Konflik Sosial Keagamaan di Poso: Latar Belakang dan Upaya Penyelesaian Konflik
Agama dan Konflik Sosial

Timbulnya berbagai konflik sosial yang terjadi di masyarakat akhir-akhir ini disebabkan oleh berbagai macam faktor, contohnya saja seperti faktor ekonomi, ideologi, kekuasaan, bahkan faktor agama.

Pada hakikatnya kehadiran agama oleh pemilik-Nya, dimaksudkan sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia. Dalam kedudukannya, agama melalui nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mengajarkan kepada manusia akan perdamaian, kebersamaan sekaligus menebar misi kemaslahatan bagi lingkungan di sekitarnya. Namun dalam segi realitas sosiologisnya, agama tidak seideal seperti yang diharapkan. Sering kali agama tampak ternoda dalam kecamuk konflik sosial, budaya, dan politik. Demikian itu sebenarnya bukan kesalahan ajaran agama itu sendiri, namun disebabkan oleh human error, yakni sikap sebagian para pemeluk yang kadang kala menafsirkan ajaran teologis-normatif secara sembarangan.

Menempatkan agama sebagai satu varian potensi penyebab konflik sosial adalah hal yang tidak mudah. Demikian ini, karena agama dianggap sebagai ajaran yang selalu diasosiasikan dengan ajaran yang penuh dengan nilai kedamaian dan keselamatan. Sementara dalam suatu konflik sosial yang diikuti dengan tindak kekerasan terdapat hal-hal yang dapat menimbulkan kerusakan, kehancuran bahkan kematian. Hawa sejuk agama sangat tidak mungkin jika disandingkan dengan hawa panas kekerasan. Fakta kerap kali menunjukkan bahwa agama dapat menyebabkan terjadinya tindakan kekerasan. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah pemeluk agama yang menjadikan doktrin agama sebagai faktor penyebab kekerasan yang mereka lakukan. Contohnya saja konflik sosial keagamaan yang terjadi di Poso, Sulawesi Tengah.

Latar Belakang Terjadinya Konflik Poso

Secara historis, awal mula konflik ini dimulai pada tahun 1992  dan tahun 1995 ketika terjadi beberapa peristiwa pertikaian para keluarga politisi di Poso. Dimana dua peristiwa tersebut mengatasnamakan agama, sehingga membuat beberapa orang tidak terima dan merasa harus ikut campur. Namun kedua pertikaian ini akhirnya bisa diredam dan didamaikan sehingga suasana kembali normal. Beberapa rangkaian peristiwa konflik juga sempat terjadi antar suku dan komunitas, sampai akhirnya pada tahun 24 Desember 1998 ketika rezim orde baru jatuh dimana pada saat ini Indonesia mengalami krisis dan pergantian pola pemerintahan demokratis, sehingga hal ini juga menjadi pemicu konflik Poso kembali memanas. Konflik sosial ini berkaitan dengan perebutan kekuasaan dan ekonomi yang mengatasnamakan agama. Pada saat itu jika dilihat secara historis penduduk asli Poso merasa tersingkirkan dengan datangnya penduduk lain. Mereka yang sebagian besar beragama Kristen merasa identitas atas daerahnya sudah pudar terutama jika dilihat dari status sosial.

Baca Juga:  Bahasa Agama yang Hidup

Kehadiran pendatang yang sebagian muslim telah mengubah tatanan sosial dan ekonomi penduduk asli Poso. Dimana dipercaya para pendatang mengambil alih dan menguasai berbagai aspek sosial, ekonomi, dan politik. Seperti pada saat itu pendatang lebih mendapatkan keuntungan besar pada tanaman coklat di tahun 1992. Karena latar belakang tersebut terjadilah kesenjangan sosial bagi penduduk asli yang merasa tersingkirkan. Selain itu, faktor pemicu konflik yakni penduduk asli merasa tersaingi pada status politiknya. Dimana kursi kepemimpinan diambil alih oleh pendatang (muslim). Dimana elit politik muslim mendapatkan keuntungan kursi kekuasaan pada saat pemilu. Padahal sebelumnya, ketika belum diterapkannya desentralisasi Poso menganut konsep sharing power yang ditinjau dari dominasi agama untuk menghormati keberagaman sampai rotasi sharing power ini berakhir pada tahun 1999. Pada tahun ini, komposisi politik sudah berdasarkan suara terbayak dan kebetulan pada kepemimpinan setelah orde baru kursi kepemimpinan di Poso kebanyakan dipimpin oleh muslim.

Faktor selanjutnya yang paling mendasar adalah kondisi demografis keberagaman dengan berbagai perbedaan menjadi potensi terjadinya konflik sosial karena sangat mudah untuk terjadi provokasi satu sama lain untuk terlibat dalam konflik komunal. Sehingga sering kali menjadi senjata yang ampuh bagi para elit untuk menjadikan kendaraan politiknya ketika bersaing dengan memobilisasi masa menggunakan isu sensitif sehingga memancing konflik berkelanjutan yang masif.

Upaya Penyelesaian Konflik Poso

Kerusuhan yang terjadi di Poso telah banyak memakan korban jiwa, sehingga dari masing-masing pihak mendorong kedua belah pihak untuk mengadakan perdamaian untuk mengakhiri kerusuhan yang terjadi. Ada banyak inisiatif penyelesaian konflik yang dilakukan oleh elit provinsi dan kabupaten. Akan tetapi, upaya penyelesaian konflik justru tidak efektif karena kurangnya koordinasi antara pemerintah provinsi dan kabupaten. Selain itu, penyelesaian konflik juga diupayakan dari kalangan pemuka agama. Akan tetapi, dengan terlibatnya pemuka agama sangat disesalkan, karena tindakannya bukannya mengupayakan perdamaian bagi kelompoknya, justru pemuka agama melibatkan diri dalam konflik, sehingga membuat konflik menjadi semakin rumit dengan suasana perang agama.

Baca Juga:  Esensi Ibadah Kurban di Masa Pandemi

Salah satu upaya perdamaian yang paling penting dan berpengaruh adalah Deklarasi Damai Malino I pada Desember 2001. Upaya perdamaian ini merupakan inisiatif pendeta A. Tobondo yang menghubungi Menteri Koordinasi Politik Hukum dan Keamanan atau Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri Koordinasi Kesejahteraan Masyarakat atau Jusuf Kalla, dan Menteri Pertahanan atau Abdul Jalil. Pendeta A. Tobondo meminta agar pemerintah segera mengupayakan perdamaian di Poso, Sulawesi Tengah. Permintaan pendeta A. Tobondo mendapatkan respon yang baik oleh pemerintah melalui Menteri Koordinasi Kesejahteraan Masyarakat, Jusuf Kalla yang kemudian ditunjuk menjadi pemimpin mediator dalam upaya perdamaian di Poso. Alasan utama Jusuf Kalla ditunjuk menjadi pemimpin mediator di Poso karena Jusuf Kalla juga berasal dari Sulawesi dan juga memiliki jaringan yang luas dan kuat di Sulawesi. Dalam proses penanganan konflik di Poso, pemerintah pusat berperan sebagai fasilitator dan mediator bagi upaya perdamaian di Poso sedangkan yang menjadi penentu dalam penyelesaian konflik merupakan masyarakat yang bertikai yaitu dari kelompok Islam dan Kristen itu sendiri.

Pertemuan dan mediasi antara kedua belah pihak yang bertikai menghasilkan kesepakatan untuk mengakhiri konflik dan bekerja sama untuk menjaga perdamaian di Poso, Sulawesi Tengah. Proses mediasi yang dipimpin oleh Jusuf Kalla melahirkan Deklarasi Malino yang mencakup 10 poin yang telah disepakati kedua belah pihak, yang ditandatangani oleh semua pihak dari kedua belah pihak yang menghadiri pertemuan di Poso, pejabat tinggi Sulawesi, dan beberapa aparat yang berwajib. Deklarasi Malino ini sendiri merupakan cerminan dari keinginan masyarakat Poso untuk memiliki kehidupan yang damai seperti sedia kala sebelum adanya konflik. []

Daftar Pustaka

Alganih, Igneus. “Konflik Poso (Kajian Historis Tahun 1998-2001).” Jurnal Criksetra, vol. 5, no. 10 (2016): 166–174.

Baca Juga:  Ijazah Kerasan Mondok

Latifah, Nur. “Agama, Konflik Sosial Dan Kekerasan Politik.” Fondatia, vol. 2, no. 2 (2018): 154–67.

Widayat, Ilovia Aya Regita, dll. “Konflik Poso : Sejarah dan Upaya Penyelesaiannya.” JUPIIS: Jurnal Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial, vol. 13, no. 1 (2021): 1–9.

Ryska Nur Ramadhani
Mahasiswi UIN Maulana Malik Malang

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini