)

Allahu a’lam bisshawab. []

Halimi Zuhdy
Dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, dan Pengasuh Pondok Literasi PP. Darun Nun Malang, Jawa Timur.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Hikmah