Ketika Mas Ziaul Haq, pendiri Komunitas Santri Jagad sowan kepada Mbah KH. Maimoen Zubair, dia bersama tamu dari berbagai daerah berdesakan di ruang tamu beliau, mendengar pitutur bijak dari ulama sepuh ini. Perbincangan semakin asyik karena para tamu yang hadir juga berasal dari orang-orang pesantren. Jadinya pembicaraan nyambung dan dialogis.

Di tengah perbincangan dengan para tamu, ada seorang pemuda masuk ruangan. Usianya mungkin setara dengan umur remaja lulusan SMA. Dia sungkem Mbah Moen, lantas memperkenalkan diri, lalu menyodorkan lembaran kertas bertuliskan Arab. Dia melapor, “Pak kiai, saya dapat kertas ini dari orang di jalan, tapi saya tidak paham. Ini bacanya bagaimana ya?”

Para tamu geleng-geleng. Bagi mereka, ini pertanyaan remeh. Ibaratnya, urusan nyetater motor kok ditanyakan ke Valentino Rossi. Terlalu receh, dalam istilah netizen. Tapi tidak dengan Mbah Moen. Beliau tersenyum, lalu membacanya. Kemudian menyerahkan kertas itu kepada si pemuda yang lugu tadi. Beliau memandanginya dengan lembut sambil berujar, “Ya kamu bawa kertas ini, carikan guru untuk ngaji, biar bisa baca ya.”

Tindakan ini keren, menurut saya. Beliau ulama besar, tapi masih melayani pertanyaan dari awam. Menyadari tamunya berasal dari kalangan yang nol puthul bahasa Arab, beliau tidak merisaknya. Beliau tidak merasa tinggi lantas pilih-pilih tamu. Yang dilakukan justru mengarahkannya ke guru yang bisa membimbing pemuda tersebut.

Mbah Moen memang tidak pernah menyepelekan sesuatu yang dianggap ringan, enteng, atau sepele bagi orang lain. Bagi beliau, amalan berniat besar seringkali berwujud pada hal-hal yang sepele. Dalam sebuah kesempatan, beliau dhawuh,

Jika engkau bukanlah seseorang yang menguasai banyak ilmu agama, maka ajarkanlah alif, ba’, ta’ kepada anak-anakmu. Setidaknya itu menjadi amal jariyah untukmu, yang tak akan terputus pahalanya meski engkau berada di alam kuburmu.

Mengajar alif, ba’, ta’ alias huruf hijaiyah mungkin terasa remeh. Bahkan, terlihat tidak mentereng. Namun, Mbah Moen melihat apabila hal ini bisa menjadi peluang mulia bagi orang untuk mendidik anak-anaknya, sehingga bernilai amal jariyah yang pahalanya senantiasa mengalir.

Baca Juga:  Bagi-Bagi Tugas ala Gus Dur dan Gus Im

***

Dalam Ta’limul Muta’allim, Syekh Burhanuddin Az-Zarnuji memiliki tiga kriteria guru ideal. Pertama, al-A’lam alias tinggi keilmuannya; kedua, al-Awra’ (tinggi sikap wira’i/ menjauhi keharaman), dan al-Asan (berusia sepuh/matang).

Kita sepakat apabila kriteria ini melekat pada pribadi Mbah Moen. Siapapun bisa sowan kepadanya. Ibarat samudera, beliau menerima (si)apapun yang mengalir kepadanya. Tanpa membeda-bedakan. Ruang tamu ndalemnya yang sederhana, menjadi saksi bahwa presiden, menteri, tokoh partai, petani, nelayan, kiai, guru TPQ mendapat perlakuan yang sama. Para tetamu meminta nasehat, pitutur, kebijaksanaan, hingga doa. Beliau melayaninya dengan sabar di tengah jadwal yang padat dan kondisi kesehatan yang seringkali naik turun karena usia beliau yang uzur.

Beliau bukan hanya guru ideal bagi kalangan pesantren dan nahdliyyin, melainkan guru bagi umat Islam dan bangsa Indonesia. Jiwa pendidik, sang pemomong, ini bahkan melekat hingga akhir hayat. Di mana dalam banyak kesempatan beliau mengajak kepada hadirin yang mendengarkan ceramahnya, maupun tamu yang sowan di kediamannya, untuk senantiasa bersyukur menjadi umat Islam dan bangsa Indonesia. Tidak pernah terlontar dari lisan beliau caci maki dan kata-kata merendahkan. Apalagi upaya mengadudomba umat Islam dan meremukkan persaudaraan antar anak bangsa. Beliau adalah guru, resi, begawan, yang sulit dicari penggantinya.

Karena itu, ketika beliau wafat, di berbagai akun medsos saya menyaksikan, yang merasa kehilangan bukan hanya umat Islam, melainkan  juga umat beragama lain. Sebab, selama hidupnya Mbah Moen bukan hanya menjadi guru bagi santri al-Anwar saja, bagi nahdliyyin saja, bagi umat Islam saja,  melainkan guru bagi bangsa ini.

Wallahu A’lam Bisshawab

Rijal Mumazziq Zionis
Pecinta Buku, Rektor INAIFAS Kencong Jember, Ketua LTN NU Kota Surabaya

    Rekomendasi

    1 Comment

    Tinggalkan Komentar

    More in Kisah