Keterkaitan Nilai Islam dan Undang-Undang 1945

Jika melihat kembali historis Islam, terbagi menjadi tiga tipologi dari adanya hubungan agama dan negara. Sebagaimana tipologi yang diusung oleh Din Syamsudin, pertama adalah suatu golongan yang berpendapat bahwasanya negara dan agama berjalan secar aintegra. Hal ini dianggap bahwa domain negara juga menjadi domain agama, bahkan keduanya tidak ada jarak dan menjadi satu kesatuan. Al-Maududin menjadi salah satu tokoh yang mendukung pada gerakan ini.

Kedua adalah kelompok yang berpendapat bahwa hubungan negara dan agama berjalan secara dinamis/dialektis, bukan hubungan yang secara langsung, sehingga keduanya tidak secara utuh menyatu, ada jarak dan kontrol masing-masing, sehingga dari sini berjalan beriringan. Keduanya bertemu dalam rangka pemenuhan kepentingannya, negara membutuhkan agama dalam membangun negara yang baik, berkemajuan, adil serta memiliki spirit ketuhanan yang kuat.

Sedangkan agama pun membutuhkan negara dalam rangka mengimplementasikan akselerasi perkembangan. Abdullahi Ahmed An-Na’im, Abdurrahman Wahid, Muhammad Syahrur, Nurcholis Madjid, Nasr Hamid Abu Zaid merupakan tokoh berpengaruh dunia yang termasuk golongan ini. Lalu ketiga adalah menganggap bahwa agama dan negara dua hal yang berbeda serta tidak bisa dihubungkan satu sama lain. Golongan ini cenderung memisahkan keduanya.[1]

Pada masa kerajaan di Jawa, norma agama begitu ditekankan dalam sendi kehidupan oleh masyarakatnya atau pemerintah secara simbolik sebagai bentuk mengayomi masyarakatnya, sehingga warga merasa diayomi jikalau ada seorang pemimpin datang. Demikian dapat dilihat pada sejarah bahwa para Raja Jawa turut menghadiri kegiatan keagamaan yang dilakukan di sekatenan. Para Raja Jawa juga memberikan kebebasan kepada mayarakatnya untuk memelyk agama tertentu.

Itulah salah satu bentuk toleransi dalam konteks sejarahnya yang juga memiliki keterkaitan dengan UUD 1945 Pasal 28E UUD dengan redaksi: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Begitu pun pada pasal 29 ayat 2: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya.

Baca Juga:  Mengenal Al-Jili dan Teori Al-Insan Kamil (2): Kemunduran Islam dan Kitab Al-Jili

Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta penempatan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama dalam Pancasila mempunyai beberapa makna,yaitu: Pertama, Pancasila lahir dalam suasana kebatinan untuk melawan kolonlalisme dan imperialsme,sehingga dipertukan persatuan dan persaudaraan di antara komponen bangsa.Sila pertama dalam Pancasla Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi faktor penting untuk mempererat persatuan dan persaudaraan, karena sejarah bangsa Indonesia penuh dengan penghormatan terhadap nilai-nilai “Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Kerelaan tokoh-tokoh Islam untuk menghapus kalimat dengan kewajban menjalankan syariat lslam bagi pemeluk-pemeluknya selelah·Ketuhanan Yang Maha Esa’ pada saat pengesahan UUD,18 Agustus 1945,tidak lepas dari cita-cita bahwa Pancasila harus mampu menjaga dan memelihara persatuan dan persaudaraan antar semua komponen bangsa. ini berarti,tokoh-tokoh lslam yang menjadi founding fathers bangsa Indonesia telah menjadikan persatuan dan persaudaraan di antara komponen bangsa sebagai tujuan utama yang harus berada di aas kepentingan primordial lainnya.

Kedua, Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta berkesimpulan bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sebab yang pertama dan sila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan adalah kekuasaan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk melaksanakan amanat negara dari rakyat, negara bagi rakyat,dan negara oleh rakyat.

Ini berarti, Ketuhanan Yang Maha Esa harus menjadi landasan dalam melaksanakan pengelolaan negara dari rakyat, negara bagi rakyat, dan negara oleh rakyat.[2] Ketiga,Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta Juga berkesimpulan bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa’ harus dibaca sebagai satu kesatuan dengan sila-sila lain dalam Pancasila secara utuh.

Hal ini dipertegas dalam kesimpulan nomor 8 dari seminar tadi bahwa:Pancasila adalah (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3) Persatuan Indonesia (4) Kerakyatan,yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab,yang berpersatuan Indonesia (berkebangsaan) dan berkeadilan sosial (5) Keadilan soslal,yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa,yang berkemanusiaan yang adil dan beradab,yang bepersatuan Indonesia (berkebangsaan) dan berkerakyatan.Ini berarti bahwa sila-sila lain dalam Pancasila harus bermuatan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Baca Juga:  Neoplatonisme (3)

Keempat,Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa juga harus dimaknai bahwa negara melarang ajaran atau paham yang secara terang-terangan menolak Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti komunisme dan atheisme. Karena itu, Ketetapan MPRS No.XXV Tahun 1966 tentang Larangan Seliap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau ajaran Komunis/Marxisme Leninisme masih tetap relevan dan kontekstual.

Pasal 29 ayal 2 UUD bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing. Sebaliknya, negara tidak menjamin kebebasan untuk tidak beragama (atheis). Kata “tidak menjamin” ini sudah sangat dekat dengan pengertian tidak membolehkan, terutama jika atheisme itu hanya tidak dianut secara personal, melainkan juga didakwahkan kepada orang lain.

Prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat dapat menjamin peran serta masyarakat dalam poses pengambilan keputusan,sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan masyarakat dan rakyat pun cenderung paham akan korelasi hukum yang ada.[3]

Hubungan antara Islam sebagai agama dan negara dengan adanya UUD  1945 merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa kita nafikan dalam sendi kehidupan. Pasalnya, negara membutuhkan agama, dan agama (Islam) juga membutuhkan agama sebagai ladang mengembangkan dakwah. Negara membutuhkan agama dalam rangka menjamin kehidupan warganya dengan tetap tidak meninggalkan unsur agama dalam segala peraturan, dan sebagai pengikat pedoman hidup dalam suatu negara, Islam pula sebagai agama memiliki peranan penting dalam perumusan Undang-Undang dan Pancasila sebagai dasar negara.

Nilai-nilai keislaman dalam teks Undang-Undang terlihat nyata bahwa agama perlu adanya keterkaitan dengan negara. Seperti halnya kebebasan beragama, tidak mencaci atau mencederai orang lain, berbuat buruk. Hal demikian sudah diatur sedemikian rupa dalam UUD 1945 dan menjadi hukum yang pasti dalam Islam sendiri. Oleh karenanya, keduanya memiliki keterkaitan yang beriringan dan saling melengkapi meski tidak semua hukum yang ada dalam agama bisa serta cocok diterapkan dalam hukum negara. []

Baca Juga:  Objektivitas dalam Beragama dan Perluasan Istilah Islam

 

[1] Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan, 2005), 338-339.

[2] Arianto  S, Proses perumusan dasar negara pancasila, (Jakarta : Program pascasarjana studi ilmu hukum universitas indonesia, 1998), 31.

[3] Marzuki S, Politik Hukum : Hak asasi manusia , (jakarta : Penerbit Erlangga, 2000), 21

Ali Mursyid Azisi
Mahasiswa Studi Agama-Agama - UIN Sunan Ampel, Surabaya dan Santri Pesantren Luhur Al-Husna, Surabaya

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini