Berita

Spiritualitas; Jalan Pulang Menuju Tuhan (Part I)

Quotable quotes dari William James (1842-1910) begini, “Meski sains telah melakukan apapun yang melawan kecenderungan ini (spiritualitas), manusia akan terus bersembahyang sampai akhir masa. Dorongan nalurian (fitrah) untuk terus bersembahyang adalah konsekuensi niscaya dari fakta bahwa meski bagian paling dalam dari diri-empiris bersifat sosial ia hanya akan bisa menemukan Kawan yang menentramkan, yakni “Kawan-Agung”nya, dalam dunia ideal.”

Walaupun ramalan ini sudah agak kusam, sekitar tahun 1904 silam, tersurat dalam lipatan buku The Varieties of Religious Experience, tapi kebenarannya amat sulit dipatahkan. Ya, sejauh apapun pencapaian manusia di bidang sains, sosial, ekonomi dan lainnya, mahluk satu ini selalu diteror oleh rasa haus akan pencarian Sesuatu di dalam dirinya.

Spiritualitas atau keberagamaan tak pernah layu dipepet waktu dengan seluruh atribut dan cara hidup sekuler yang dipaksakan oleh segelintir manusia. Karena itu, jangan heran bilamana sosiolog sekaliber Peter Berger (1929-2017) sekalipun bisa murtad dari pandangannya sendiri dan mengimani bahwa keberagamaan umat manusia turut menguat seiring kemajuan sains dan bidang materialistik yang lain.

Di sisi lain, sekularisme yang dipuja dan diharapkan menjadi solusi bagi kehidupan manusia mendapati dirinya, seperti apa yang diungkapkan Gilles Kepel (L. 1955), justru menimbulkan rasa kecewa, fragmentasi sosial, ketaksetiaan pada nilai-nilai luhur, menguatkan sikap permisif, menumbuh-suburkan kriminalitas yang tak bisa dibendung bahkan oleh hukum negara, berikut ekses-ekses memprihatinkan lainnya.

Dari situ lalu muncul dan menguatlah dugaan akan kebangkitan minat keberagamaan umat manusia. Mereka merindukan kembali nilai-nilai universal, bahkan berupaya mencari apa, yang disebut oleh Samuel P. Huntington, sebagai “sumber identitas baru, bentuk baru masyarakat yang stabil dan perangkat moral untuk memberikan kembali makna dan tujuan hidup mereka.”

Baca Juga:  Spiritualitas dalam Masa Menstruasi

Dengan demikian relevansi fitrah keberagamaan manusia memang tak dapat dinodai oleh pencapaian dalam bidang apapun, tak terkecuali globalisasi dan piranti dunia lainnya. Namun sayang, potret kehidupan tak berhenti di situ, keniscayaan sikap keberagamaan kadang dibunuh oleh keputusasaan dan disorientasi terhadap kebenaran, kebaikan dan nilai universal dalam agama, sehingga beberapa manusia dari masyarakat agama justru mengutuk diri mereka menjadi penganut fundamentalisme.

Radikalisme dan terorisme pun menetas, lahir dari selangkangan agama, hasil perselingkuhan fanatisme dan keputusasaan terhadap kebenaran yang liyan. Mereka memonopoli kebenaran, sibuk dengan kaplingan surga di akhirat sana, tak melihat setitik cahaya pun di dunia, kecuali yang bersumber dari dogma pikiran picik mereka sendiri.

Tapi apakah memang kesalahan mereka secara personal? Atau ada sistem yang mencetak mereka sedemikian canggihnya? Seperti yang pernah disitir Noor Huda Ismail tentang lethal coctail (campuran mematikan) terkait 3 faktor yang memicu dan memacu seseorang mengakses jalan ekstrimisme, antara lain: individu termarjinalkan, ada kelompok yang memfasilitasi dan ideologi yang membenarkan. Ibarat setali tiga uang, semua saling mengokohkan, menopang di satu sisi dan sekaligus membenarkan tindakan mereka, di sisi lainnya. Lalu terciptalah segerombolan manusia yang membawa paham fundamentalisme dan militansi kesalehan beragama yang tak sesuai tempatnya.

Seperti dikabarkan pujangga hebat kita, Ranggawarsita, zaman kita adalah zaman Kalabendu. Apalagi masyarakat miskin yang serba kekurangan, bahkan orang-orang kaya sama sulitnya bertahan hidup di persada dunia, mereka ditimpa kesibukan memuakkan, informasi yang memekakkan, dikepung oleh kebudayaan yang di tiap detiknya justru menjauhkan mereka dari nilai manusiawinya, hingga didapati bahwa setiap orang sibuk menggendong luka tanpa tahu di mana ia harus menyembuhkannya.

Jika sedemikan kacau, di manakah titik terang persoalan dan solusi yang bisa dijumpai? Mari mulai meraba.

Ach. Khoiron Nafis
Mantan Lurah PP Baitul Hikmah & Alumnus STF Alfarabi

Rekomendasi

1 Comment

  1. […] sebagai makhluk spiritual. Pengorbanan sebagai bentuk pertaubatan Inilah yang menjadi ekspresi spiritualitas “awal” yang paling […]

Tinggalkan Komentar

More in Berita