Pemberitaan tentang klepon yang viral di media sosial akhir-akhir ini, menjadi perdebatan yang panjang dan menggelikan. Meskipun absurd dan cenderung satire, akan tetapi tetap saja menarik perhatian untuk dibahas lebih lanjut.
Di berbagai media online, ramai-rami membahas hal tersebut. Ada yang melihatnya dari perspektif komunikasi media, agama, hingga menggunakan alat analisis filsafat bahasa. Akan tetapi yang menjadi sorotan beberapa orang adalah ide kreatif dan etika pemasaran produk yang dijual oleh “online shop”- si pembuat meme- tersebutlah yang menjadi permasalahan serius.
Seperti tidak mau ketinggalan dengan mereka, saya pun memiliki pandangan tersendiri dalam melihat fenomena “klepon yang tidak Islami” ini dalam kaca mata “kritik nalar Arab” Abid Al-Jabiri. Di mana melalui “kritik nalar Arab” ini, Al-Jabiri ingin menjelaskan memang ada ketimpangan epistemologis antara “nalar Arab” dan “nalar Islam”.
Dalam pandangan Abid al-Jabiri, tradisi Islam secara mendasar selalu terkait dengan produk pemikiran dalam peradaban Islam, mulai ajaran doktrinal, syari’at, bahasa, sastra, seni, teologi, filsafat, tasawuf, hingga kuliner klepon –yang tengah viral di media sosial- di mana semua hal itu berdialektika antara satu sama lainnya dalam hubungan saling mengisi, mengkritik, dan bahkan menegasikan.
Al-Jabiri menawarkan tiga metode dalam menganalisis tradisi Islam atau nalar Arab, yakni: (1) strukturalis, kajian-kajian harus didasarkan pada teks sebagaimana adanya (2) analisis sejarah, dengan tujuan melihat segenap lingkup budaya, politik, dan sosiologisnya, dan (3) kritik ideologi, untuk mengungkap peran ideologi yang berkembang yang mempengaruhi fungsi sosial-politik yang terkandung dalam pemikiran tertentu.
Kemudian dari ketiga analisis tersebut al-Jabiri menghasilkan tiga pondasi epistemologi atas proyek ini, yakni epistemologi bayani, ‘irfani, dan burhani. (Qadir Muhamad, 199: 200).
Pertama, Epistemologi Bayani adalah himpunan kaidah dan aturan untuk menafsirkan wacana/kandungan pemikiran dalam teks (nash), bagaimana mengorientasikan al-far’u (kasus khusus yang tidak ada dalam teks) kepada teks sebagai al-ashlu (induk/pokoknya).
Bayani menjadikan teks sebagai sumber pengetahuannya, sumber rujukannya, dengan melibatkan nalar logika untuk mengambil kesimpulan makna tertentu, meski dalam operasinya posisi logika tidak diberi kebebasan penuh.
Rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan tertentu kecuali bersandar pada teks. Tujuan utama dalam bayani adalah syari’at, fikih, dan ushul fikih. Qiyas atau silogisme merupakan metode paling populer dalam bidang ini. Bahasa menjadi fokus utama bayani. Studi tentang tradisi Arab tidak bisa dilepaskan dari studi bahasanya sebagai “sentral rujukan” yang melandasi lahirnya sistem pengetahuan atau ideologi apa pun di dalamnya.
Karenanya, bahasa dinyatakan memiliki hubungan erat dengan pengetahuan, sehingga untuk mengetahui dasar-dasar lahirnya pengetahuan apa pun dalam dunia Arab-Islam, harus memasuki wilayah bahasanya. (Abed al-Jabiri: 18).
Dalam fenomena klepon di atas, menurut orang-orang yang memiliki epistemologi bayani ini. Klepon tidak Islami disebabkan ia salah satu kuliner bukan berasal dari Arab dan tidak menggunakan bahasa Arab.
Berbeda halnya dengan kurma dan kismis yang dalam beberapa literatur Islam (Al-Quran dan Hadis) sering sekali dijadikan contoh oleh Allah dan Nabi sebagai makanan yang dikonsumsi di zaman Nabi (baca: Nyunnah). Nalar ini digunakan oleh si pembuat meme untuk melegitimasi pengetahuannya tentang “klepon” –intinya tidak Arab berarti tidak Islami-.
Kedua, Epistemologi ‘Irfani adalah sistem pengetahuan yang diperoleh berdasarkan cara kasyf, artinya tersingkapnya rahasia-rahasia oleh Tuhan kepada seseorang personal melalui olah ruhani.
Seseorang yang diyakini memiliki kesucian hati berkat olah ruhaninya bisa memperoleh pengetahuan langsung dari Tuhan. Kata ‘irfan memiliki akar kata yang sama dengan ma’rifat, yang dalam tasawuf diterjemahkan sebagai pengetahuan tertinggi yang ditanamkan oleh Tuhan dalam hati seseorang melalui cara kasyf (mistik, gnosis, ilmuninasi).
Operasi epistemologi ‘irfani ini menggunakan metode qiyas dan syatahat. Qiyas ‘irfani berbeda operasinya dengan qiyas bayani, di mana qiyas ‘irfani lebih sebagai upaya menyesuaikan antara pengetahuan kasyf yang telah diperoleh dengan teks (nash), sehingga posisi pengetahuan kasyf lebih tinggi dibanding teks, kasyf sebagai ushul (utama) sedangkan teks sebagai fuqu’ (cabang).
Sementara syatahat ialah pengetahuan yang diungkapkan semata-mata atas dasar kasyf tanpa mengikuti kaidah apa pun. Jika qiyas ‘irfani masih melibatkan keselarasan dengan nash, maka syatahat sepenuhnya pengetahuan bebas (untuk tidak dikatakan liar) atas dasar klaim pengetahuan mistik itu.
Ungkapan “anal Haq” al-Hallaj dan “Maha Besar Aku” Abu Yazid al-Bushtami merupakan contoh nyata pengetahuan tersebut. Kalangan sufi Sunni menolak model pengetahuan ‘irfani syatahat ini, karena menurut mereka isyarah tetap harus diungkapkan dalam makna zahir teks (nash).
Dalam kasus fenomena “klepon” yang tengah viral, orang-orang yang memiliki pengetahuan irfani ini, bisa saja mengatakan bahwa klepon jauh lebih islami dibandingkan kurma. Karena pengetahuan asal-usul tentang sejarah klepon dan kurma yang kita ketahui terbatas ruang dan waktu. Maka tidak memungkinkan kita secara pasti asal-usul regional klepon itu diciptakan oleh siapa dan di mana.
Melihat dari segi manfaat dan rasanya yang menggoda selera, bisa saja klepon ini diciptakan oleh salah satu Nabi atau Wali Allah dalam zaman tertentu yang memang hanya Allah dan orang-orang tertentu yang memiliki akses pengetahuan tersebut saja yang mengetahuinya. Sehingga ketika ada pernyataan “klepon” ini tidak Islami orang-orang yang memiliki pengetahuan irfani melihatnya tidak demikian.
Ketiga, Epistemologi Burhani, adalah sistem pengetahuan yang dibangun atas dasar kekuatan nalar dan demontrasinya, eksperimentasinya, empirisasinya sekaligus. Secara istilah, burhani disebut sebagai pengetahuan yang definitif dan jelas.
Karenanya, ia membutuhkan keterlibatan intensif nalar di satu sisi dan empiris di sisi lain. Sederhananya, epistemologi ini bercorak rasionalisme dan empirisisme sekaligus, karena memang epistemologi ini dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Burhani mensyaratkan sebuah pengetahuan dinyatakan benar bila memiliki sifat benar secara logika dan atau mencapai derajat benar secara empirik.
Peranan nalar dalam epistemologi ini untuk melihat realitas dan memproduksi pengetahuan atasnya dengan menyingkap sebab (idrak al-sabab). Tak pelak, ini menuju pada upaya menemukan hukum kausalitas di balik realitas: yakni menalar “esksistensi sesuatu” untuk menemukan sebab dan akibatnya.
Burhani memang cenderung meletakkan nash dalam posisi “spirit” (makna substansialnya) belaka, namun tidak berarti burhani menafikan makna teks. Posisi teks di hadapan burhani diletakkan sebagai spirit etik/religius yang melandasi practical life yang didasarkan pada pengetahuan burhani itu, pengetahuan yang telah dilahirkan melalui mekanisme nalar logis dan pembuktiannya.
Maka maqashid al-syari’ah menjadi “ruh” dari pengetahuan burhani ini. Tetapi penting untuk segera ditegaskan bahwa burhani sama sekali tidak berhasrat untuk mengukuhkan teks atau nash, seperti pada bayani. Burhani bekerja terus-menerus melakukan analisis terhadap realitas (al-waqi’) dan melahirkan kesimpulan atau pengetahuan baru darinya secara dialektis antara nalar dan empirisisme.
Akal benar-benar memperoleh posisi tertinggi. Metode praktis yang dipakai dalam penggalian ilmu burhani ini ialah silogisme (qiyas al-jami’), induksi (al-istiqra’), dan infensia (penyatuan hal-hal yang memicu munculnya sebuah realitas), dengan mempertimbangkan sepenuhnya tujuan-tujuan, universalitas-universalitas, dan aspek kesejarahan. Dalam posisi terakhir ini (tujuan-tujuan, universalitas-universalitas, dan aspek kesejarahan), maqashid al-syari’ah menjadi nilai-etiknya bagi umat Islam.
Dalam pandangan kalangan pemilik pengetahuan burhani ini ketika melihat perdebatan klepon dan kurma, yang paling penting hal itu adalah subtansi nilai-nilai Islamnya. Sehingga apapun makanannya minumnya teh botol sosro, tergantung bagaimana cara mengolah dan memperolehnya.
Bisa saja kurma dan kismis atau makanan yang berasal dari negeri Arab yang lain menjadi makanan yang tidak Islami, ketika makanan tersebut diperolehnya dari hasil mencuri, merampok dan dari hasil-hasil perbuatan yang dilarang oleh agama Islam. Atau cara mengolahnya, kurma yang diperoleh dengan cara-cara yang halal bisa saja haram apabila diolah menggunakan minyak babi atau dengan alkhohol misalnya.
Sedangkan “klepon” –notabene bukan makanan dari Arab- bisa saja nilainya lebih Islami karena cara memperolehnya dari cara-cara yang dianjurkan oleh agama, serta cara mengolahnya tidak menggunakan bahan-bahan yang tidak dilarang oleh agama Islam. Sehingga nilai klepon dan kurma itu dapat dipebandingkan atau dinilai kadar keislamannya bukan berasal tempat kelahirannya atau bahasa untuk “menamainya”, tetapi dari subtansi nilai-nilai ajaran islam dalam memperolehnya dan mengolahnya. [HW]