Terkadang kita menemui orang – orang yang terlihat saleh dan khusyuk. Dari lisannya juga selalu terucap kata – kata bahasa arab. Namun dalam bersikap seolah kebenaran hanya miliknya, mudah menyalahkan hal – hal yang berbeda dengan dia meski hanya furu’iyah. Lantas mengapa mereka bersikap demikian. Sedangkan semua agama mengajarkan kebaikan dan kerukunan.?
Hal seperti ini mungkin dikarenakan kurang banyaknya ilmu atau bisa juga emosinya lebih tinggi dari intelektualnya. Jikalau saja orang – orang seperti ini mau mempelajari kitab – kitab fikih, pasti ada beberapa khilaf antar Imam. Bahkan Imam Syafi’i yang merupakan murid dari Imam Maliki pun mempunyai beberapa khilaf yang sangat banyak. Namun sikap Imam Syafi’i pun menghargai khilaf – khilaf tersebut.
Pernah suatu ketika Imam Syafi’i berkunjung di masjid Imam Hanifah dan melaksanakan solat subuh, beliau tidak qunud. Sampai – sampai Imam Hanifah pun bertanya, “Bukankah anda presidennya qunud, kenapa tidak qunud ?”. “Tidak, saya menghargai anda sebagai tuan rumah” jawab Imam Syafi’i. Betapa besar toleransi para Imam dalam perbedaan – perbedaan furu’iyah.
Cara pikir yang dibangun yakni memulai beragama dari keinginan ideal, bukan dari niat dan komitmen menjalankan agama inilah juga sering menimbulkan pemikiran – pemikiran garis keras. Mereka lupa adanya kaidah ushul fiqh مالايدرك كله لايترك كله (maa laa yudraku kulluhu, laa yudraku kulluhu), jika tidak bisa mendapatkan seluruhnya, jangan tinggalkan seluruhnya.
Berpikir bahwa dialah yang paling benar, dan merasa Allah pun pasti membenarkan apa yang dilakukan dan dipikirkannya adalah suatu kesalahan. Jangan lupa Allah SWT adalah Zat yang maha segalanya, tidak ada seorangpun yang bisa memaksa, bahkan seorang nabi dan rasul. Nabi Musa pun pernah berkhidmat kepada seorang wali yang bernama Barkh, ketika beliau dan umatnya meminta hujan namun tidak di kabulkan oleh Allah SWT.
Contoh kasus lain, dalam kisah sahabat yang masih semasa dengan Rasulullah. Uwais al Qarni, dia tinggal di sekitar Yaman, para sahabat disekitarnya dengan suka cita berbondong–bondong ke Madinah untuk sowan. Tapi karena dia mempunyai ibu yang egois, dia lebih memilih merawat ibunya. Di mata para sahabat dia tidak benar, tapi ternyata di mata Allah SWT dialah sahabat terbaik di masanya. Bahkan Rasulullah pun berpesan kepada Abu bakar sepeninggalnya nanti, apabila suatu saat nanti Abu Bakar bertemu dengan Uwais al Qarni, dia disuruh untuk minta didoakan oleh Uwais al Qarni.
Perbanyaklah ilmu, semakin banyak ilmu, kita akan mampu melihat suatu permasalahan maupun perbedaan dari berbagai sudut pandang. Setiap khilaf yang terjadi saat ini, pasti mereka mempunyai sanad ilmu yang digunakan sebagai pedoman. Dengan keluasan sudut pandang, kita mampu mengambil sikap yang bijaksana.
Hidup adalah sebuah perjalanan, kita tidak bisa memvonis seseorang sembarangan sebelum orang itu meninggal. Maghfiroh Allah SWT sangatlah luas, kita tidak akan mampu membayangkannya. Bahkan kepada orang kafir kita dilarang melaknat, apalagi sesama penyembah Tuhan yang satu –Allah SWT-, berselawat kepada Rasul yang sama –Muhammad SAW-.
لَيْسَ لَكَ مِنَ ٱلْأَمْرِ شَىْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَٰلِمُونَ (Laisa laka minal-amri syai`un au yatụba ‘alaihim au yu’ażżibahum fainnahum ẓālimụn) (QS, Ali Imran; 128). Pahami asbabun nuzul ayat ini, carilah kisah sahabat Nabi bernama Waksi, bacalah cerita tragis Saklabah.
Ngaji itu harus khatam, karena di dalam kitab – kitab memang ada bab – bab yang mengharuskan untuk tegas, namun di dalam bab – bab tentang tawaduk seperti dalam Bidayatul, Nashoihul Ibad, ada beberapa yang mengharuskan kita toleran.Kitab – kitab tadi ditulis oleh alim alamah, dengan rujukan dan perbandingan berbagai macam pemikiran. Bukankah dalam salat, kita selalu membaca صِرَاطالَّذِينَ, “ladzina” yaitu orang – orang saleh alim alamah. Dalam beragama kita harus meniru, meniru orang- orang saleh. Ulama adalah warasatul anbiya’, pewaris para nabi.
Wallahua’lam. [HW]