Ada dialog menarik yang ditulis oleh Dr. Jasim al-Muthawwa’ dengan putranya.
“Ayah, mengapa Allah tidak menjaga kita, agar kita terhindar dari semua keburukan, kerusakan, dan kesusahan?. Belum sempat dijawab oleh Dr. Jasim, anak tersebut mengajukan pertanyaan yang masih berkaitan dengan pertanyaan pertama.
“Dosa apakah yang sudah dilakukan oleh orang-orang yang meninggal dunia karena gempa bumi atau ledakan bom atau banjir bandang yang menghanyutkan?”.
“Ayah, Dan dosa apa yang dilakukan anak-anak kecil yang tenggelam di lautan atau yang lahir dalam kondisi cacat?”, ia terus nyerocos dengan berbagai pertanyaan.
“Apa dosa-dosa orang-orang miskin, sehingga hidup dalam kemiskinan?”, “Ayah, Mengapa keburukan ada di dunia?”, dan ia mengakhiri pertanyaan seperti pertanyaan pertama, “Mengapa Allah tidak menjauhkan kita dari berbagai macam keburukan?”.
Ternyata masih tersisa pertanyaan yang menggelitik pikiran sang Ayah, “Ayah, seandainya saya melakukan sesuatu dengan baik, sesuai dengan peraturan yang sudah ada, mentaati segala perintah dan menjahui segala larangan, tapi mengapa masih didera berbagai musibah dan cobaan?”.
“Dimana keadilan Allah dan kasih sayangnya?. Kata putra Dr. Jasim.
Yang menarik jawaban Dr. Jasim al-Muthawwah pada putranya, dengan bahasa yang sederhana, jelas dan lugas “Apa yang kau tanyakan dan kau pikirkan, itu juga ditanyakan oleh banyak orang, bahkan setiap orang mempertanyakan itu wahai anakku”.
Ia menghela nafas panjang, “Pertanyaan yang sangat penting seperti tadi juga sudah ditanyakan dan dipikirkan oleh para intelektual dan para filosof terdahulu, karena kebaikan dan keburukan itu sudah ada mulai zaman dahulu, anakku. Pertumpahan darah, peperangan, malapetaka juga terjadi mulai zaman dahulu, baik ia terjadi karena ulah manusia atau karena qadar”.
Dr. Jasim melanjutkan dengan menatap wajah anaknya dalam-dalam, serta melihat keningnya yang lagi mengkerut dengan berbagai pertanyaan yang bergumul di dalamnya. “Tetapi anakku, kesalahan kita adalah melihat berbagai peristiwa buruk itu hanya melihat dari satu sisi dari berbagai sisi yang ada, dan kemudian kita menghukuminya secara sama”.
Penjelasan yang cukup panjang itu, sepertinya membuat anak Dr. Jasim kebingungan, dan memperjelas apa yang disampaikan ayahnya. “Apa maksudnya Ayah?”.
“Begini anakku, misalnya gigimu rusak (bolong) dan sakitnya luar biasa, kemudian kamu mendatangi dokter gigi, dan dokter memeriksa dan membedahnya, dan kamu merasakan sakit ketika dioperasi, tetapi setelahnya kamu merasakan enak dan hilang rasa ngilu (sakit di gigi). Anakku, bila kamu membiarkan sakit itu terus menderamu dan kamu menganggap dokter itu jahat atau tidak sayang karena telah membuat kamu sakit ketika operasi kecil tadi, bukankah anggapanmu itu salah?. Bukankah dokter melukai dan sedikit membuatmu sakit agar setelahnya kamu dapat beristirahat dan bahagia?..dan seringnya kamu hanya melihat sakit ketika dioperasi tanpa melihat sisi lainnya secara utuh. Maka yang menjadi masalah sebenarnya bukan sakitnya, tapi bagaimana kita melihat sakit tersebut, engkau hanya merasakan sakit sebentar ketika dibedah, tetapi setelahnya engkau akan merasakan nikmat yang luar biasa”. Jawaban Dr. Jasim pada putranya.
Atau saya beri contoh lain yang mungkin lebih mudah kamu pahami, anakku. “Kamu pasti tahu mobil kan?, kalau kau perhatikan knalpot ketika kau mengendarai mobil, bau tidak enak, dan suaranya yang kadang membuat bising di telinga. Tetapi bila kau hanya melihat satu sisi saja, ia sangat mengganggumu. Tapi kamu tidak merasakan itu, karena kamu tahu manfaat knalpot yang diletakkan di mobil, dan pasti kamu tidak menyebutkan malapetaka atau musibah, bahkan kau akan menyebutkan kebaikan. Mengapa? Karena kamu tahu manfaat besar dari knalpot itu kan?. Dapat menggerakan dan menjalankan mobil.
“Horee, saya sekarang mengerti, ternyata dalam setiap keburukan tersimpan kebaikan, tapi terkadang saya tidak mampu melihat sisi baiknya” Anaknya menimpali dengan senyum bahagia.
Dr. Jasim menjawabnya, “Inilah pandangan muslimin melihat setiap kejadian dalam kehidupan, kita sebagai hamba Allah yang beriman, percaya pada qada’ dan qadar Allah, baik dan buruknya. Karena asal kehidupan itu adalah kebaikan bukan keburukan”.
Anaknya mangguk-mangguk, Dr. Jasim melanjutkan penjelasannya, “Anak-anak yang sehat itu adalah asal, yang berkebutuhan khusus itu pengecualian. Kehidupan alami itu asal, malapetaka (gempa dll) itu pengecualian. Maka, kisah Nabi Musa AS dengan Nabi Khidir AS itu sebuah contoh bagaimana melihat keburukan dalam kebaikan. Bagaimana akhirnya kita dapat melihat keadilan dan kasih sayang Allah”.
“Sekarang, saya tambah mengerti” Kata putranya, dengan senyumannya yang dikulum.
“Anakku, Kita umat Islam, kita percaya bahwa sebagian kita adalah musuh bagi sebagian yang lain, manusia itu diuji dalam kehidupannya, dan engkau tidak menyebutnya dengan keburukan atau petaka tapi hal itu adalah ujian bagi seorang muslim agar Allah memandang sejauh mana kesabaran dan ketabahan seorang muslim dalam menghadapi ujian dan ia rida terhadap takdir baik dan buruknya. Karena keberadaan kita di dunia adalah sebagai hamba Allah, dan Allah menguji kita dengan kebaikan dan keburukan, sejauh mana kesabaran, ketabahan, ketahanan, dan keimanan kita pada-Nya, Wanablukum bil khair wa syar fitnah (Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan).”
“Anakku, ada hal lain yang lebih penting, sehingga kau melihat sesuatu yang buruk kau dapat membacanya dengan kaca mata yang benar, yaitu setiap kau melihat sesuatu pandanglah dengan pandangan dunia dan akhirat. Dunia hanyalah bagian dari kehidupan, bukan segalanya tentang kehidupan. Orang miskin terkadang pedih di dunia, tapi ia dapat bahagia di akhirat. Ini sisi lain, yang dapat kau lihat dalam kehidupan”.
“Benar Ayah, saya benar-benar mengerti bagaimana kasih sayang Allah dan keadilan-Nya, bagaimana melihat kebaikan dan menyikapi keburukan” Wajah berbinar-binar dari anak Dr. Jasim, setelah mendapatkan penjelasan dari Ayahnya tentang menilai keburukan dan menyikapinya. [HW]