Imam Al-Ghazali memulainya dengan mengutip pendapat seseorang yang konsisten berpendapat bahwa “ jisim (fisik) merupakan sesuatu hal yang hadist (baru), jika demikian ia masuk dalam ruang lingkup perubahan-perubahan dan setiap perubahan meniscayakan adanya sesuatu yang menyebabkannya berubah; yakni Tuhan.
Tetapi, kita dapati sebagian Filosof menerima asumsi tentang jisim yang qodim (tidak berpermulaan) dengan menegaskan ia juga mengalami perubahan-perubahan, seperti matahari atau falak (bintang) tertingga dan sebagainya. Jika seperti itu, mesti dipertanyakan kenapa mereka (filosof) tidak menerima bahwa Tuhan adalah jisim (fisik)?
Setidak-tidaknya yang menjadi alasan adalah karena jisim harus tersusun, secara kuantitatif ia terdiri dari bagian atas, bawah, samping dan lain-lain. Atau secara rasio bisa terbagi dalam materi dan bentuk. Jika, tidak demikian maka semua jisim akan menjadi sama —tidak bisa dibeda-bedakan– dalam posisinya sebagai jisim (fisik).
Namun, Tuhan yang wajibul wujud merupakan entitas yang tidak dapat dibagi-bagi sebagaimana fisik. Sebab, fisik tidak tunggal, oleh karenanya bisa dibeda-bedakan atau dibagi-bagi, sementara Tuhan tunggal dan satu satunya, demikian tidak bisa dibeda-bedakan. Menurut mereka (filosof).
Bagi Imam Al-Ghazali bagunan argumentasi mereka hanya berporos pada satu titik, yaitu mereka buktikan selain hanyalah bahwa apabila sebagian dari suatu komposisi (misalnya dzat dan sifat) membutuhkan kompisisi yang lain, seperti sifat membutuhkan dzat, maka bagian tersebut (sifat) pasti menjadi akibat. Dan hal ini disanggah dengan mengemukakan sekiranya apabila tidak bisa diandaikan status ada (maujud) tanpa subjek ada (mujid). Maka tidak dapat diandaikan pula, sesuatu yang tersusun (murakkab) tanpa subjek ketersusunannya (murakkib), dan beberapa status ada (maujudat) tanpa subjek ada (mujid).
Itu sebabnya, negasi terhadap jumlah (ta’addud) dan dualitas (tastniyah) meniscyakan negasi komposisi (tarkib) dan penolakan terhadap komposisi, maka menolak esensi, karena dzat dan sifat tidak bisa dipisahkan. Dari sini gugurlah Argumentasi pertama para filosof.
Argumentasi kedua, menurut mereka, apabila fisik tidak memiliki jiwa, maka ia tidak hidup. Tapi, jika ia memiliki jiwa, maka jiwa akan menjadi sebab baginya. Dengan demikian, jiwa itulah yang menjadi Tuhan. Maka tetap, Tuhan bukanlah fisik.
Hal ini tidak konsisten!! Menurut Imam Al-Ghazali jiwa kita bukanlah sebab bagi eksistensi tubuh kita. Sementara, bagi mereka jiwa matahari atau falak (bintang-bintang) tidak menjadi sebab bagi keberadaan jisimnya. Nah, apabila fisik dan jiwa azali (tidak berpermulaan), sangat boleh jadi keduanya merupakan Tuhan, karena keduanya tidak disebabkan.
Lalu, mereka memunculkan pertanyaan konyol, yaitu bagaimana jiwa dan fisik bersatu? Pertanyaan ini sama halnya dengan pertnyaan seseorang, bagaimana Tuhan menjadi Tuhan. Sebab, pertanyaan ini bisa dijawab tatkala dikaitkan dengan sesuatu yang hudust (baru), sementara yang tidak memiliki awal tidak bisa dipertanyakan “bagaimana ia terjadi.?”. mengapa mereka tidak memungkinkan keduanya (jiwa dan fisik), yang tidak terikat oleh waktu (qodim), dikatakan sebagai pencipta?