pelajaran di balik mengantre

Mengantre masih menjadi hal sulit untuk dilakukan, terutama di Indonesia. Padahal mengantre adalah satu dari sekian cerminan negara maju. Di mana dari  proses mengantre banyak hal bisa ditilik dan berbagai gambaran yang sedikit atau banyak mewakili suatu bangsa dapat dilihat dengan gamblang.

Sekitar dua hari yang lalu—pagi hari—saya terhenyak ketika melihat dan membaca sebuah postingan gambar di salah satu akun instagram yang menampilkan bahwa di Australia seorang guru lebih takut siswanya berlaku buruk dalam mengantre ketimbang berlaku buruk dalam matematika. Ini tentu bukan tanpa sebab.

Alasan yang diutarakan seorang guru—dalam slide lanjutan dari postingan tersebut—jika dirinya cukup waktu setidaknya tiga bulan untuk dapat memahamkan matematika kepada seorang murid. Namun butuh waktu belasan tahun untuk memahamkan pentingnya mengatre kepada seorang murid, bila hal ini tidak diajarkan maka sebagus apapun kemampuan matematika seorang siswa tersebut itu hanya menjadi pengetahuan dan tak berdampak apa pun terhadap perilaku murid.

Mengantre di masyarakat Indonesia masih menjadi mata pelajaran—bukan dalam hal formal—yang bernilai buruk. Hal ini setidaknya tergambar ketika kita memasuki stasiun atau loket-loket tempat biasanya tempat antrean tersedia, di situ amat mudah ditemukan orang saling serobot dan mengambil hak orang lain tanpa peduli bahwa dirinya ‘buru’ karena telah telat dalam antrean malah diperparah dengan menyerobot.

Tak lain daripada itu, menjamurnya para calo tiket pun turut menggambarkan bahwa buruknya budaya mengantre memang melekat erat di masyarakat kita. Dan kabar buruknya lagi hal itu bukan hanya calo tiket kereta api atau bis, namun lebih jauhi ialah calo pekerjaan dan jabatan rupa-rupanya menjadi sisi lumrah yang mudah ditemui. Kadang si calo—pekerjaan—demi memuluskan seorang yang dikenal maka ia dengan tega hati mendepak seorang yang tak disukai yang memiliki komptensi lebih dan skill mumpuni—nepotisme subur.

Baca Juga:  Kiprah Santri dalam Membangun Negeri

Menyerobot dan mengambil hak orang lain serasa masih menjadi tindakan solutif dari ketakmampuan seorang dalam banyak hal.

Pengalaman demikian—penyerobotan antrean—pernah saya alami ketika setidaknya setahun silam dalam prosesi pembayaran uang kuliah tunggal. Di suatu pagi, saya hendak membayarnya via briva, dan di ATM sudah berbaris tiga orang dan saya di posisi terakhir.

Namun ketika dua orang di depan saya telah selesai melaksanakan hajatnya, tiba-tiba datang seorang usia paruh baya menyerobot dengan dalih buru-buru lalu hendak ada urusan penting. Saya sontak terhenyak seraya membatin apakah di dunia ini yang punya urusan penting hanya dia seorang. Tidakkah ia memikirkan perasaan saya? Kejengkelan pun seketika muncul lalu membuat perasaan saya berantakan, setidaknya sampai waktu tengah hari.

Mengantre memang tidak pernah ada alam mata pelajaran secara khusus baik di sekolah maupun di kampus, pada sub materi di buku-buku pun tidak. Namun hal tersebut tidak lantas membuat mengantre menjadi hal buruk yang tak perlu diserap dalam berlaku sehari-hari atau dibuang sama sekali. Justru sebaliknya, banyak hal tak tertulis—dalam hemat saya—bisa dinalar dengan pikiran jernih dan dirasakan dengan hati nurani, termasuk mengantre.

Mengantre setidaknya mengajarkan kedisiplinan terhadap seseorang karena berarti ia telah mensiasati waktu agar dapat melaksanakan kehendaknya—dalam hubungannya dengan mengantre—secara tepat waktu. Mereka yang berleha-leha dan menganggap remeh soal waktu biasanya pemalas yang tidak mementingkan perasaan orang dan dengan santai dan kadang sedikit diskriminatif lantas memotong antrean. Maka jargon time is money lantas menjadi relevan.

Hal lain yang juga bernilai dari mengantre ialah kita dapat melihat apakah seseorang itu menghargai hak orang lain atau ia justru beretika buruk dengan tak menghargai sama sekali, menganggap dirinya istimewa. Dari mengantre sebenarnya seseorang diajarkan konsekuensi terhadap waktu. Dengan kata lain ia yang datang lebih awal maka layak mendapatkan tempat pertama dan ia yang telat atau setidaknya berselisih waktu beberapa saat maka harus menunggu di belakangnya seraya bersabar.

Baca Juga:  Nasionalisme Santri Hingga Kini

Lebih jauh, pada antrean seorang dapat mengambil hikmah serta pelajaran hidup, bahwa tak satu pun sesuatu tak memiliki proses alamnya sendiri, begitu pun mengantre. Hal bisa ditafsiri bahwa untuk mencapai suatu tempat dan tujuan, jalan pintas dan picik adalah jalan yang tak dibenarkan. Hukum alam selalu menyediakan sebab akibat, melawan hukum alam berarti melawan sifat alamiah itu sendiri.

Dan pembelajaran yang paling mutakhir dari prosesi mengantre adalah tentang belajar memiliki rasa malu. Rasa yang rasa-rasanya banyak pindah di kita dan perlu dihadirkan kembali. Mengapa demikian? seharusnya kita malu bila mengambil hak orang lain, seharusnya kita malu bila datang terlambat lalu mengharap tempat terdepan, dan seharusnya kita malu bila tak mau mengantre lalu memotong barisan demi keegoisan diri. Dan malu-malu yang lain tentunya.

Maka ke—malu—an dari mengantre perlu ditanamkan sejak dini pada Anda, saya, kita atau anak cucu kelak. Jangan sampai mengantre menjadi kata yang hanya bisa dibaca namun tak bisa dijalankan konsekuensinya. [HW]

Teni Maarif
Mahasiswa UIN Raden Intan jurusan Pendidikan Agama Islam semester 7 sekaligus Mu’allim (Pengurus Ma’had Al-Jami’ah UIN Raden Intan)

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini