Menggagas Sekolah Birokrasi Bagi Para Santri Sebagai Bekal Dakwah Siyasy
Pesantren dan Negara

Para ulama-ulama kita dahulu telah berhasil menggerakkan elemen bangsa yang menjadi pendiri Indonesia untuk menyepakati pilihan landasan nasional yang tepat bagi karakter negara. Pilihan mereka begitu orisinal sehingga Indonesia menjadi negara modern yang berwatak religius. Rumusan istilah sebenarnya didasarkan pada karakter negara. Mereka tidak hanya mampu menghilangkan pengaruh ide-ide negara patrimonial yang membentuk sejarah kepulauan pra kolonial, tetapi secara Fikih Tata Negara,  sebagaimana ditulis oleh KH. Afifuddin Muhajir, mereka juga kreatif memadukan berbagai ide politik yang berkembang di masa depan negara modern, juga membuat anak-anak bangsa menjadi lebih kreatif.

Peran serta para ulama terdahulu dalam perjuangan kemerdekaan hingga negara ini diproklamirkan tentu bagi para santri tidak cukup dibanggakan saja, karena negara ini tidak cukup sekedar didirikan, tetapi juga harus dipertahankan dan diperbaiki sistemnya hingga mencapai harapan “baldah thayyibah wa rabbun ghafur”.

Memberi masukan dan menjadi penyeimbang bagi orang-orang pesantren kepada umara mungkin bisa dilakukan dengan tetap mewaspadai dawuh Nabi:

 قال – صلى الله عليه وسلم – شرار العلماء الذين يأتون الأمراء وخيار الأمراء الذين يأتون العلماء

Dengan mengkaji ulang untuk mendefinisikan siapakah yang dimaksud “alladzina ya’tuna al-umara” yang masuk dalam katagori “shirarul ulama”. Efektifitas ulama dari luar pagar birokrasi dalam memperbaiki sistem kepemerintahan di Indonesia mungkin sudah teruji. Hanya saja metode ini tetap membutuhkan “kelebihan” para ulama dalam bidang sistem dan aturan kepemerintahan dan “kharisma” dihadapan umara yang tidak bisa dipelajari. Kharisma adalah linuwih dari Allah yang tidak diberikan kepada semua orang, sealim apapun orang itu.

Disisi lain kita juga tidak bisa memungkiri bahwa salah satu cara efektif untuk ikut berperan aktif memperbaiki Indonesia adalah dengan memperbaiki birokrat dan birokrasinya dengan ikut terjun langsung kedalamnya. Sistem dan aturan kepemerintahan bisa dipelajari dan dipraktekkan langsung. Meski tanpa kharisma khusus, upaya memperbaiki sistem bisa dilakukan dengan berperan aktif baik dijalur legislatif, yudikatif maupun ekskutif.

Kita sudah memiliki contoh dikalangan masyayikh Lirboyo maupun para alumninya yang berperan aktif melalui legislatif. Hanya saja pertanyaannya berapa banyak Lirboyo mengedukasi dan mengendalikan para alumni yang berkecimpung dalam sistem kepemerintahan? Ataukah perjuangannya masih bersifat parsial yang tidak terbentuk jaringan didalamnya sehingga dakwah Lirboyo baru sebatas pemahaman masing-masing atau lebih parah dari itu bahwa perjuangan itu hanya berakhir pada tujuan sesuap nasi? Dimana posisi dakwah kita atas negara?

Baca Juga:  Tholabul Ilmi Santri Salafiyah, Kajen: Refleksi Belajar Menggunakan Aplikasi Hingga Kitab Klasik Pesantren
Mempersiapkan Santri Birokrat

Negara Kesatuan Republik Indonesia dirintis dengan kesadaran penuh atas keragaman penduduknya. Saat mempertahankan dan mengisi kemerdekaanpun juga diwarnai oleh keragaman generasi, generasi ketika bangsa ini dijajah, generasi ketika harus mempertahankan kemerdekaan, generasi ketika harus memimpin sebuah negara yang baru, dan akan terus muncul warna keragaman generasi termasuk generasi ketika perubahan teknologi telah mengubah gaya hidup dan memaksa terjadinya gaya kepemimpinan.

Nampaknya disini peran serta santri dibutuhkan. Seorang santri harus  mampu membaca tanda-tanda zaman yang telah mengalami perubahan dan terus akan berubah. Keterlibatan santri sebagai generasi penerus kyai yang merintis negara ini menjadi tuntutan. Namun keterlibatan itu menuntut para santri memahami ilmu dan mengkaji bagaimana suatu pemerintahan itu seharusnya dikelola dan dikendalikan agar dapat mengantarkan negara dan rakyatnya ke dalam sistem pemerintahan, mencapai apa yang dicita-citakan, keadilan dan kemakmuran, kemajuan dan keamanan, serta dapat berdiri sama tinggi, duduk sama rendah dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia ini.

Mesin pemerintahan yang dijalankan oleh administrasi negara atau dengan istilah lain disebut sebagai birokrasi, adalah intsrumen pelaksana dari kebijakan politik yang dikendalikan oleh politisi yang menduduki jabatan-jabatan politik. Berfungsi untuk menyokong berjalannya pemerintahan. Jawaban dari mesin pemerintahan ini atas perkembangan yang terjadi dalam rangka melayani kebutuhan publik (perseorangan, kelompok, korporasi) mau tak mau harus terus menerus mengalami pembaharuan. Dengan kontrol moral pesantren, setiap perubahan sistem dalam melayani masyarakat diharapkan senantiasa akan memunculkan nafas kesantunan keislaman dalam setiap kebijakan.

Para santri harus mampu memahami strategi di wilayah abu-abu politik dan wilayah kaku birokrasi dalam mengembangkan dakwah disana. Era sekarang ini adalah kesempatan para santri untuk menggali kemungkinan-kemungkinan optimum yang bisa dilakukan secara realistis tentang apa yang bisa dikerjakan oleh para santri sebagai calon birokrat-birokrat muda. Generasi muda yang mengabdi sebagai aparatur negara baik menjadi tumpuan dalam pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang lebih bersih, gesit dan adaptif.

Baca Juga:  Berita Duka, KH Nawawi Abdul Djalil Sidogiri Wafat

Di sisi lain dalam tempo 2030-2040 Indonesia diproyeksikan akan memasuki fenomena bonus demografi yang ditandai dengan meningkatnya jumlah penduduk produktif secara signifikan (Harsono, 2019). Siapkah para santri bersaing? Menawarkan strategi yang lebih islami tapi dapat dipahami dan di-iya-kan oleh masyarakat dan bersaing tidak sekedar dengan cara show of force sebagaimana selama ini terjadi.

Kita mungkin telah sering mendengar kalimat السياسة جزء لا يتجزأ من الدين   politik tidak bisa dilepaskan dari agama. Karena agama dikuatkan oleh politik dan oleh sistem pemerintahan maka harus ada orang pesantren yang berjihad di jalan ini. Maka mempersiapkan santri dibidang ini harus dilakukan oleh pesantren. Karena tidak semua output santri akan menjadi kyai atau menjadi pengasuh pesantren.

Mempersiapkan Madrasah bagi calon birokrat santri

Bila kita menyepakati urgensi keterlibatan santri di lingkungan yudikatif, legislative dan ekskutif, maka bagaimana kita mempersiapkan para santri untuk enable terhadap dunia birokrasi.

Berdasar Undang-undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara mempunyai nilai-nilai dasar ASN yang diringkas dalam akronim BerAKHLAK yang berarti Berorientasi Pelayanan, Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif. Core Values ASN menjadi titik tonggak penguatan budaya kerja, yang harus dilakukan semua dalam melayani umat.

Bekal santri dalam menjalankan nilai-nilai dasar ini harus dipersiapkan untuk menjadikan dai-dai birokrasi yang memberi contoh hal bukan dai tradisional. Saat pesantren menyadari pentingnya menyiapkan santri untuk ‘dakwah’ disemua lini, maka pesantren juga harus memiliki kurikulum madrasah birokrasi yang menjadikan para santri tidak sekedar peramai legislatif atau sekedar mempunyai curriculum vitae orang pesantren tetapi tidak mampu memberikan sumbangsih kebijakan yang menghantarkan pada baldah thayyibah atau sistem yang menghindarkan seluruh aparat melakukan kedzaliman dalam menjalankan roda pemerintahan. Mampukah fikih kebangsaan yang menjadi kebanggaan Lirboyo diserap oleh seluruh anak bangsa hingga menjadikannya sebagai gaya hidup?

Baca Juga:  Gus Dur dan Islam Nusantara

Kurikulum apa saja yang dibutuhkan? Tentu harus dibahas bersama pakar yang membidangi. Tetapi setidaknya madrasah birokrasi mampu membuat para santri saat terjun ke dunia politik dan birokrasi mampu memberi contoh “berakhlak’. Memahami regulasi sebagai bekal akuntabilitas diri, integritas yang menjadi sasaran utama dakwah birokrasi.

Sebuah partai yang membawa jargon dakwah, saat 5 tahun memegang kementerian informasi, kementerian pertanian, dia bisa menggerakkan semua kadernya untuk kemudian mampu membangun sistem yang membuat hampir semua ASN didalamnya adalah kader atau setidaknya simpatisan partai itu. Bahkan di kementerian pertanian, partai itu bisa menguasai semua laboratorium yang meneliti varietas padi unggulan, hingga saat partai itu sudah tidak lagi ada di lingkaran kekuasaan.  Bagaimana dengan partai-partai yang dikomandoi para santri? Atsar apa yang lumayan ‘langgeng’ dari sistem yang dibangunnya?

Membangun sistem dibawah komando NU or Pesantren

Semakin modern sebuah organisasi/instifusi maka akan bergantung pada sistem (system building). Sebaliknya semakin tradisional sebuah organisasi maka akan bergantung pada sosok orang (kepemimpinan personal) yang merupakan ciri ‘pelanggengan budaya feodal’.

Idealnya semua elemen birokrasi dari berbagai sisi bekerja dan berkarya dalam satu kesatuan sistem berdasarkan regulasi yang sudah ada dan sudah menjadi kesepakatan bersama para pembuat aturan perundangan, bukan oleh orang, sehingga siapapun yang memimpin maka tidak akan jadi masalah karena sistemnya sudah jelas. Maka menjadi tugas orang-orang pesantren berperan aktif dalam penyusunan regulasi dan perundangan yang mampu meletakkan misi Nahdlatul Ulama atas negara sebagai panglima. Sistem harus mampu menggantikan man power untuk menuju suistanable and quality manajemen kenegaraan.

Dengan madrasah birokrasi, para santri bisa menjadi sosok pemimpin yang seharusnya yang mampu menyatukan seluruh elemen bangsa untuk menjaga NKRI, membangun  system building dalam kepemerintahan yang sehat, communication in lighting dan menjadikan dirinya sebagai rule model/tauladan. Monggo mikir. []

Achmad Shampton Masduqie
Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Malang

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini