Diskusi mengenai agama dan relevansinya di era modern semakin kompleks, terutama dengan munculnya fenomena post-truth yang memengaruhi cara pandang masyarakat terhadap kebenaran. Fenomena ini menggambarkan bagaimana opini pribadi sering kali dipandang setara dengan fakta yang didukung oleh referensi kuat. Salah satu contoh yang mencolok dari dinamika ini adalah perdebatan antara Guru Gembul dan Ustadz M. Nuruddin, yang berlangsung di Universitas Indonesia pada acara yang diadakan oleh Keira pada Rabu, 9 Oktober 2024. Diskusi bertajuk “Bisakah Keshahihan Akidah Islam Dibuktikan Secara Ilmiah?” menarik perhatian publik karena memperlihatkan benturan dua pendekatan berbeda dalam memahami agama dan eksistensi Tuhan.
Tantangan Post-Truth dalam Diskusi Agama
Era post-truth ditandai dengan membanjirnya informasi yang cepat dan sering kali tanpa dasar yang kuat, di mana opini atau keyakinan pribadi dianggap lebih penting daripada bukti atau argumen logis. Dalam konteks ini, perdebatan antara Guru Gembul dan Ustadz M. Nuruddin mencerminkan dua pendekatan yang kontras dalam membahas agama, terutama akidah Islam. Di satu sisi, Guru Gembul, yang sering dikenal melalui platform digital, menawarkan pandangan-pandangan yang lebih terbuka dan mudah diterima oleh Generasi Z, namun dengan keterbatasan referensi teologis dan ilmiah. Di sisi lain, Ustadz Nuruddin menghadirkan argumen yang lebih tradisional dan berbasis referensi yang kuat, baik dalam logika, filsafat, maupun sumber-sumber agama.
Dalam perdebatan tersebut, Guru Gembul, yang terbiasa menyampaikan pandangannya di media sosial, menghadapi tantangan besar ketika berhadapan dengan argumen yang lebih akademis dan mendalam dari Ustadz Nuruddin. Meskipun Guru Gembul berupaya mengaitkan agama dengan realitas modern, ia harus mengakui bahwa membahas topik serius seperti akidah memerlukan landasan ilmiah dan teologis yang lebih kuat. Ustadz Nuruddin secara jelas menekankan bahwa diskusi agama tidak dapat hanya mengandalkan opini atau keyakinan pribadi, melainkan harus berdasarkan referensi yang sahih dan otoritatif.
Merujuk pandangan filsafat ketuhanan melibatkan argumen ontologis, kosmologis, teleologis, dan moral yang merupakan pendekatan filosofis klasik untuk membuktikan keberadaan Tuhan. Masing-masing argumen ini menawarkan perspektif rasional yang bisa memperkuat landasan akidah dalam diskusi tentang Tuhan, terutama ketika dihadapkan dengan fenomena post-truth, di mana opini tanpa dasar cenderung dianggap valid.
Dalam perspektif Argumen ontologis berusaha membuktikan eksistensi Tuhan melalui analisis konsep. Salah satu versi terkenal dikemukakan oleh Anselmus dari Canterbury yang menyatakan bahwa Tuhan adalah makhluk terbesar yang dapat dipikirkan. Karena keberadaan dalam realitas lebih besar daripada sekadar eksistensi dalam pikiran, Tuhan sebagai entitas tertinggi harus ada dalam kenyataan, bukan hanya sebagai gagasan. Dalam perdebatan antara Guru Gembul dan Ustadz M. Nuruddin, argumen ontologis menjadi relevan ketika Ustadz Nuruddin mengkritisi argumen Guru Gembul yang tidak memiliki dasar referensial kuat. Ustadz Nuruddin, yang bersandar pada logika teologis yang kokoh, dapat mempergunakan argumen ontologis untuk menjelaskan bahwa keberadaan Tuhan tidak hanya berdasarkan kepercayaan, tetapi juga secara rasional bisa dibuktikan melalui pendekatan filosofis. Argumen ontologis ini juga menunjukkan bahwa konsep Tuhan tidak bisa hanya diukur dengan pendekatan empiris atau sekadar opini tanpa dasar, seperti yang sering diangkat dalam fenomena post-truth.
Dalam mengkritisi argument Guru Gembul dapat menggunakan argumen kosmologis. Argumen ini berfokus pada gagasan bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta harus memiliki penyebab, dan penyebab pertama ini adalah Tuhan. Argumen ini berawal dari filsuf Yunani seperti Aristoteles dan dikembangkan oleh teolog seperti Thomas Aquinas. Premis dasarnya adalah bahwa semua yang ada di alam semesta memiliki asal usul, dan pada akhirnya, harus ada sebab yang tidak disebabkan, yang menjadi penyebab pertama dari segala sesuatu. Dalam konteks debat antara Guru Gembul dan Ustadz Nuruddin, argumen kosmologis dapat memperkuat posisi Ustadz Nuruddin yang menekankan pentingnya dasar teologis dan ilmiah dalam membahas eksistensi Tuhan. Ustadz Nuruddin dapat menggunakan argumen kosmologis untuk menunjukkan bahwa keberadaan Tuhan sebagai penyebab pertama adalah sesuatu yang dapat dibuktikan secara logis, tidak hanya melalui kitab suci, tetapi juga melalui refleksi filosofis terhadap eksistensi alam semesta. Sebaliknya, argumen Guru Gembul yang mungkin lebih mengedepankan pemahaman subjektif tentang realitas, tanpa mengandalkan referensi teologis yang kuat, menjadi lebih lemah ketika dihadapkan dengan argumen kosmologis ini. Dalam fenomena post-truth, argumen ini memberikan penekanan bahwa kebenaran tentang eksistensi Tuhan harus didasarkan pada sebab-akibat yang logis, bukan sekadar opini atau keyakinan pribadi.
Selain itu ada argumen teleologis, atau dikenal sebagai argumen desain, menyatakan bahwa keteraturan dan kompleksitas di alam semesta menunjukkan adanya tujuan dan desain cerdas. William Paley mengilustrasikan ini dengan analogi jam tangan: jika kita menemukan sebuah jam tangan di hutan, kita akan menyimpulkan bahwa ada seorang pembuat jam yang merancangnya dengan tujuan tertentu. Begitu pula, alam semesta yang kompleks menunjukkan adanya Desainer, yaitu Tuhan. Dalam debat antara Guru Gembul dan Ustadz Nuruddin, argumen teleologis ini dapat menjadi alat kuat bagi Ustadz Nuruddin untuk mendukung keyakinan akan eksistensi Tuhan melalui pengamatan terhadap alam semesta.
Ustadz Nuruddin dapat mengajukan argumen bahwa keteraturan kosmik, hukum alam, dan keindahan dunia ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan, melainkan karena adanya Desainer yang mengaturnya. Argumen ini cocok untuk menjembatani antara kepercayaan agama dan bukti empiris yang bisa diterima oleh audiens yang lebih rasional, terutama di tengah dominasi pemikiran post-truth, di mana banyak yang mempertanyakan otoritas agama dengan dasar ilmiah. Bagi Generasi Z yang lebih kritis dan terbuka terhadap diskusi berbasis ilmiah, argumen teleologis ini bisa lebih diterima, karena tidak hanya mengandalkan kitab suci tetapi juga menunjukkan bukti empiris yang dapat diamati langsung. Guru Gembul, yang mengandalkan opini tanpa referensi ilmiah yang kuat, dalam konteks ini, harus menghadapi tantangan logis yang lebih berat dalam mempertahankan pandangannya.
Dalam membantah Argumen Guru Gembel, dalam perspektif argumen moral menyatakan bahwa konsep moralitas universal—apa yang baik dan buruk—membutuhkan landasan yang objektif. Jika tidak ada Tuhan, maka moralitas hanya menjadi konstruksi sosial atau preferensi pribadi, yang berbeda-beda antara satu individu dengan yang lain. Namun, jika ada standar moral yang absolut, maka ini menunjukkan adanya sumber moralitas yang lebih tinggi, yaitu Tuhan. Dalam debat tersebut, argumen moral menjadi penting ketika membahas nilai-nilai keagamaan dan etika yang menjadi dasar akidah Islam. Ustadz Nuruddin dapat mengajukan bahwa moralitas tidak bisa sepenuhnya dipisahkan dari agama dan Tuhan sebagai sumber moralitas yang absolut. Tanpa Tuhan, moralitas akan menjadi relatif dan subyektif, seperti yang sering terjadi dalam fenomena post-truth, di mana opini tanpa dasar kebenaran sering kali dianggap setara dengan kebenaran itu sendiri. Sebaliknya, argumen Guru Gembul yang mungkin lebih menekankan kebebasan individu dalam menentukan moralitas dan kebenaran, dapat dipertanyakan dalam konteks argumen moral. Dalam debat ini, Ustadz Nuruddin dapat menunjukkan bahwa tanpa Tuhan, sulit untuk mempertahankan pandangan bahwa ada hal-hal yang benar atau salah secara universal. Moralitas yang didasarkan pada pendapat pribadi atau konsensus sosial, seperti yang sering muncul dalam diskusi post-truth, tidak memiliki kekuatan yang sama dengan moralitas yang berasal dari Tuhan.
Pelajaran dari Debat: Pentingnya Landasan Ilmiah dan Referensi
Pengakuan kekalahan Guru Gembul dalam debat dengan Ustadz M. Nuruddin memberikan pelajaran filosofis yang penting bagi generasi muda, khususnya Generasi Z, mengenai pentingnya mendasarkan argumen pada referensi yang kuat, terutama dalam konteks diskusi agama. Di era post-truth, kita menyaksikan semakin memudarnya garis pembeda antara opini pribadi dan fakta objektif. Fenomena ini menciptakan ilusi bahwa opini, meskipun tanpa dasar yang jelas, dapat dianggap setara dengan argumen yang didukung oleh referensi ilmiah dan logika yang kuat. Namun, debat tersebut menggarisbawahi bahwa dalam ranah akidah, landasan argumen harus berakar pada logika, filsafat, dan teologi yang kokoh untuk mempertahankan keabsahan.
Dalam tradisi filsafat, argumen yang kuat tidak hanya didasarkan pada keyakinan pribadi, tetapi juga harus melalui proses dialektika yang melibatkan evaluasi kritis, logika, dan referensi otoritatif. Pandangan ini sejalan dengan ajaran filsafat klasik dari Aristoteles hingga Thomas Aquinas, yang menekankan bahwa kebenaran harus melalui proses penyelidikan rasional dan didukung oleh bukti-bukti yang dapat diuji. Guru Gembul, sebagai seorang konten kreator yang sering kali menyampaikan pandangan kritis kepada publik, mungkin berhasil mempengaruhi banyak orang dengan pendekatan yang lebih sederhana dan populer. Namun, dalam forum ilmiah dan teologis yang lebih mendalam, ia menyadari bahwa pendapat pribadinya tidak cukup untuk berdiri tegak menghadapi argumen yang dilandasi oleh referensi dan kajian mendalam.
Kekalahan yang diakui oleh Guru Gembul menegaskan pentingnya pendekatan filosofis yang lebih sistematis dalam diskusi agama, terutama dalam membahas akidah Islam. Argumen-argumen yang digunakan Ustadz Nuruddin, yang merujuk pada landasan logika dan referensi teologis, mencerminkan bahwa agama tidak hanya soal keyakinan subjektif, tetapi juga dapat dibuktikan dan dipertahankan melalui pendekatan rasional. Hal ini menegaskan pandangan filsafat analitik yang menuntut koherensi dan konsistensi dalam setiap argumen. Dalam diskusi agama, tidak cukup hanya menyampaikan pendapat, tetapi juga diperlukan justifikasi yang kokoh untuk membuktikan validitas argumen tersebut.
Pengakuan Guru Gembul bahwa meskipun ia masih percaya pada pendapatnya, ia kalah dalam perdebatan tersebut, mencerminkan dilema epistemologis yang sering dihadapi dalam diskusi kontemporer. Dalam filsafat, epistemologi berkaitan dengan cara manusia memperoleh pengetahuan dan pembenaran atas keyakinan mereka. Guru Gembul, dalam pengakuannya, secara tidak langsung menyentuh aspek penting dari epistemologi: keyakinan pribadi, tanpa dukungan referensial yang kuat, tidak memiliki bobot yang cukup untuk dianggap benar dalam forum diskusi ilmiah atau filosofis. Ini mengingatkan kita pada konsep epistemologi Descartes yang menekankan bahwa keyakinan harus didasarkan pada fondasi yang tak tergoyahkan, bukan sekadar perasaan atau intuisi pribadi.
Debat ini juga membawa kita pada perenungan lebih dalam tentang hubungan antara iman dan rasionalitas. Ustadz Nuruddin, dengan argumentasi teologisnya, mengingatkan kita bahwa iman dalam agama, terutama dalam Islam, tidak harus bertentangan dengan rasionalitas. Dalam tradisi teologi Islam, seperti yang dikembangkan oleh para ulama besar seperti Al-Ghazali dan Ibn Rushd, terdapat pendekatan yang mencoba mensintesiskan antara iman dan akal. Ustadz Nuruddin berhasil menunjukkan bahwa akidah Islam, yang sering dianggap sebagai domain kepercayaan subjektif, sebenarnya dapat dipertahankan dengan argumen logis dan filosofis yang valid, seperti melalui argumen ontologis, kosmologis, dan teleologis.
Generasi Z, yang sering kali lebih terpapar pada informasi yang cepat dan cenderung menyederhanakan masalah kompleks melalui media sosial, dapat belajar banyak dari perdebatan ini. Era digital, meskipun memberikan akses informasi yang luas, juga menciptakan ruang di mana opini yang tidak terverifikasi sering kali dianggap sama validnya dengan kebenaran yang didukung bukti. Dalam konteks ini, debat antara Guru Gembul dan Ustadz Nuruddin menunjukkan bahwa dalam diskusi yang mendalam, seperti tentang akidah, referensi ilmiah, teologis, dan filosofis tetap menjadi komponen penting yang tidak bisa diabaikan. Generasi Z harus belajar bahwa, meskipun kebebasan berpendapat adalah hak yang harus dihormati, opini yang tidak didukung oleh justifikasi yang kuat akan mudah goyah dalam perdebatan serius yang menuntut kebenaran objektif.
Dengan demikian, perdebatan ini bukan hanya soal siapa yang benar atau salah, tetapi juga tentang bagaimana cara kita mendekati kebenaran dalam diskusi agama. Kekalahan Guru Gembul menjadi simbol dari pentingnya landasan logis dan teologis dalam mempertahankan argumen, terutama dalam era post-truth di mana batas antara kebenaran dan opini semakin kabur. Ini adalah pelajaran penting bagi kita semua, bahwa dalam mencari kebenaran, kita harus siap untuk mendukung keyakinan kita dengan argumen yang kuat, referensi yang jelas, dan pemikiran yang mendalam.
Selain itu, perdebatan ini membuka ruang refleksi yang lebih luas tentang bagaimana agama bisa tetap relevan di era modern. Di satu sisi, ada kebutuhan untuk memahami agama dalam konteks realitas modern yang sarat dengan informasi dan opini yang beragam. Namun, di sisi lain, agama juga memerlukan pendekatan yang mendalam dan berbasis pada sumber-sumber otoritatif agar bisa terus dijaga keabsahannya. Guru Gembul dan Ustadz Nuruddin menjadi simbol dari dua pendekatan yang berbeda dalam merespons tantangan ini—yang satu mengedepankan keterbukaan dan kritik, sementara yang lain menekankan pentingnya menjaga tradisi dengan dasar yang kuat. Dalam konteks Generasi Z dan dunia modern, tantangan terbesar adalah bagaimana agama bisa tetap relevan dan dimengerti oleh generasi muda tanpa kehilangan esensinya. Diskusi dan debat seperti yang dilakukan oleh Guru Gembul dan Ustadz Nuruddin memberikan pelajaran penting bahwa, meskipun opini bebas menjadi ciri khas era digital, kebenaran dalam diskusi agama tetap memerlukan landasan ilmiah dan referensi yang mendalam. []