“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku (saja)” (QS. Adz-Dzaariyaat: 56).

“Talent is cheap; dedication is expensive. It will cost you your life.” – Irving Stone

“The power of a movement lies in the fact that it can indeed change the habits of people. This change is not the result of force but of dedication, of moral persuasion.” – Cecil B. DeMille

Mengabdi pada awalnya bersifat transendental. Sesuatu yang muncul sebagai konsekuensi adanya makhluk manusia di hadapan Al Khaliq, Allah Ta’ala. Karena itu mengabdi kepada Sang Pencipta merupakan sesuatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap insan, tanpa ada perkecualian atau pilihan. Pengabdian kepada-Nya tidaklah bersifat tentatif, melainkan bersifat permanen hingga akhir kehidupan. Dengan demikian mengabadikan pengabdian menjadi suatu kepastian.

Untuk memaknai pengabdian, tidaklah cukup dibatasi dengan pemahaman dan implementasi sempit, melainkan seharusnya dipahami secara luas, sehingga pengabdian memenuhi kepentingan yang sebenarnya. Untuk mewujudkan implementasi pengabdian tidaklah mudah, karena tidak sedikit insan yang abaikan kewajibannya untuk mengabdi secara benar kepada-Nya, apalagi kepada yang lain, orangtua, masyarakat, bangsa dan kemanusian serta makhluk lainnya.

Kita seharusnya menyadari bahwa kehidupan manusa di dunia sangat membutuhkan pengabdian. Pengabdian dimaksudkan bukanlah untuk pihak lain, melainkan yang lebih utama adalah untuk diri sendiri. Banyak bukti bahwa pengabdian dan kerja keras adalah penting untuk raih kesuksesan, karena pengabdian dan kerja keras memberikan kemampuan dan kekuatan yang bisa tunjukkan hasil kerja yang terbaik dan kesuksesan.

Setiap pekerjaan yang dilakukan dengan baik dan telah mendapat dukungan orang yang berdedikasi, biasanya dapat menjadi sumber inspirasi. Sumber inspirasi inilah yang sering menghasilkan kerja yang terbaik. Ingat, bahwa dedikasi bukanlah apa yang kita harapkan dari orang lain, melainkan apa yang kita berikan kepada pihak lain.

Baca Juga:  Kerusakan di Bumi Siapa yang Akan Bertanggung Jawab?

Pengabdian kepada keluarga menjadi kunci keutuhan dan keharmonisan kehidupan rumah tingga. Kita seharusnya hindari menuntut dulu orang lain, isteri atau suami dan anak untuk memberikan pengabdian kepada kita, melainkan sebaliknya kita wajib berikan pengabdian dan pelayanan kepada mereka. Dengan cara begini insya Allah hidup keluarga terus terjaga dan utuh untuk seterusnya. Ingat quu anfusakum wa ahlikum naaraa.

Selanjutnya untuk kepentingan persahabatan, kita seharusnya utamakan untuk berikan pengabdian dan layanan yang baik terhadap sahabat dan sesama, sehingga kehadiran kita diterima. Hal yang demikian bisa memudahkan bersinergi dalam setiap interaksi yang dibangun. Bukan sebaliknya, kita menuntut dilayani. Semula bisa diterima, tapi untuk selanjutnya cenderung akan ditinggalkan. Ingat bahwa barang siapa yang menyayangi, maka akan disayangi. Man laa yarham laa yurham.

Dalam kehidupan ini, kita tidak bisa lepas dari dunia kerja yang menjadi wahana untuk mencari nafkah dan kehidupan. Dalam menjalankan tugas dan pekerjaan pada posisi apapun, kita wajib utamakan tunjukkan pengabdian, kerja keras, dan melayani. Jika mampu tunjukkan diri secara istiqamah dan sungguh-sungguh, insyalah hasil pekerjaan dan kehadiran kita diterima dengan baik. Sebaliknya jika kita sering mangkir, tidak loyal, dan merugikan institusi kita, lama-lama tertolak, bahkan sampai juga dipecat.

Sebagai warga negara pada hakekatnya mendapat jaminan hidup yang selayaknya, tanpa kita minta, baik itu terkait dengan keselamatan, kenyamanan, keamanan dan perlindungan jiwa dsn raga. Namun tidak semua orang sadar akan karunia ini. Karena itu kita perlu tunjukkan kesadaran akan tanggung jawab dan pengabdian kita untuk bangsa dan negara, dengan ikuti semua peraturan dan peruundang-undangan yang ada, serta menjaga keutuhan dan persatuan bangsa sesuai dengan posisi kita. Di samping mendedikasikan karya kita untuk kejayaan bangsa. Bukan sebaliknya, menunjukkan ketidakpatuhan (disobenian) atau berbuat perlawan terhadap bangsa dan negara.

Baca Juga:  Tipu Daya Setan dalam Merusak Akidah: Sebuah Pengantar tentang Rencana Setan dan Fitrah Manusia

Dalam konteks kemanusiaan, kita memiliki tanggung jawab untuk memberikan pengabdian kita dengan sikap dan perilaku humanis. Kita harus bisa tunjukkan sikap jujur, adil, respek, empati, toleran, moderat, cinta, anti abuse, anti diskriminasi, dan inklusif. Sikap-sikap ini yang membumi berpotensi positif untuk terciptanya kehidupan yang harmoni, damai, sejahtera, dan bahagia. Jika kita tidak mampu tunjukkan sikap dan perilaku tersebut, maka hidup damai hanya tinggal mimpi .

Selanjutnya dalam hidup beragama, kita seharusnya mengacu pada rujukan utama, sebagaimana yang Allah swt firmankan dalam QS Adz-Dzaariyaat: 56, yang artinya “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku (saja)”. Ayat ini mengandung maksud, manusia wajib melakukan ibadah kepada Sang Pencipta dalam kondisi apapun. Bahkan diperkuat dalam QS Al Faatihah: 5, yang artinya “Hanya kepada Engkaulah kami beribadah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan”.

Ayat ini memperkuat bahwa etika manusia kepada Tuhan, bahwa kita harus utamakan mengabdi dengan ibadah yang sesungguh-sungguhnya, baru kita mohon pertolongan. Kelihatannya QS Al Fatihah sering kita baca dan kurang diresapi makna ayat-ayatnya dan mengamalkannya.

Kita sangat menyadari bahwa idealnya setiap insan mau dan mampu tunjukkan pengabdiannya dalam semua settings dan konteks, namun dalam prakteknya tidaklah mudah diwujudkan. Kelemahan dan keterbatasan pribadi dan tantangan dari luar yang tidak bisa diatasi dengan baik membuat kita tidak mampu tunjukkan pengabdian yang optimal kepada Tuhan, keluarga, sahabat, masyarakat, institusi tempat bekerja, negara dan kemanusiaan. Hal ini memberikan bukti kita justru menjadi beban mereka.

Berdasarkan kondisi itulah perlu kesadaran penuh, bahwa kita memiliki kewajiban moral untuk tunjukkan pengabdian yang sudah mengrkarakter, emobodied, sehingga mengabadi kita bawa hingga akhir hayat nanti. Mengabdi menjadi kebutuhan, bukan beban. Mengabdi menjadi kebanggaan, bukan kesedihAn. Mengabdi menjadi kehormatan, bukan kehinaan. Mengabdi menjadi menyenangkan, bukan memalukan.

Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A.
Beliau adalah Guru Besar dalam Bidang Ilmu Pendidikan Anak Berbakat pada Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta. Ia menjabat Rektor Universitas Negeri Yogyakarta untuk periode 2009-2017, Ketua III Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) masa bakti 2014-2019, Ketua Umum Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia (APPKhI) periode 2011-2016, dan Ketua Tanfidliyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DIY masa bakti 2011-2016

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini