Siapa yang tidak kenal dengan Husein Haikāl? Ya, namanya melambung berkat karya sīrah-nya yang sangat populer. Muhammad Husein Haikāl adalah salah satu penulis produktif dari Mesir yang menulis buku best seller berjudul “Hayāt Muhammad“. Buku ini terbit pertama kali dalam versi bahasa Arab pada tahun 1935.
Buku “Hayāt Muhammad” berhasil diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Buku sīrah Nabi ini diklaim sebagai buku sīrah pertama dengan pendekatan yang berbeda dibanding karya-karya sīrah sebelumnya. Buku sīrah ini ditulis berbasis pada ilmu pengetahuan dan penalaran rasional (al-mazhab al-ilmī) semata.
Haikāl menulis begini dalam bukunya:
إنني لم آخذ بما سجلته كتب السيرة والحديث لأنني فضلت أن أجري في هذا البحث على الطريقة العلمية…
Maksudnya: “Sungguh, saya tidak mengambil apa yang ditulis dalam buku-buku sejarah klasik dan kitab-kitab hadis, karena saya lebih memilih untuk menempuh metode ilmiah dalam pembahasan ini…”
Jika ditelusuri lebih jauh, gaya penulisan sīrah semacam ini merujuk pada penulisan sejarah ala Sigmund Frued. Dalam menuliskan sejarah, ia tidak menyajikan sejarah dengan apa adanya. Tetapi, disertai penafsiran asumtif terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi, sebab dibalik terjadinya peristiwa dan berujung pada klaim benar-tidaknya sebuah sejarah. Baginya, menulis sejarah tidak hanya sekadar menukil sejarah tanpa menganalisisnya.
Para tokoh aliran ini yang oleh al-Būtī disebut sebagai al-mazhab al-dzātī tidak menganggap masalah jika sejarawan melibatkan kecenderungan pribadinya dalam pemikiran, agama, atau kecenderungan politiknya dalam menyusun, menafsirkan dan menilai berbagai peristiwa dan para pelaku sejarah dalam menganalisis sejarah (hlm. 21).
Metode Haikāl untuk menulis sīrah dengan pendekatan rasional inilah yang mendapat kritik tajam dari al-Būtī. Karena bagi al-Būtī menulis sīrah Nabi harus berbasis pada data secara objektif (tanpa tendensi apapun) dan transparan (apa adanya). Bukan seperti yang dilakukan Haikāl dengan pendekatan subjektif yang bertumpu pada interpretasi akal dan asumsi-asumsi pribadi yang dipaksakan.
Kritik al-Būtī ini ditulis dalam bagian pendahuluan dalam salah satu bukunya yang berjudul “Fiqh al-Sīrah al-Nabawiyah Ma’a Mūjaz li Tārīkh al-Khilāfah al-Rāsyidah“. Menurut al-Būtī, penulisan sirah Nabi beraliran subjektif (al-mazhab al-dzātī) seperti yang dianut Haikāl ini sangat berbahaya. Karena dapat merusak dan mengaburkan fakta-fakta berbagai peristiwa sejarah.
Lebih jauh, hal itu terjadi karena pengusung aliran subjektif cenderung menuruti aneka firasat dan syahwat pribadi serta fanatisme buta. Menurut al-Būtī, banyak fakta yang terhapus, peristiwa yang terdistorsi, orang-orang yang tidak bersalah terzalimi di bawah dominasi “vonis” ngawur yang sewenang-wenang dengan pendekatan al-mazhab al-dzātī ini (hlm. 21).
Dari sini, menurut al-Būtī interpretasi rasional terhadap fakta sejarah justru akan terjebak pada akal-akalan untuk menafsirkan peristiwa yang terjadi di masa Nabi saw. Lebih dari itu, terkesan sengaja menghilangkan sisi-sisi kemukjizatan Nabi itu sendiri. Karena seluruh kejadian yang luar biasa dan bertentangan dengan kewajaran sebab tidak masuk akal diklaim sebagai peristiwa yang a-historis.
Hal ini terjadi karena barometer kebenaran fakta dan peristiwa diukur oleh akal semata. Peristiwa yang tidak masuk akal maka diyakini hal itu sebagai sesuatu yang mustahil dan tidak rasional, sehingga peristiwa itu harus dipinggirkan dari sejarah Nabi.
Misalnya, Haikal menafsirkan peristiwa Isrā Mi’rāj sebagai perjalanan ruh dan hanya dalam alam mimpi belaka. Padahal, telah jelas dalam QS al-Isrā [17]:1 sebagai perjalanan jasmani. Demikian halnya, batu yang dibawa burung Abābil (hijārah min sijjīl) yang ditafsiri sebagai penyakit kulit (cacar), meskipun ada ayat al-Quran yang tegas menyebutkan hal itu (hlm 24).
Selain itu, penafsiran bahwa kenabian Rasulullah saw, juga keimanan para sahabat kepada beliau, dan segala penaklukan Islam sebagai bentuk revolusi (pemberontakan) terhadap Arab Jahiliyah yang dipicu oleh motif-motif ekonomi dan sebagai bentuk perlawanan kaum proletar terhadap kaum borjuis di Jazirah Arab.
Menurut al-Būtī, sumber sejarah penulisan Sīrah nabi seharusnya bertumpu pada hal berikut: (1) al-Qurān sebagai sumber otentik dalam mengenali seluruh sisi kehidupan Nabi; (2) kitab-kitab hadīs yang disusun para imam hadis yang terkenal jujur dan amanah; (3) para periwayat yang menaruh perhatian pada Sīrah dan kehidupan nabi saw.
Oleh karena itu, tugas utama para penulis sirah Nabi saw., sejatinya hanyalah memastikan mana fakta yang benar-benar terjadi dengan metodologi ilmiah yang standar dalam khazanah Islam, yakni berbasis kaidah “musthalah al-hadīs” yang berkaitan dengan sanad dan matan dan kaidah “jarh wa ta’dīl” yang berkaitan dengan perawi, termasuk biografi dan keterpercayaan-nya.
Melalui pendekatan ini, sīrah Nabi saw. ditulis tanpa melibatkan imajinasi, perasaan maupun “penafsiran liar” dalam memaknai alur sejarah tersebut. Fokusnya adalah menjaga riwayat peristiwa yang disusun terbebas dari manipulasi dan distorsi. Model penulisan sīrah semacam inilah yang digunakan para sejarawan di abad awal Islam.
Jadi, kritik al-Būtī atas karya Haikāl sejatinya sebagai upaya proteksi dari munculnya tafsiran-tafsiran peristiwa sejarah yang justru menghilangkan sisi-sisi kemukjizatan Nabi saw. sebagai utusan Tuhan. Karena setiap peristiwa yang luar biasa dan tak terjangkau oleh akal manusia harus diyakini sebagai mukjizat Nabi yang menjadi bukti kenabian yang tidak terbantahkan.
Menurut saya, menafsirkan peristiwa sejarah itu penting dalam konteks memahami sosio-historisnya. Inilah yang digagas sosiolog muslim, Ibn Khaldun sebagai filsafat sejarah. Tentu saja, filsafat sejarah ini digunakan untuk memahami konteks peristiwa yang terjadi sehingga dapat dipahami secara komprehensif.
Akan tetapi, yang harus dicatat adalah jangan sampai menafsirkan sejarah berbasis penalaran sosio-historis dan rasional itu justru menafikan aspek-aspek kemukjizatan Nabi sebagai bukti kebenaran kenabian Nabi Muhammad saw. Wallāhu a’lam. [HW]