Akhir tahun adalah moment yang sangat dinantikan oleh banyak orang. Sebab, tak jarang orang menganggap bahwa pada akhir tahun akan banyak waktu luang (baca;libur). Sebagian orang melewati akhir tahunnya untuk healing atau bahkan sebagian yang lain masih tetap berjibaku untuk menyelesaikan laporan dan tugas-tugas yang belum usai. Apapun kegiatan penutup akhir tahun, tentu memiliki makna dan kesan dalam setiap lini kehidupan manusia.
Selaras dengan suasana akhir tahun, saya pribadi melewati akhir tahun 2022 dengan mengikuti kegiatan yang diadakan oleh Ma’had Al-Jami’ah UIN Raden Intan Lampung. Kegiatan itu bernama ‘Literasi Kebudayaan’. Mudir Ma’had mengatakan, kegiatan itu dinamakan literasi kebudayaan, sebab—selepas kegiatan telah usai, seluruh peserta diharapkan untuk menulis kembali catatan perjalanan selama kegiatan berlangsung. Selain itu, kegiatan tersebut adalah sebuah rihlah untuk memperluas wawasan kebudayaan yang ada di Indonesia.
Salah satu tempat yang kami kunjungi—juga cukup menarik dan perlu untuk terus digali informasi dan sejarahnya—adalah Gunung Tidar. Gunung Tidar terletak di kawasan kebun Raya Tidar, yang berlokasi di Magelang Jawa Tengah. Untuk sampai ke puncak Gunung Tidar, kami perlu menaiki anak buah tangga yang jumlahnya cukup banyak. Kabarnya ada sekitar 1002 anak buah tangga untuk sampai ke puncak Tidar dan kemudian turun kembali.
Saat berada di kawasan Gunung Tidar, kami disambut oleh nuansa alam yang tampak asri dengan diselimuti udara yang sangat segar. Hal itu disebabkan karena memang kawasan Kebun Raya Tidar banyak dikelilingi pohon pinus. Selain sebagai objek wisata alam, Gunung Tidar juga dijadikan sebagai objek wisata religi. Salah satunya terdapat makam Syekh Subakir. Sesaat sebelum sampai ke puncak Tidar, maka pengunjung akan menemukan makam Syekh Subakir.
Siapakah Syekh Subakir? Tak banyak orang mengetahui kisah Syekh Subakir, padahal beliau adalah Ulama besar periode pertama sebelum walisongo. Syekh Subakir adalah salah satu Ulama yang dikirim oleh Sultan Muhammad dari Kesultanan Turki Utsmaniyyah untuk menyebarkan ajaran Islam ke Nusantara. Menurut keyakinan masyarakat, Syekh Subakir adalah seorang Wali yang memiliki karomah untuk melawan kekuatan ghaib.
Konon Syekh Subakir dikenal sebagai ‘Sang Penakhluk Tanah Jawa’. Cerita ini diawali saat dahulu pulau jawa dikenal dengan pulau yang dipenuhi hutan belantara, terkenal angker dan banyak dihuni oleh dedemit jahat—sehingga tak sedikit dari masyarakat yang akhirnya meninggalkan pulau Jawa dan enggan menerima ajaran Islam sebab kokohnya keyakinan dan tradisi masyarakat terhadap hal ghaib.
Diceritakan bahwa dedemit yang menghalangi ajaran Islam di tanah Jawa berasal dari Gunung Tidar. Nama ‘Tidar’ sendiri diambil dari kata mati dan modar. Legenda yang beredar—konon setiap yang datang ke Gunung Tidar dipastikan akan meninggal dunia. Untuk itu Syekh Subakir datang dan berusaha menumpas dan memerangi jin penungggu Gunung Tidar dengan membawa batu hitam dari Arab yang telah beliau rajah, kemudian beliau tancapkan di puncak Gunung Tidar. Puncak Gunung Tidar diyakini sebagai titik sentral atau pakunya tanah jawa. Selain itu, menurut versi lain—untuk membersihkan wilayah gunung Tidar dari bangsa jin, syekh Subakir juga membawa tombak kyai Panjang yang ditancapkan di puncak Tidar sebagai isyarat penolak balak. Tombak itulah yang saat ini masih dirawat oleh masyarakat dan ditempatkan di puncak Tidar dengan nama petilasan Makam Tombak Kyai Panjang. Berkat perjuangan Syekh Subakir itulah, tanah jawa kemudian netral dan aman dari gangguan makhluk halus.
Itulah sekelumit kisah Syekh Subakir menurut beberapa versi. Meskipun kegiatan literasi kebudayaan ini terdapat kunjungan ziarah. Namun ziarah yang dimaksudkan bukan hanya mengunjungi makam saja. Namun kita diajarkan untuk mengenal sejarah, tradisi, bahkan kontribusi dan peran bagi pembangunan ekonomi bagi masyarakat sekitar pemakaman. Meski dalam banyak versi, Syekh Subakir dikabarkan kembali ke negaranya—dan makam di Magelang itu hanyalah petilasan—Namun dengan penuh harap, antara lain tujuan ziarah ini adalah sebagai bentuk penghormatan terhadap rekam jejak dan jasa Syekh Subakir dalam penyebaran agama Islam. (Wallahu A’lam).[]