Perjumpaan saya dengan K. Ng. H. Agus Sunyoto bermula saat saya diminta oleh KH. Imam Ghazali Said, bersama para santri Pesantren Mahasiswa An-Nur, Wonocolo, Surabaya, 2005, menjadi panitia bedah buku karyanya, “Sunan Ampel Raja Surabaya” (Surabaya: Diantama, 2005). Orangnya santai, suaranya agak lirih, dan jika berbicara, isinya data semua.
Perjumpaan kedua ketika beliau menjadi pembanding bedah buku karya saya, “Cermin Bening dari Pesantren” (Surabaya: Khalista, 2009) di Masjid Agung Sidoarjo, Oktober 2009. Sikap tawadlu’-nya tetap. Tidak berubah.
Yang ketiga, ketika saya mendampingi beliau dan Mas Ahmad Baso dalam menulis buku “KH. M. Hasyim Asy’ari: Pengabdian Seorang Kiai Untuk Negeri” (Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional, 2017). Rasanya bangga bisa ikut mendampingi beliau berdua dalam menyelesaikan buku yang juga beredar secara gratis dalam bentuk PDF tersebut.
Namun, yang mengesankan bagi saya adalah ketika bersama Kang Syamsudin dan Kang Arifin, sowan di kediaman beliau, 4 Maret 2015. Di kediamannya yang asri, beliau menjumpai kami selama tiga jam. Banyak topik perbincangan yang kita ambil. Soal NU, Islamisasi di Nusantara dan buku-buku yang beliau tulis, tentu saja. Tapi ada salah satu tema menarik yang saya beri porsi lebih dalam tulisan ini. Apa itu? kiprah dakwahnya.
Di Lowoksuruh, Wendit, Malang, ketika mendirikan sebuah rumah dan Pesantren Global Tarbiyatul Arifin, beliau melihat apabila desanya merupakan salah satu desa yang mayoritas dihuni orang non-mulim. Bahkan ada dua gereja di situ. Satu gereja Katolik, satu lagi gereja Kristen Shallom. Acara misi dua gereja ini berjalan dengan menyasar warga-warga miskin. Bahkan untuk mengakrabkan anak-anak dengan gereja, pengelolanya menyediakan semacam taman bermain di teras gereja. Tak heran jika Kiai Agus Sunyoto awalnya kaget melihat bocah-bocah berjilbab keluar dari komplek gereja dengan riang gembira. Rupanya mereka habis bermain-main di terasnya.
Melihat hal ini, sebagai upaya melindungi aqidah anak-anak, Kiai Agus pun memutuskan mendirikan Raudlatul Athfal (TK). Sebagai pendatang baru yang tinggal di sebuah desa dengan kompleksitas agama penduduknya, membuat Kiai Agus mempertimbangkan aspek manusiawi dan mengutamakan kecerdikan dalam dakwahnya. Sebelum pesantren binaannya berdiri disertai perintisan TK, penulis buku Atlas Walisongo ini berusaha menjinakkan kawasannya terlebih dulu. Saat itu, musala di sekitar lingkungannya belum ada. Agar pendirian mushala, pesantren serta TK tidak menimbulkan gesekan antar warga, maka Kiai Agus melakukan pendekatan terhadap pendeta dan beberapa tokoh Katolik setempat. Di sisi lain, beliau juga mengurus surat izin lembaganya ke Kemenag Malang.
Berhadapan dengan para tokoh masyarakat dan pemimpin gereja, dengan cerdik Kiai Agus menggunakan keyword “Gus Dur” sebagai pembuka. Beliau memperkenalkan diri sebagai pengurus Lembaga Seni Budaya Muslim (Lesbumi) NU, lalu mendiskusikan kerukunan umat beragama dan bingkai keislaman dan kebangsaan, dan tak lupa menyebut diri sebagai santri ideologis Gus Dur. Tak lupa, karena mereka juga menyukai Bung Karno, kiai Agus membuka ruang diskusi nasionalisme melalui jalan pikiran Bung Karno yang gandrung persatuan itu. Ampuh, melihat karakter Kiai Agus yang “en-U” banget dan melihatnya sebagai bagian dari murid Gus Dur sekaligus pengagum Bung Karno, beberapa tokoh masyarakat ini pun ikut tandatangan atas nama warga setempat dengan menyetujui pendirian lembaga pendidikan yang akan didirikan Kiai Agus.
Setelah lembaga pendidikan Islam Tarbiyatul Arifin berdiri, beliau langsung membuka pengajian untuk warga sekitar. Agar anak-anak kuat akidahnya, beliau juga mendirikan unit Raudlatul Athfal. Lucunya, ada beberapa anak-anak non-muslim bersekolah di sini dan mereka sampai hafal beberapa surat pendek. Bahkan seorang anak Kristen sampai hafal 22 surat pendek. Tahun 2015, dia bersekolah di SDN, sedangkan adiknya masih duduk di tingkat dasar RA Tarbiyatul Arifin. Di RA ini anak-anak juga diajari kesenian tari Remo sebagai wujud pelestarian budaya.
Adapun para pemuda diajari berkesenian melalui grup shalawat Al-Banjari. Di pondok ini juga terdapat langgar wakaf Sunan Kalijaga. Demi toleransi terhadap warga sekitar, Kiai Agus sengaja tidak menggunakan speaker saat mengumandangkan adzan.
Bagi saya, kiprah dakwah ini menarik. Kiai Agus tidak hendak leha-leha dan bersikap santai terhadap merosotnya akidah umat Islam di lingkungannya. Tidak atas dalih toleransi membiarkan umat terkepung misi agama lain. Beliau bersikap tegas dan peduli, lantas membuat benteng pertahanan dakwah dan pendidikan berupa pesantren dan TK. Dalam ruang toleransi, beliau juga bisa dengan leluasa menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh non-muslim di desanya. Sebagai penganut “Madzhab Gus Dur”, beliau bisa dengan lincah bergerak dalam menjalin relasi yang harmonis dengan pemuka agama lain, sebagai Nahdliyyin kukuh dalam memperjuangkan aqidah dan amaliah Aswaja melalui karya-karyanya, dan sebagai penggerak budaya, beliau tekun menjaga warisan masa lalu melalui kesenian dan kajian-kajian kebudayaan di pesantren yang beliau rintis. Wallahu A’lam Bishshawab. []