Ahmad Tohari, seorang budayawan dan sastrawan senior itu, pernah menulis sebuah esai bertajuk “Sastra Pesantren, Sastra Dakwah” pada akhir 2012. Menurutnya sastra bentuk novel memang akan sulit lahir dari kalangan pesantren, setidaknya karena satu hal, yakni masih adanya anggapan bahwa membuat karakter (pelaku) fiksi dihukum haram karena dianggap sama dengan membuat patung.
Kemudian ia melanjutkan, kenyataannya memang demikian, tidaklah banyak lahir novelis atau cerpenis dari kalangan ortodoksi, baik ortodoksi modern maupun ortodoksi tradisional. Novelis atau cerpenis Islam kebanyakan muncul dari kalangan “abangan”.
Bagaimana dengan kondisi sekarang? Pertanyaan ini tentu saja bisa dicarikan jawaban di toko buku baik offline maupun online, juga bisa dilacak di berbagai sosial media terutama Facebook. Sudah berapa banyak novel yang lahir dari kalangan pesantren.
Sebenarnya sudah banyak novelis dari kalangan pesantren yang mengisi ruang sastra di negara kita, bahkan ada juga yang dialih bahasakan ke beberapa negara. Lihatlah Novel karya Aguk Irawan MN yang sudah diadaptasi ke layar lebar berjudul Air Mata Surga, Haji Backpaker, dan kabarnya novelnya yang berjudul Titip Rindu ke Tanah Suci, Peci Miring, dan Surat Cinta Dari Surga juga sudah dikontrak oleh PH Film.
Aguk Irawan MN sendiri adalah alumnus pesantren Darul Ulum, Langitan, kemudian sekarang ia menjadi pengasuh di pesantren Kreatif Baitul Kilmah Yogyakarta. Paling tidak, hal ini menjadi argumen yang kuat bagi kaum santri bahwa catatan Ahmad Tohari pada tahun 2012 itu sudah gugur. Ada banyak novelis dari pesantren, salah satunya yang saya sebut di atas tadi, yang turut andil mewarnai corak kesusastraan di Indonesia.
Belum lagi bila kita melacak ke Facebook, banyak lahir novel-novel best seller karya kalangan pesantren yang digandrungi banyak pembaca, terutama ibu-ibu. Lihatlah novel DUR (Diary Ungu Ramaysha) karya Nisaul Kamilah. Kabarnya novel yang lahir dari tangan dingin alumnus pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas Jombang ini terjual ribuan eksemplar dalam beberapa minggu.
Barangkali inilah fenomena yang kemudian saya jadikan judul; “Ketika sastra Pesantren Masuk ke Sosial Media”, di mana sastra tidak hanya dituangkan, dibaca dan dinikmati oleh banyak orang melalui buku, melainkan melalui ruang maya bernama Facebook.
Fenomena ini patut diapresiasi, mengingat usia disiplin ilmu sastra yang berawal pada abad ke-3 SM dipelopori oleh Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Poetica, menurut Dra. Zulfahnur Z.F.,M.Pd. istilah Poetica sebagai teori ilmu sastra, lambat laun digunakan dengan beberapa istilah lain oleh para teoretikus sastra seperti The Study of Literatur, oleh W.H. Hudson, Theory of Literatur Rene Wellek dan Austin Warren, Literary Scholarship Andre Lafavere, serta Literary Knowledge oleh A. Teeuw.
Rentetan peristiwa di atas terhitung memiliki usia yang cukup tua, tapi selama ini kita belum juga merasakan keindahan estetika sastra kecuali dari buku-buku yang ada di perpustakaan atau di toko buku. Syukurlah kini, kita bisa menikmati karya sastra terutama karya sastra dari kalangan pesantren yang bisa kita akses melalui akun Facebook.
Novel DUR karya Nisaul Kamilah ini, setelah saya amati ternyata penggalan-pegalan ceritanya sudah beredar di Grup Facebook bahkan sebelum terbit. Uniknya, penulisnya selain seorang novelis juga seorang Founder Halaqoh Bisnis Online dan Halaqoh 1001 Aksara. Dua halaqoh yang ia kelola itu merupakan wadah untuk belajar bisnis online dan para koleganya di HBO dan H1A itu menjadi auto marketer karya-karya Nisaul Kamilah.
Sekali dayung, sembilan pulau terlampaui, begitu kira-kira untuk menggambarkan bagaimana kolega Nisaul Kamilah di HBO dan H1A bergerak, bila Nisaul Kamilah memposting episode terbaru tulisan novelnya, maka secara otomatis postingan itu akan dibagikan oleh kolega-koleganya yang ada di Facebook. Maka tidak heran bila Novel Dur itu bisa mendapat banyak pembaca.
Ini hal yang keren dan inspiratif bagi saya, sebab tidak mudah menggerakkan massa yang heterogen itu–untuk mencintai karya sastra lebih-lebih untuk gerakan ekonomi berskala makro. Setelah saya membaca dan membuat catatan untuk acara Launching dan Bedah Buku DUR ini, secara pribadi saya terpikat dengan Novel yang ditulis walau hanya dengan ponsel ini, bahkan saat penulisnya sedang mengandung dan mengasuh enam anak.
Terutama saya terpikat dengan penggalan kalimat Alfaraby kepada Rum ini;
“Rum apa perbedaan kamu dengan rumus Helmhotz?”
“Kalau rumus susah masuk pikiran, kalau kamu susah dikeluarkan dari pikiran.”
Menurut saya, pertanyaan semi rayuan ini sangat menggelitik, banyol tapi santifik. Saya merasakan agaknya Nisaul Kamilah ingin mempertemukan antara Sains dan Agama, juga mempertemukan antara tradisi Perjodohan di Pesantren dan dan disisipi kebijaksanaan ilmu jawa ala Keraton.
Banyak yang lebih dulu mengulas novel DUR yang tebalnya 501 halaman ini, termasuk Nisaul Kamilah sendiri sudah menulis catatan Pengantar Novel DUR (Diary Ungu Rumaysha) lebih detail dan lengkap.
Tapi saya ingin mengulasnya dari perspektif yang lain, terutama saya ingin menyampaikan beberapa catatan saya saat memoderatori Launching dan Bedah buku DUR beberapa hari yang lalu.
Pertama, dari Sastrawan dan Novelis Aguk Irawan MN, menurutnya novel DUR ini sangat pantas bila diadaptasi ke layar lebar, sebab novel ini memiliki konflik yang berlapis, hampir semua tokohnya patah hati, tapi tiap tokoh mempunyai karakter yang tangguh, sehingga mampu melalui takdirnya dengan penuh syukur.
Kedua, dari Konsultan Pendidikan dan Parenting; Dr. Evi Ghozali, menurutnya dalam Novel DUR ini terdapat banyak nilai-nilai pendidikan keluarga dan pesantren yang bisa dijadikan pelajaran untuk berkeluarga.
Ketiga, dari seorang Antropolog alumnus Fakultas Ilmu Budaya UGM, Raedu Basha, menurutnya novel ini termasuk kategori Sastra Pesantren, banyak menggambarkan tradisi dan budaya yang ada di pesantren, dia berharap kelak semoga ada novelis yang menuliskan pesantren-pesantren yang ada di luar Jawa, agar tidak muncul anggapan bahwa pesantren yang berkembang hanya ada di Jawa.
Kemudian yang terahir dari saya sendiri, saya termasuk orang yang bahagia ketika ada novel yang dialog para tokoh di dalamnya berbicara tentang ilmu, dalam novel ini banyak sekali rumus-rumus Sains, dan uniknya rumus-rumus itu digunakan untuk merayu.
Saya, meskipun Gondrong, insya Allah mencintai buku, terutama novel, dari kecintaan itu kemudian saya sering menemui novel yang terdapat banyak dialog tapi kosong, banyak huruf yang terbuang sia-sia tanpa meninggalkan bekas di ingatan, tidak juga menambahkan wawasan keilmuan.
Di dalam novel Dur ini, Nisaul Kamilah menulis rumus Rumus Matematika Helmholtz. Dalam matematika dan fisika, persamaan Helmholtz dinamakan sesuai penemunya Hermann von Helmholtz merupakan persamaan diferensial parsial?2A + k2A = 0 di mana? kuadarat adalah Laplacian, k adalah bilangan gelombang, dan A adalah amplitudo.
Persamaan Helmholtz sering muncul dalam studi fisika yang melibatkan persamaan diferensial parsial (Partial Differential Equations) pada ruang dan waktu. Persamaan Helmholtz merepresentasikan bentuk persamaan time-independent gelombang sebagai hasil dari penerapan teknik pemisahan variabel untuk mengurangi kompleksitas analisis.
Yang menarik dari rumus matematika yang rumit itu, tak ada satupun ahli matematika maupun ilmuwan dunia yang mampu memecahkan penyelesaiannya hingga Dr Yogi Ahmad Erlangga, seorang dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) datang. Warganegara Indonesia yang jenius ini berhasil memecahkan rumus matematika Persamaan Helmholtz setelah 30 tahun diutak-atik para ilmuwan.
Berkat kesuksesannya tersebut, Erlangga kini menjadi incaran kalangan pengusaha perminyakan tak terkecuali universitas tingkat dunia yang meminta kuliah umum tentang penemuannya tersebut.
Pemecahan rumus matematika Helmholtz ini memang cukup susah dan kompleks. Dosen penerbangan di ITB tersebut semula menyambut tantangan Shell yaitu perusahaan minyak dunia yang memang berkepentingan dengan rumus tersebut.
Pasalnya bila rumus itu bisa dipecahkan maka mereka akan bisa seratus kali lebih cepat dan akurasi yang sangat tinggi dalam menemukan sumber minyak di perut bumi.
Ini tentu akan sangat menghemat biaya eksplorasi minyak bumi yang memang butuh biaya hingga jutaan Dollar dan itu pun belum ada kepastian akan mendapatkan hasil sesuai harapan.
Sesudah melakukan penelitian menggunakan dana kurang-lebih Rp.6 milyar dari Shell, maka akhirnya Erlangga pun mampu memecahkannya. Ingin mendedikasikan penemuannya itu untuk ilmu pengetahuan, Erlangga tak berminat untuk mematenkannya dan bahkan menamakan dengan Erlangga Equation pun ia tak mau.
Padahal, beberapa industri yang dapat menerapkan rumus Helmholtz tersebut diantaranya penerbangan, bidang radar, kapal selam, blueray disc, dan juga bidang laser, serta ilmu lainnya yang mempelajari gelombang elektromagnetik.
Alasannya simpel, dan mengagumkan; mematenkan -penemuan tersebut malah akan menghambat perkembangan ilmu pengetahuan lanjutan berkenaan dengan rumus tersebut dan juga pengaplikasiannya di lapangan.
Saya turut berbahagia, sebab novel DUR ini bisa menjadi inspirasi anak-anak muda untuk gemar membaca dan menghabiskan waktu bersama buku di perpustakaan. Sesuai dengan harapan penulisnya.
Bila saya diizinkan untuk berharap, saya berdoa apabila novel ini diadaptasi ke Layar Lebar, amin. Harus ada scene yang menggetarkan dan mengharukan, misalnya Alfarabi atau RUM menjadi Pemecah Rumus Helmholtz, Rumus Tersulit di Dunia itu.
Walau harapan saya ini bisa jadi PR untuk PH Film terkait bagaimana meminimalisir biaya untuk riset dan pengadaan properti nya. Tentu ada banyak pembaca yang tidak setuju, sebab banyak Film yang tidak sama persis dengan Novelnya, padahal pembaca sudah jatuh hati dengan versi novelnya.
Tapi PH Film punya visi dan misi sendiri, bagaimana mungkin kita membenturkan idealisme novelis dan sineas atau film maker, sementara kita hanya sebatas penikmat dan tidak memiliki sedikitpun keilmuan tentangnya, maka sebagai pembaca yang dhaif, saya hanya bisa berdoa dan berharap, selebihnya melamun dan bermimpi.
Terutama saya salut terhadap penulisnya. Karena telah menjebol hijab tebal yang selama ini memutus mata rantai antara sastra dengan sosial media, alhamdulillah kita telah sampai pada masa di mana sastra bisa kita nikmati di Facebook. Semoga dari kalangan pesantren semakin banyak lahir penulis-penulis hebat. Amin. Wallahu a’lam. [HW]
Tulisan ini sudah pernah dimuat di dawuhguru.com