Maulana Jalaluddin Rumi seorang sufi besar yang keagungannya diabadikan oleh dunia. Melalui karya-karyanya yang populer menggambarkan akan keluasan samudra ilmunya. Nama Jalaludin Rumi sudah dikenal dan selalu dikenang bukan hanya oleh orang muslim saja melainkan oleh orang barat juga. Beberapa karya yang mengupas soal sufistik Rumi pun sudah banyak yang dicetak dan disebarluaskan. Belum lama ini muncul karya terbaru dari Buya Husein Muhammad yang mengangkat beberapa mutiara hikmah dan kearifan Maulana Jalaluddin Rumi. Uniknya buku ini tidak hanya mengangkat Rumi melainkan bersama gurunya Syaikh Syamsi Tabrizi.
Dalam berbagai keterangan Maulana Jalaluddin Rumi merupakan sarjana muslim yang mendalami ajaran Islam melalui sufistik. Ada tiga tokoh ulama yang mempengaruhi pribadi Rumi sehingga sampai pada maqam sufi dan penyair besar. Diantaranya adalah Syaikh Syamsi Tabrizi. Seorang ulama yang lahir di Tabriz ibu kota Azerbaijan. Sebuah negara yang berbatasan dengan Turki di sebelah barat dan Iran di selatan.
Negara yang secara teritorial bertetangga dengan negara muslim yang cukup besar ini, tidak menutup kemungkinan adat dan budayanya tidak jauh berbeda dengan kedua negara tersebut. Negara yang pernah menjadi wilayah kekuasaan Turki Utsmani ini tentunya tidak lepas dari doktrin-doktrin keagamaan pada masa khilafah itu. Melihat kealiman dan kepiawaian Syaikh Syamsi Tabrizi, Rumi terpikat hatinya untuk belajar bersama Syamsi Tabrizi. Sebenarnya Rumi adalah ulama fiqih yang sangat alim ia menguasai ilmu-ilmu Al-Quran sejalan dengan ilmu perangkatnya. Namun pertemuanya dengan Syamsi Tabrizi mengubah dirinya menjadi seorang sufi dan insan spiritual yang tak tertandingi. Ia menemukan samudra yang memenuhi dahaga spiritualnya.
Meskipun Syamsi Tabrizi bukan ulama yang mempunyai banyak murid dan jama’ah tetapi kualitas kedalaman suluknya menembus keindahan cahaya ilahi. Dari sini Rumi belajar untuk memperbaiki hubungan hamba dengan tuhanya. Seperti yang digambarkan oleh Buya Husein dalam bukunya, Syamsi Tabrizi secara penampilan badannya sangat kurus dan tidak terlalu pendek juga tidak terlalu tinggi. Pakaiannya serba hitam dan tidak teratur ia terbiasa hidup berpindah-pindah dari satu kota ke kota yang lain. bahkan tidak semua orang dapat mengenal Syamsi Tabrizi karena ia berdandan layaknya orang gila yang tidak punya tujuan.
Rumi sendiri awalnya tidak menyangka akan bertemu dengan Syamsi Tabrizi yang ilmunya sangat tinggi. Namun kebiasaan yang sering kita dengar bahwa “La ya’rifu wali illa wali” hanya wali yang menemukan wali lainnya. Dikisahkan pula ada sufi besar dari Baghdad yang meminta untuk diangkat menjadi muridnya Syamsi Tabrizi, akan tetapi ia menolak karena sudah mengerti kalau sufi dari Baghdad tersebut tidak akan kuat untuk menjadi muridnya. Hingga sampailah ia mengangkat Rumi untuk menjadi teman dan murid untuk bersama-sama menikmati manisnya samudra ketuhanan.
Kehidupan Syamsi Tabrizi muda tidak seperti yang dialami oleh para pemuda seusianya. Ia cenderung berbeda, lebih sering menyendiri dan melakukan hal-hal nyeleneh. Kebiasaan ini menjadi kepribadiannya sampai usia senja, konon ia sering nongkrong di kafe-kafe sesekali bercengkrama dengan anak muda di tempat itu. Ia mampu bersantai berjam-jam hanya bercerita yang dianggap tidak masuk akal oleh para pendengarnya. Kadang bercerita aneh-aneh juga jenaka, dari sini orang-orang menyebutnya sebagai “Rajul Gharib” manusia aneh atau misterius.
Di Indonesia tentunya sering sekali kita mendengar macam wali seperti ini. kisah-kisah seperti ini tentunya tidak asing di telinga kita namun bedanya di luar sana para murid yang memiliki guru semacam Syamsi Tabrizi mereka mampu mencatat, membukukan segala mutiara samudra ilmunya menjadi karya yang bermanfaat untuk generasi setelahnya. Misalnya Rumi telah mengabadikan kenangan spiritualnya dalam sebuah karya Diwan Syamsi al-Tabrizi sebuah Antologi berisi 36 ribu bait puisi ungkapan Rumi dalam menggambarkan gurunya.
Dalam buku Buya Husein Muhammad Kidung Cinta Syamsi Tabrizi dan Maulana Rumi terdapat beberapa kaidah cinta dan kearifan kedua tokoh tersebut. Meskipun puisi-puisi ini tidak dilengkapi tafsir yang menggambarkan keadaan Tabrizi atau Rumi pada saat menggubahnya namun secara bahasa sudah menyentuh untuk menjadi pelajaran hidup. Beberapa kaidah mengungkapkan sisi sufistik kewalian Syamsi Tabrizi dan Maulana Rumi sangatlah tinggi sebab kualitas bahasa yang dipakai memiliki arti yang sangat dalam.
Misalnya “Setiap kali kita jatuh cinta, kita naik ke surga. Setiap kali kita membenci atau iri hati atau menyerang, seketika itu juga kita jatuh ke dalam neraka” dalam sajak yang diterjemahkan ini tidak secara langsung mengingatkan kita bahwa surga dan neraka sebenarnya sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Diri kita saja yang tidak sadar, artinya tidak perlu kita menunggu kapan bisa sampai surga atau jatuh ke neraka, selama kita merasakan cinta itu artinya kita sedang di surga begitupun sebaliknya ketika kita iri, dengki, hasud artinya kita telah sampai di neraka.
Kisah sepasang dua kekasih ini ibarat mengartikan pertemuan sebagai surga yang indah. Dua cahaya tuhan yang telah menyinari hambanya yang lain. ketika satu pasang kekasih terpisahkan satu diantara lainnya akan merefleksikan segalanya untuk menikmati menyatu dalam dekapan tuhan dzat yang menciptakan, mempertemukan hingga memisahkan. Konon diceritakan ketika murid-murid Rumi merasa iri dengan kemesraan gurunya dengan Syamsi Tabrizi untuk menikmati luasnya cinta tuhan. Dalam waktu itu pula sebagian murid Rumi berusaha mengusir Syamsi Tabrizi untuk pergi jauh-jauh dari Konya salah satu kota bersejarah di Turki.
Setelah berhasil dipisahkan Rumi merenung dan meminta anak sulungnya Sultan Walad untuk mencari separuh jiwanya kembali layaknya sepasang insan yang tak sempurna untuk menghadap tuhannya. Lantas Sultan Walad mencari dan ia berhasil menemukannya kemudian membujuknya untuk kembali ke Konya. Dengan senang hati Syamsi Tabrizi mengamini ajakan tersebut, namun tak berselang lama bertemu dengan Rumi, ia pergi lagi dan tak kunjung kembali. Banyak pendapat yang simpang siur dengan kepergian kedua ini. Sebagian peneliti mengatakan Syamsi Tabrizi dibunuh oleh putra kedua Rumi yang bernama Alaudin yang telah berkoalisi dengan murid-murid Rumi yang merasa iri dengan kemesraan kedua insan itu dan mereka merasa dihiraukan tidak diperhatikan oleh Rumi yang sibuk menyelami luasnya nikmat tuhan bersama Syamsi Tabrizi.
Pasca kepergian Syamsi Tabrizi, Rumi tetap menunggu namun tak kunjung datang. Kesedihan Rumi atas kepergian Syamsi Tabrizi ia refleksikan dengan menari berputar sambil menggubah syair bait-bait mistis cinta. Putra sulungnya Sultan Walad mengungkapkan dalam puisinya bahwa Rumi tak henti ia terus berputar menuangkan kesedihannya hingga bersatu dengan energy kekuasaan tuhan. Hingga pada akhirnya gerakan ini menjadi Thoriqoh Maulawiyah yang dikenalkan oleh putra sulungnya selepas wafatnya Rumi. Di dunia barat Thoriqoh ini dikenal dengan “Lingkaran Dervishes” sedangkan pengikutnya disebut whirling dervirhes. []