Pelbagai “kacamata” pendekatan dapat digunakan untuk memahami posisi kaum perempuan dalam masyarakat, khususnya dalam melihat pekerjaan yang dilakukan oleh kaum perempuan. Namun suatu pendekatan yang bisa dianggap paling pas dan kritis untuk melihat posisi dan kerja kaum perempuan adalah dengan pendekatan analisis gender.
Analisis gender dibandingkan dengan analisis tentang ketidakadilan lainnya, tidaklah kalah mendasarnya. Justru analisis gender ikut mempertajam analisis kritis yang sudah ada. Oleh karena itu, analisis gender sering menghadapi perlawanan baik dari kaum laki-laki maupun perempuan sendiri, maupun mereka yang juga melakukan kritik sosial. Hal ini karena “mengotak-atik” posisi kaum perempuan, pada dasarnya telah menggoncang status quo, struktur dan sistem ketidakadilan yang telah mapan di dalam masyarakat pqada umumnya. Tulisan ini akan mefokuskan pada bagaimana konsepsi dan ideologi gender dapat melahirkan ketidakadilan gender, dan bagaimana dampaknya pada beban kerja kaum perempuan.
Istilah “gender” sejak dasawarsa terakhir telah memasuki setiap analisis, bahasan, dan wacana tentang perubahan sosial. Persoalannya, apakah yang dimaksud dengan konsep gender dan kaitannya dengan usaha emansipasi kaum perempuan? Penjelasan konsep gender ini diperlukan mengingat pertama, karena tidak ada kata gender dalam bahasa Indonesia, sedangkan dalam kamus bahasa Inggris tidak jelas perbedaan antara istilah “seks” dengan gender. Kedua, uraian yang tepat mengenai kata gender begitu penting dalam membantu memahami sistem ketidakadilan sosial.
Untuk memahaminya harus dibedakan terlebih dahulu kata tersebut dengan istilah “seks” atau jenis kelamin. Seks sendiri sebenarnya adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis melekat pada jenis kelamin tertentu. Fungsinya tidak bisa dipertukarkan secara permanen, tidak berubah dan merupakan ketentuan biologi atau ketentuan Tuhan (kodrat).
Sementara itu, konsep gender adalah pembagian laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, perempuan dianggap lemah lembut, emosional, keibuan, dan lain sebagainya. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, perkasa, dan lain sebagainya. Sifat-sifat tersebut bukanlah sebuah kodrat, oleh karenanya tidak akan abadi dan dapat dipertukarkan. Karena pada faktanya ada sebagian laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan dan sebagainya.
Sementara itu ada juga perempuan yang kuat, rasional, perkasa dan sebagainya. Oleh karenanya, gender dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain dapat mengalami perubahan. Dengan kata lain, semua sifat yang dapat dipertukarkan antara perempuan dan laki-laki yang dapat berubah dari waktu ke waktu, dari tempat satu dengan tempat lainnya diistilahkan sebagai gender.
Persoalan yang kini dihadapi adalah pertama, apa yang sesungguhnya disebut sebagai gender lambat laun oleh masyarakat kita dianggap sebagai kodrat. Akibatnya, gender mempengaruhi keyakinan dan pola pikir tentang bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan dalam bertindak menyesuaikan dengan ketentuan sosial tersebut. Pendikotomian yang ditentukan oleh aturan masyarakat di kemudian hari dianggap sebagai ketentuan Tuhan. Masyarakat sebagai suatu kelompoklah yang menciptakan perilaku pembagian gender tersebut, menentukan apa yang mereka anggap sebagai keharusan untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan, dan keyakinan pembagian tersebut selanjutnya diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya penuh dengan proses negosiasi, resistensi, maupun dominasi. Lama kelamaan pembagian keyakinan gender tersebut dianggap alamiah normal dan kodrat, sehingga bagi yang mulai melanggar akan dianggap tidak normal dan melanggar kodrat. Oleh karena itu, sekali lagi antara satu bangsa dengan bangsa lain dalam kurun waktu yang berbeda, pembagian gender tersebut berbeda-beda pula.
Kedua, perbedaan gender ternyata mengantarkan pada ketidakadilan gender. Ketidakadilan yang dilahirkan oleh perbedaan gender inilah yang sesungguhnya sedang digugat. Ternyata dalam sejarah perkembangan hubungan antara laki-laki dan perempuan, perbedaan gender ini telah menciptakan suatu hubungan yang tidak adil, menindak serta mendominasi antara kedua jenis kelamin tersebut. Bentuk manifestasi ketidakadilan gender ini adalah dalam mempersepsi dan memberi nilai, akibatnya dalam pembagian beban tugas antara laki-laki dan perempuan terjadi tumpang tindih dan kesenjangan.
Contoh nyata dari bentuk ketidakadilan gender adalah adanya diskriminasi terhadap pembagian kerja menurut gender, ada jenis pekerjaan tertentu yang dianggap cocok untuk perempuan karena keyakinan gender tertentu. Misalnya karena perempuan dianggap tekun, sabar, pendidik dan ramah maka pekerjaan yang dianggap cocok bagi mereka adalah sekretaris, guru TK, kasir atau penerima tamu. Persoalannya timbul ketika pekerjaan yang dikuasai perempuan tersebut selalu dinilai lebih rendah. Siapa berani menjamin bahwa “pembantu rumah tangga” yang mayoritas didominasi oleh kaum perempuan lebih ringan dibanding “sopir rumah tangga”? Namun meski begitu, “gaji sopir” selalu lebih tinggi dibandingkan “pembantu rumah tangga”.
Pandangan gender yang keliru ternyata juga menimbulkan subordinasi perempuan, karena anggapan bahwa perempuan itu lebih emosional, maka ia tidak dipercaya untuk memimpin suatu kelompok dan karena itu mereka ditempatkan pada posisi yang tidak sentral. Bentuk subordinasi ini beraneka macam bentuknya. Beda dari satu tempat ke tempat lain dan dari waktu ke waktu. Dulu ada anggapan di Jawa bahwa perempuan tidak perlu sekolah terlalu tinggi, toh akhirnya akan ke dapur juga. Praktik yang demikian inilah sesungguhnya berangkat dari suatu kesadaran gender yang tidak adil.
Dalam kaitan dengan pekerjaan perempuan, karena anggapan yang melekat pada kaum laki-laki adalah pencari nafkah keluarga, maka perempuan yang bekerja selalu dianggap hanya “sambilan” atau “membantu suami”. Karena juga adanya anggapan bahwa kaum perempuan bersifat memelihara dan rajin, akibatnya semua pekerjaan domestik diserahkan kepada kaum perempuan. Perempuan menerima beban kerja untuk menjaga kebersihan rumah dan kerapihan perabot rumah tangga. Sedangkan di kalangan keluarga miskin, beban ganda terjadi. Selain harus bekerja di sektor domestik, mereka masih harus bekerja membantu mencari nafkah keluarga. Mereka inilah yang sesungguhnya menjadi korban dari hubungan bersifat feodalistik.
Lantas, perjuangan strategis yang seperti apa untuk dapat merubah praktek-praktek ketidakadilan gender yang telah mengakar kuat dalam masyarakat? Karena praktek diskriminasi dan perlakuan tidak adil terhadap kaum perempuan berangkat dari sebuah ideologi. Maka untuk menggesernya diperlukan perjuangan ideologis juga, misalnya dengan melancarkan kampanye pendidikan kritis di seluruh tingkat lembaga pendidikan, guna menggeser ideologi ketidakadilan gender yang telah dipraktekan masyarakat sejak lama.
Upaya strategis lainnya juga perlu dilakukan, seperti melakukan berbagai studi tentang berbagai bentuk ketidakadilan gender dan manifestasinya baik di masyarakat, negara maupun di rumah tangga. Bahkan tulisan ini harapan selanjutnya dapat dipakai untuk melakukan advokasi untuk merubah kebijakan hukum, budaya, maupun tafsir keagamaan yang dinilai berdampak pada ketidakadilan dalam pembagian beban kerja kaum perempuan. Hanya dengan usaha aksi yang sungguh-sungguh meliputi advokasi, pendidikan kritis masyarakat, kampanye yang dilakukan oleh kaum perempuan sendiri, maka ketidakadilan gender dalam masyarakat bisa diakhiri. [RZ]
[…] domestik untuk harmonisasi hubungan antara suami-istri. Lantas bagaimana solusi supaya tidak ada beban ganda (double […]