Opini

Menyikapi Korona, Merefleksi Budaya

(Foto: Freepik.com)

Akhir-akhir ini, semua media sosial kita penuh sesak dengan pemberitaan tentang korona. Tak hanya media sosial, tetapi juga televisi, radio, media arus utama lainnya juga dibanjiri dengan kabar serupa. Semua bermula pada 31 Desember 2019, pihak berwenang di Tiongkok mengatakan kasus virus korona pertama muncul ditandai dengan infeksi yang gejalanya mirip dengan pneumonia yang diyakini berasal dari pasar hewan dan ikan laut di Wuhan, Provinsi Hubei.

Data statistik yang dikumpulkan oleh John Hopkins University di Amerika Serikat menunjukkan hampir 82 persen dari sekitar 75.000 kasus virus korona berasal dari kawasan ini. Dengan kata lain, inilah episentrum virus corona (BBC, 2020).

Sebenarnya, virus korona (coronavirus) adalah sekumpulan virus dari subfamili Orthocoronavirinae dalam keluarga Coronaviridae dan ordo Nidovirales. Virus korona yang sedang menjadi perbincangan hari ini adalah virus korona jenis baru dengan nama SARS-CoV-2 (Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2).

Jenis virus korona ini memicu penyakit menular yang selanjutnya dinamakan dengan COVID-19 (Coronavirus Disease 2019). Per 11 Maret 2020, COVID-19 sudah ditetapkan sebagai pandemi (wabah yang berjangkit di mana-mana meliputi daerah geografi yang luas) oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Di Indonesia, kasus COVID-19 pertama muncul pada 2 Maret 2020 dengan diumumkannya kabar tersebut oleh Presiden Joko Widodo. Menurutnya, terdapat dua Warga Negara Indonesia di Depok yang tertular virus korona setelah kontak dengan warga negara Jepang yang datang ke Indonesia. Sejak opini ini ditulis, per 25 Maret 2020, jumlah kasus COVID-19 di Indonesia sudah mencapai 686 kasus terkonfirmasi, 601 kasus dalam perawatan, 30 sembuh, dan 55 meninggal, dan diyakini jumlah ini akan terus bertambah dari hari ke hari.

Virus korona ini cepat menyebar dengan menyerang sistem pernapasan sehingga mampu mengakibatkan infeksi pada sistem pernapasan, pneumonia akut, sampai kematian. Infeksi menyebar dari satu orang ke orang lain melalui percikan (droplet) dari saluran pernapasan yang sering dihasilkan saat batuk atau bersin. Bahkan, temuan terbaru mengungkap bahwa virus korona bisa bertahan di udara dan berbagai benda mati seperti plastik, kertas, kaca, kayu, dan besi (J. Hosp. Infect, 2020).

Baca Juga:  Ramadan di Rumah

Sebagai upaya pencegahan, pemerintah dan lembaga atau perorangan secara swadaya terus mengimbau masyarakat untuk mencuci tangan dengan sabun, tidak keluar rumah, menghindari kerumunan, membatasi diri dalam berinteraksi dengan liyan, hingga muncul gerakan social distancing (pembatasan sosial) atau menjaga jarak, yang belakangan diarahkan untuk mengganti istilah tersebut dengan physical distancing (pembatasan fisik).

Kita semua sadar bahwa membatasi diri untuk berinteraksi dengan orang lain atau bahkan meniadakannya adalah hal yang tidak serta merta mudah. Kita lahir dan tumbuh besar di Indonesia, di mana budaya berkumpul, nongkrong, cangkruk, atau hang out masih mengakar di negara ini.

Bahkan, Kapolri Jenderal Idham Aziz telah mengeluarkan maklumat agar masyarakat tidak mengadakan kegiatan yang melibatkan banyak orang atau massa dalam jumlah besar baik di tempat umum maupun lingkungannya sendiri. Kegiatan yang dimaksud dapat berupa pertemuan sosial, budaya, dan keagamaan seperti seminar, lokakarya, konser, festival, bazar, pameran, resepsi, olahraga, kesenian, dan hiburan.

Ya, ini memang tidak mudah. Physical distancing boleh jadi harus menerjang budaya masyarakat Indonesia yang sangat doyan berkumpul. Interaksi secara daring melalui sambungan telepon atau WhatsApp tentu saja tidak bisa menggantikan peran interaksi tatap muka.

Imbauan untuk tidak mengadakan agenda ngumpul dan kontak fisik tentu saja akan menjadi hal yang sangat dilematis pada beberapa kelompok masyarakat kita yang kehidupannya erat bergumul dengan banyak orang. “Mangan ra mangan, sing penting ngumpul” tampaknya menjadi adagium yang harus menjalani masa libur di tengah merebaknya virus korona seperti sekarang ini.

Virus korona perlu kita sikapi secara bijaksana. Kita wajib waspada, tetapi tidak perlu cemas. Kita harus antisipatif, tidak cukup dengan hanya reaktif. Kita usahakan cara-cara preventif dengan selalu mencuci tangan menggunakan sabun dengan tepat, memakai masker jika diperlukan, makan makanan yang bergizi dengan teratur, menjaga imunitas tubuh, menghindari kontak fisik, dan #dirumahaja.

Baca Juga:  Ramadan di Rumah

Kita semua harus menyatukan pandangan, tetap sigap menghadapi virus korona ini tanpa perlu panik sampai-sampai kehilangan logika. Membiasakan pola hidup sehat, menjaga kebersihan badan dan lingkungan, serta selalu berpikir positif adalah kunci utama agar imunitas kita selalu terjaga. Upaya pemerintah melawan korona belum cukup hingga kita semua mau untuk melakukan tindakan-tindakan yang tepat dengan penuh kesadaran secara bersama-sama.

Benar jika media sosial kita banjir dengan pemberitaan korona. Di Facebook, membicarakan korona. Di Instagram, merebak foto-foto tentang korona. Di Twitter, muncul utas tentang korona. Tetapi, barangkali ini adalah realitas yang mendesak kita untuk melakukan banyak aktivitas berkualitas yang kita tinggalkan kemarin-kemarin karena sibuk bekerja di luar rumah. Barangkali, sekarang adalah kesempatan terbaik kita untuk membaca kembali buku yang kita beli setahun yang lalu, memeluk erat kembali orang tua yang lama kita tinggalkan, atau sekadar membersihkan sela-sela rumah yang luput dari perhatian kita.

Jangan-jangan, sebelum korona datang, kita memang kurang banyak membaca, kita kurang memeluk yang tersayang, dan kita kurang banyak memperhatikan isi rumah. Semoga kita bukan demikian. Fase physical distancing di rumah inilah, waktu terbaik kita untuk membangun kembali kultur membaca buku yang panjang, bukan bacaan sepotong-sepotong bak kultur digital sekarang. Di saat inilah, ada banyak waktu memeluk orang tua, pasangan, atau anak-anak kita dengan lebih lama dari biasanya.

            Waktu sekarang ini juga adalah kesempatan terbaik kita untuk beristirahat sejenak dari segala hiruk pikuk, beruzlah dari ruang publik. Kita dapat beruzlah melalui ibadah-ibadah personal, seperti laku para sufi dengan memperbanyak membaca Kitab Suci, selawat, zikir, serta bertafakur. Semoga ini adalah bentuk ibadah terbaik yang jauh dari sekadar unjuk pamer kesalehan dan mencari perhatian banyak orang.

Inilah saatnya kita melunakkan hati kita yang mengeras, perasaan paling benar sendiri, atau bahkan olok-olakan terhadap kelompok lain. Kita patut rehat dari jari-jemari yang liar menanggapi segala hal di media sosial dengan komentar yang sebenarnya kita tidak memiliki kepakaran akan hal itu. Kita harus membungkam mulut kita yang masih menyebar ujaran kebencian, fitnah, adu domba, keresahan, dan kepanikan. Saat ini, Indonesia membutuhkan solidaritas dan hati nurani untuk menghadapi musuh yang sama: korona.

Baca Juga:  Ramadan di Rumah

Kita semua harus meyakini bahwa pandemi ini bersifat temporal. Melakukan ikhtiar lahir dan batin disertai berbaik sangka secara penuh kepada Allah Swt. adalah sebaik-baiknya upaya kita sebagai manusia beragama. Setelah ikhtiar fisik dengan upaya-upaya preventif, jangan lupakan kekuatan doa agar pendemi ini lekas mereda. Doa-doa baik harus terus didengungkan dan harapan akan kesembuhan bumi kita harus terus disuarakan. Semoga dunia lekas pulih seperti sedia kala.

Kita semua butuh jeda, dan #dirumahaja adalah jeda terbaik untuk kebaikan. Di saat badai ini berlalu, kita sudah siap dengan pribadi yang lebih baik dari hari kemarin. Di saat semuanya bisa kembali mengadakan kegiatan berkumpul, saat itulah kita akan menjadi manusia yang lebih bisa menghargai, menghormati, dan menyayangi manusia lainnya dengan menundukkan sifat sombong, jumawa, culas, dan bangga diri dengan serendah-rendahnya. Wallahu a’lam.

Mohammad Ainurrofiqin
Alumnus Universitas Brawijaya. Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. PP. Sunan Pandanaran Yogyakarta. Pegiat Dunia Santri Community.

    Rekomendasi

    2 Comments

    1. Keren

      1. Terima kasih atas apresiasinya, tunggu selalu tulisan2 update dari kami

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini